3,5 Juta Hektar Lahan Sawit Masuk Hutan Rugikan Industri
Karena diidentifikasi masuk hutan, pemilik sawit harus membayar denda sangat besar dan mengancam keberlangsungan usaha.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 3,5 juta hektar lahan sawit teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan di seluruh Indonesia. Pelaku industri berdalih status lahan mereka yang masuk hutan salah satunya karena regulasi yang kerap berubah. Akibatnya, pelaku industri harus membayar denda yang besar karena masuknya lahan ke kawasan hutan. Kondisi ini bisa mengancam keberlangsungan usaha mereka.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang yang memuat data dan informasi (SK Datin) kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa perizinan bidang perkebunan Nomor 1-21, terdapat 3,5 juta hektar lahan sawit yang teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan. Lahan seluas 2,41 juta hektar milik 2.389 perusahaan dan 622.000 hektar milik 1.367 petani sawit. Hal ini terpotret dalam citra satelit milik pemerintah.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menjelaskan, masuknya lahan perusahaan sawit di dalam kawasan hutan itu merupakan hasil dari kerap berubah-ubahnya regulasi yang mengatur industri sawit. Padahal, sebelumnya lahan itu tidak teridentifikasi sebagai kawasan hutan.
”Tidak ada kepastian hukum bagi pemilik sertifikat hak milik dan hak guna usaha (HGU) sebagai sesuatu yang final. Aturannya kerap berubah. Jadi, membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian,” ujar Eddy dalam diskusi publik bertajuk ”Pencegahan Malaadministrasi dalam Layanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit”, di kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (27/5/2024).
Ia menambahkan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja pada Pasal 110A dan 110B, lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan dikenai denda yang tak ringan. Eddy mencontohkan ada salah satu perusahaan yang dikenai denda sampai dengan Rp 96 juta per hektar. Padahal, perusahaan sawit punya lahan puluhan hingga ratusan hektar.
Dampak signifikan
Dengan denda sebesar itu, lanjut Eddy, perusahaan bisa terancam bangkrut. Akibatnya, diperkirakan akan ada penurunan produksi sawit dari 2,41 juta hektar milik perusahaan sawit Indonesia. Ini setara dengan kehilangan produksi sekitar 7,2 juta ton. Jika ditambah dengan produktivitas petani sawit, ada potensi kehilangan produksi nasional sampai dengan 12,06 juta ton per tahun.
Ada salah satu perusahaan yang dikenai denda sampai dengan Rp 96 juta per hektar. Padahal, perusahaan sawit punya lahan puluhan hingga ratusan hektar.
Dampaknya, menurut Eddy, ekspor minyak sawit pasti bakal lesu. Tak hanya itu, kebutuhan dalam negeri pun pasti tidak akan bisa dipenuhi. Maka, Indonesia yang merupakan salah satu produsen sawit dunia malah harus impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Keluhan senada juga dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung. Dalam perhitungannya, kerugian dari persoalan lahan sawit yang masuk kawasan hutan ini bisa mencapai Rp 131,58 triliun, baik dari sisi perusahaan maupun petani.
Padahal, industri sawit punya kontribusi jumbo bagi perekonomian Indonesia. Mengutip data Apkasindo, industri sawit menyumbang devisa sebesar Rp 625 triliun pada 2023. Industri ini juga menyerap tenaga kerja sebanyak 17 juta orang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Ernest Gunawan mengatakan, sebagai hilir industri sawit, pihaknya membutuhkan kepastian pasokan dari hulu industri ini. Ketika produktivitas sawit di hulu industri terancam turun, sama artinya dengan ketidakpastian bahan baku di hilir industri.
Padahal, pada saat yang sama, pemerintah juga telah mengagendakan energi baru terbarukan dari campuran minyak sawit hingga 50 persen atau B50. ”Program ini hanya bisa tercapai dengan adanya kepastian pasokan bahan baku dari industri hulu sawit,” ujarnya.
Rawan sengketa
Ketua Pusat Riset Sawit IPB University Budi Mulyanto mengatakan, persoalan lahan sawit yang teridentifikasi dalam kawasan hutan telah lama menjadi akar persoalan yang menghambat laju industri ini. Status lahan sawit jadi tidak clean and clear sehingga rawan sengketa agraria.
Regulasi pendataan luas lahan sawit dan kawasan ini pun selalu berubah-ubah. ”Mekanisme yang terus berubah dan data yang selalu bergerak ini berpotensi picu moral hazard,” ujar Budi.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menjelaskan, sebagai lembaga negara, pihaknya menerima banyak aduan soal regulasi tata kelola industri sawit. Pihaknya pun mengundang semua pemangku kepentingan untuk mendengarkan aspirasi soal industri ini.
”Tunjukkan kepada kami di mana letak regulasi yang merugikan itu. Kami akan tindak lanjuti,” ujar Yeka.
Pada 2022, Ombudsman RI pernah menyatakan malaadministrasi kebijakan penyediaan dan stabilisasi harga minyak goreng yang dilakukan Kementerian Perdagangan. Industri minyak goreng merupakan hilir industri dari minyak sawit.