Dapatkah Empat Hari Kerja dalam Sepekan Diterapkan di Indonesia?
Kebijakan empat hari kerja yang diterapkan di sejumlah negara tidak semudah itu dapat diterapkan di Indonesia.
Beberapa waktu terakhir, Kementerian BUMN ramai diperbincangkan publik karena menjadi salah satu instansi pertama di Indonesia yang mencetuskan untuk mengimplementasikan sistem kerja empat hari dalam sepekan.
Dalam skema sistem kerja tersebut, pegawai Kementerian BUMN yang selama empat hari telah bekerja lebih dari 40 jam dapat mengambil jatah libur pada hari Jumat sehingga total libur menjadi tiga hari.
Deputi Bidang Manajemen Sumber Daya Manusia, Teknologi, dan Informasi Kementerian BUMN Tedi Bharata mengatakan, saat ini lembaganya tengah melakukan sejumlah persiapan untuk menerapkan skema empat hari kerja. Dua hal yang perlu dimatangkan adalah regulasi dan kesiapan platform digital terkait sistem kerja.
Baca juga: Kerja Empat Hari Seminggu Kurangi Stres Karyawan dan Pertahankan Produktivitas
”Dari segi regulasi sedang kita matangkan. Selain itu, secara sistem juga perlu dipersiapkan untuk kemudian dapat diselaraskan,” ujarnya kepada Kompas, beberapa waktu lalu.
Gagasan penerapan sistem kerja empat hari seminggu muncul sebagai jalan tengah upaya meningkatkan produktivitas pegawai, tetapi di saat yang bersamaan pegawai juga memiliki keseimbangan dalam menjalankan kehidupan dan pekerjaan (work-life balance).
Apa yang dicanangkan Kementerian BUMN dalam dunia bisnis global lazim disebut pemampatan jam kerja (compressed work schedule). Skema kerja ini rupanya sudah lumrah diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Kanada, Australia, dan Jepang.
Mengutip situs resmi Department of Commerce (DOC) Amerika Serikat, compressed work schedule merupakan jadwal kerja ketika seorang pegawai dapat menyelesaikan target kerja dua minggu dalam waktu kurang dari 10 hari.
Terdapat beberapa skema pemampatan waktu kerja, tetapi umumnya terdapat dua skema yang banyak diterapkan perusahaan-perusahaan di dunia, yakni skema 4/10 yang berarti empat hari kerja dengan 10 jam kerja per harinya, atau skema 9/80, yang berarti karyawan dituntut bekerja selama sembilan hari dalam dua pekan untuk memenuhi 80 jam kerja.
Sudah lazim di dunia
Saat ini, sedikitnya sudah ada 21 negara yang menjadi lokasi beroperasinya perusahaan yang mengimplementasikan sistem empat hari kerja dalam sepekan.
Belgia menjadi negara pertama di Uni Eropa yang membuat undang-undang selama empat hari dalam seminggu. Sejak Maret 2022, karyawan di Belgia berhak memutuskan untuk bekerja empat atau lima hari seminggu. Dengan konsekuensi, jika memilih bekerja empat hari seminggu, jam kerja harian akan bertambah untuk mengejar target mingguan.
Baca juga: Dilema Penerapan 4 Hari Kerja
Sementara di Inggris, kelompok nirlaba 4 Day Week Global bersama dengan lembaga kajian Autonomy, University of Cambridge, dan Boston College di Amerika Serikat melakukan uji coba penerapan empat hari kerja seminggu dengan melibatkan 60 perusahaan yang memiliki total 3.300 karyawan.
Hasil dari uji coba yang berlangsung Juni-Desember 2022 tersebut menunjukkan sebanyak 71 persen karyawan yang terlibat dalam uji coba merasa lebih bugar dalam bekerja. Sementara itu, hampir separuh atau 48 persen karyawan yang terlibat dalam uji coba merasa lebih puas terhadap hasil pekerjaan mereka.
Dari sisi perusahaan, sebanyak 56 perusahaan atau 92 persen di antaranya memilih akan tetap melanjutkan sistem empat hari kerja. ”Ini terobosan besar untuk gerakan menuju ke sistem empat hari kerja dalam seminggu,” kata Direktur 4 Day Week Global Joe Ryle dalam pernyataan tertulisnya.
Para peneliti menemukan bahwa empat hari kerja dalam seminggu tanpa pemotongan gaji telah meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja.
Profesor ahli kepemimpinan di Sekolah Bisnis Henley di University of Reading, Benjamin Laker, dalam artikel berjudul ”What Does the Four-Day Workweek Mean for the Future of Work?” yang dipublikasikan di situs Sloanreview.mit.edu menulis, di masa depan praktik kerja empat hari dalam seminggu atau delapan hari dalam dua minggu akan semakin lumrah di dunia.
Hal tersebut dikarenakan praktik pemampatan jam kerja telah terbukti dapat meningkatkan produktivitas dan kesehatan mental dari pekerja. Bukti pendukungnya berupa hasil riset di Islandia. Di negara itu para peneliti menemukan bahwa empat hari kerja dalam seminggu tanpa pemotongan gaji telah meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas pekerja.
Penerapan di Indonesia
Bicara soal produktivitas, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia tercatat masih amat rendah. Dalam riset Organisasi Buruh Internasional (ILO), produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya menduduki peringkat kelima di Asia Tenggara pada 2021.
Setiap satu pekerja di Indonesia tiap jam kerja menyumbang 12,96 dollar AS terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021. Produktivitas pekerja Indonesia masih berada di bawah Singapura (74,15 dollar AS/orang/jam), Brunei Darussalam (55,92 dollar AS/orang/jam), Malaysia (25,59 dollar AS/orang/jam), dan Thailand (15,06 dollar AS/orang/jam).
Lantas, apakah jika semua sektor usaha di Indonesia melakukan pemampatan jam kerja seperti yang hendak dilakukan Kementerian BUMN, produktivitas tenaga kerja di Indonesia serta-merta bisa terangkat? Jawabannya, belum tentu.
Pakar strategi manajemen sumber daya manusia sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Eko Sakapurnama, dalam artikel berjudul ”Empat Hari Bekerja dalam Sepekan, Potensi dan Tantangannya” yang dipublikasikan di situs Ui.ac.id menilai, tidak semua sektor industri, teruatama di Indonesia, dapat menerapkan pemampatan jam kerja.
Baca juga: Menimbang Masa Depan Buruh di antara Bonus dan Beban Demografi
Menurut dia, kata kunci dari sistem ini adalah fleksibilitas sehingga bisa diterapkan pada industri atau jenis pekerjaan yang fleksibel dari segi jam kerja dan lokasi, misalnya jurnalis, peneliti, dosen, bidang pemasaran, hospitality, atau pekerjaan administratif.
Terdapat empat kriteria yang harus diperhatikan perusahaan sebelum menerapkan sistem empat hari kerja. Pertama, budaya dan komitmen kerja yang kuat. Kedua, merancang ulang sistem kerja. Ketiga, pengukuran kinerja yang terukur agar produktivitas kerja tidak menurun dan, keempat, kesiapan dan kematangan organisasi karena siklus organisasi atau perusahaan yang berbeda dapat memengaruhi hasil skema kerja ini.
Apakah jika semua sektor usaha di Indonesia melakukan pemampatan jam kerja, produktivitas tenaga kerja di Indonesia bisa terangkat? Jawabannya, belum tentu.
Tantangan utama dari penerapan sistem pemampatan jam kerja adalah memastikan karyawan dapat menerima tuntutan kerja untuk menghasilkan jumlah yang sama dalam waktu yang lebih sedikit. Jika budaya kerja dan komitmen kerja tidak selaras dengan sistem empat hari kerja sepekan, produktivitas kerja justru bisa menurun.
Kendati demikian, Eko mengakui penerapan sistem pemampatan jam kerja membawa sejumlah manfaat positif bagi pekerja, di antaranya mengurangi stres, meningkatkan employee engagement, mengurangi isu kesehatan mental yang berdampak pada produktivitas, serta meningkatkan retensi dan kepuasan kerja.