Merisaukan Balai Latihan Kerja
BLK merupakan lembaga pelatihan milik pemerintah yang semestinya memimpin peningkatan kompetensi tenaga kerja.
Balai latihan kerja atau BLK semestinya menjadi tempat tenaga kerja meningkatkan keterampilan sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja di daerah setempat. Namun, sebagian besar lembaga yang sangat strategis untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja itu hingga kini belum dikelola sebagaimana mestinya.
Saat ini tercatat ada 21 unit pelaksana teknis (UPT) BLK di bawah Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang tersebar di 15 provinsi. Sementara jumlah BLK UPT daerah sekitar 285 unit.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah bahkan menyebut perhatian pemerintah daerah terhadap BLK yang ada daerahnya cukup kecil. Padahal, sejak otonomi daerah berlaku pada 2004, pemerintah daerahlah yang diharapkan punya peran lebih besar terhadap BLK, bukan pemerintah pusat.
”Adanya otonomi daerah membuat pemerintah pusat ’menyerahkan’ pengelolaan BLK ke daerah, tetapi kami mendapati sejumlah BLK daerah menjadi kurang bermutu. Pemerintah daerah kecil sekali mengalokasikan perhatian ke BLK. Sementara isu sumber daya manusia yang kompetitif adalah isu pemerintah daerah juga,” ucap Ida saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Senin (20/5/2024) sore, di Jakarta,
Baca juga: Lulusan Apa yang Paling Cepat Dapat Kerja?
Ida mengatakan, Kemenaker tidak tutup mata melihat situasi itu sehingga Kemenaker memberikan bantuan yang antara lain berupa peralatan. Namun, bantuan tersebut tidak bisa menyentuh semua BLK milik pemerintah daerah.
Terkait BLK komunitas, unit pelatihan vokasi pada suatu komunitas, misalnya lembaga keagamaan nonpemerintah dan serikat pekerja/buruh, yang digagas Kemenaker dan mendapat dukungan anggaran Kemenaker sejak 2017, Ida menyebutkan, sampai 2023, jumlah BLK komunitas yang terbangun mencapai 4.282 unit. Jumlah ini terbagi menjadi BLK komunitas dengan level tumbuh (2.435 unit), berkembang (1.403 unit), dan mandiri (444 unit).
BLK komunitas dikatakan level tumbuh berarti BLK bersangkutan berizin dan menjadi penyelenggara pelatihan. Level berkembang artinya BLK komunitas itu berizin, menyelenggarakan pelatihan, dan mampu mengembangkan jaringan kemitraan. Adapun level mandiri berarti BLK komunitas itu berizin, menyelenggarakan pelatihan, mampu menyelenggarakan jaringan kemitraan, dan memproduksi barang/jasa.
BLK komunitas seharusnya bisa menjadi sarana memasifkan tenaga kerja kompeten. Oleh karena itu, dia berharap BLK komunitas harus memikirkan strategi keberlanjutan, baik dari segi bisnis maupun model pelatihan (supaya bisa mandiri).
Pemerintah daerah kecil sekali mengalokasikan perhatian ke BLK.
Keluhan Ida terhadap kondisi BLK daerah dan komunitas itu berangkat dari kekhawatiran dia terhadap apakah Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi secara optimal atau sebaliknya. Sampai saat ini, angkatan kerja Indonesia masih didominasi lulusan sekolah menengah atas ke bawah. Lulusan sekolah menengah kejuruan, misalnya, juga masih menyumbang pengangguran dalam porsi yang cukup besar.
“Bonus demografi itu selesai sekitar tahun 2035. Waktu yang cukup pendek bagi kita untuk menyiapkan tenaga kerja muda yang kompeten, baik di pasar dalam negeri maupun internasional. Maka, lembaga pelatihan harus diperbanyak kuantitas ataupun kualitasnya,” kata Ida.
Sekretaris Jenderal Kemenaker Anwar Sanusi, yang ditemui seusai rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Senin, mengatakan, Kemenaker telah memiliki gagasan untuk mentransformasikan BLK. Menurut rencana, BLK UPT yang daerahnya kurang mampu mengelola akan dilimpahkan ke pusat.
Akan tetapi, rencana itu akan terbatas pada BLK UPT daerah provinsi saja. Satu provinsi ditargetkan ada BLK UPT di bawah Kemenaker.
“Cuma, proses transformasi BLK akan memakan waktu yang panjang, mulai dari pengalihan tanah, bangunan, kelembagaan, hingga instal peralatan pelatihan. Butuh biaya tidak sedikit,” ucapnya.
Baca juga: Pengangguran Masih Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi
Sebagai ilustrasi, untuk biaya pelatihan calon pekerja migran Indonesia (CPMI), misalnya, Kemenaker memperkirakan besarannya adalah Rp 10 juta per orang. Sementara setiap tahun terdapat permintaan kerja pekerja migran sebanyak 1,2 juta orang. Dengan demikian, jumlah dana yang dibutuhkan sekitar Rp 10 triliun.
“Dana yang tersedia saat ini (dari Kemenaker) baru sekitar Rp 1,6 triliun. Ini sudah mencakup untuk kebutuhan instruktur dan bahan pembelajaran di BLK. Kami belum menghitung berapa biaya untuk melatih tenaga kerja untuk pasar domestik, cuma mungkin kurang lebih per paket (orang) sekitar Rp 10 juta,” ucap Anwar.
Anwar menambahkan, pihaknya berusaha berkomunikasi kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas untuk mengatasi isu tersebut.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel Djoko Wahyudi, saat dihubungi Selasa (21/5/2024), di Jakarta, berpendapat, tantangan mendasar di pasar kerja Indonesia adalah angkatan kerja yang masih didominasi lulusan sekolah menengah atas ke bawah. Tantangan seperti itu semestinya diatasi dengan membangun sistem pelatihan yang praktis dan merata.
“Masalahnya, lembaga pelatihan, termasuk BLK, memiliki strategi bisnis dan pelatihan yang sesuai dengan permintaan pasar kerja atau tidak. Mengelola BLK sama dengan mengelola instansi pendidikan yang mau selalu match dengan industri,” katanya.
Dari pengalamannya menjadi Kepala BLK Komunitas Teknik Pendingin Federasi Serikat Pekerja Panasonic Gobel, Djoko mengakui BLK komunitas pun harus mempunyai perencanaan bisnis, tidak bisa terus mengandalkan bantuan anggaran. Apalagi, bantuan anggaran dari pemerintah.
“Pemerintah daerah tempat BLK berada juga seharusnya memahami pentingnya pelatihan kompetensi tenaga kerja. Pemerintah daerah seharusnya menjadi marketing BLK,” kata Djoko.
Dihubungi secara terpisah, penggagas gerakan SMK Mbangun Desa, Marlock, mengatakan, pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi. Hanya saja, menurut dia, pelaksanaannya kurang optimal.
“Karena, leader atau lokomotifnya tidak ada. Gerakan peduli SMK yang kami lakukan juga berjalan sendiri, sama seperti tidak ada perpres itu. Rata-rata SMK berusaha mencari terobosan sendiri agar lulusannya bisa punya peluang kerja sampai ke luar negeri,” katanya.
Baca juga: Sejumlah Faktor Gelembungkan Porsi Sektor Informal