AI disebut bisa membantu negara-negara yang mengalami penuaan populasi dan kekurangan tenaga kerja.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Sejumlah negara mengalami penyusutan populasi, salah satunya karena terus menurunnya angka kelahiran. Kondisi itu pun berdampak pada tak terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja di negara-negara tersebut. Di tengah situasi itu, muncul harapan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bisa mengisi ruang kosong tersebut, meskipun tidak bisa menggantikannya secara penuh.
Salah satu negara tersebut ialah Jepang yang pada 2023 mengalami penurunan angka kelahiran selama delapan tahun beruntun. Pada 2023, menurut laporan Reuters, angka kelahiran di Jepang menurun 5,1 persen dibandingkan 2022 menjadi 758.631. Sementara angka pernikahan menurun 5,9 persen menjadi 489.281. Untuk pertama kalinya dalam 90 tahun, angka pernikahan di bawah 500.000.
Bagaimanapun, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi satu negara. Oleh karena itu, di tengah terus menurunnya populasi, AI diharapkan menjadi satu solusi dalam mengisi gap antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja. Terlebih, selama ini Jepang dikenal sebagai salah satu negara terdepan dalam inovasi dan teknologi.
Dikutip dari BBC, Sabtu (20/4/2024), Eat&Holdings, perusahaan induk jenama Osaka Ohsho, yang terkenal akan produksi gyoza (pangsit khas Jepang), telah memanfaatkan AI. Inovasi itu terdorong oleh terbatasnya tenaga kerja saat permintaan melonjak kala pandemi Covid-19. Sebab, untuk menjaga kualitas gyoza yang dihasilkan, dibutuhkan pengecekan berulang oleh para pekerja.
Pada akhirnya, jawabannya ada pada teknologi. Pada Januari 2023, mereka membuka tempat produksi gyoza berteknologi tinggi yang dilengkapi kamera AI. Dengan teknologi tersebut, kamera mampu mendeteksi kesalahan dalam produksi gyoza. Adapun fasilitas tersebut mampu memproduksi dua gyoza per detik atau dua kali kecepatan tempat produksi Osaka Ohsho lainnya.
”Dengan mengimplementasikan AI, kami telah mengurangi tenaga kerja di jalur produksi hingga hampir 30 persen,” kata juru bicara perusahaan tersebut, Keiko Handa.
Osaka Ohsho baru-baru ini juga meluncurkan robot masak yang dilengkapi AI bernama I-Robo di sejumlah restoran mereka di Tokyo. Perusahaan meyakini teknologi tersebut bisa mengatasi masalah keterbatasan tenaga kerja, terlebih melatih koki akan menyita waktu.
Dengan mengimplementasikan AI, kami telah mengurangi tenaga kerja di jalur produksi hingga hampir 30 persen.
Di samping itu, di Jepang, AI juga mulai digunakan di sektor pertanian, salah satu industri yang mengalami penuaan tercepat di negara itu. Rata-rata usia petani Jepang saat ini ialah 68,4 tahun. AI digunakan untuk mengidentifikasi beragam penyakit, hama, dan gulma pada tanaman. Dengan demikian, deteksi dini dan pencegahan penyakit bisa dilakukan.
”Tingkat akurasinya berkisar 70-80 persen. Jadi, tidak sebagus (diagnosis) para ahli, tetapi lebih baik dibandingkan para petani pada umumnya. Semakin lama kami mengerjakan aplikasi ini, kami semakin menyadari betapa luar biasanya hasil kerja manusia. Tapi, (masalahnya), jumlah para ahli terus menurun sehingga AI dapat menjadi solusi,” kata Kentarou Taniguchi dari Nihon Nohyaku.
Salah satu petani di Jepang, Kensuke Takahashi, yang telah menggunakan aplikasi itu selama tiga tahun sepakat bahwa AI bisa membantu memodernisasi sektor pertanian. ”Jumlah petani di Jepang turun drastis, tetapi total produksi (pertanian) di Jepang meningkat,” katanya. Namun, ia pun tak menampik bahwa banyak petani berusia tua yang tetap skeptis pada AI.
Menghambat produktivitas
Selain Jepang, penuaan penduduk juga terjadi di Eropa, salah satunya Jerman. Dikutip dari Bloomberg, populasi usia kerja di Jerman telah mencapai puncaknya pada pengujung abad ke-20. Namun, setelahnya, Jerman terbantu dengan kedatangan jutaan imigran serta peningkatan jumlah perempuan yang bekerja. Akan tetapi, dua faktor pendukung itu kini mulai pudar seiring pensiunnya generasi baby boomer.
Hal itu dirasakan betul oleh Andre Schulte-Suedhoff, pemimpin Schuko, perusahaan yang bergerak dalam bisnis sistem dan teknologi penyaringan udara. Pada 2023, untuk pertama kalinya dalam 20 tahun, ia harus menghabiskan akhir pekan dengan turun langsung bekerja di tempat produksi. Hal itu terpaksa ia lakukan karena perusahaannya kekurangan pekerja, sedangkan tenggat menyelesaikan pesanan semakin mepet.
Bagi Schuko dan ribuan perusahaan lain di seluruh Jerman, hambatan itu semakin biasa terjadi. Padahal, mereka sebenarnya berpeluang untuk terus berekspansi. ”(Tapi) Hal utama yang menghambat ialah ketiadaan tenaga kerja,” kata Schulte-Suedhoff.
Selama bertahun-tahun, Jerman, negara dengan perekonomian terbesar di Eropa itu, memiliki mesin pertumbuhan ekonomi berupa produktivitas, terutama oleh perusahaan-perusahaan teknik serta otomotif, mulai dari skala kecil hingga global. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, produktivitas relatif stagnan. Kenaikan produktivitas kurang dari 2 persen sejak 2015. Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat, misalnya, yang mencapai 8 persen pada periode sama.
Salah satu faktor produktivitas tenaga kerja di Jerman stagnan ialah lambatnya transisi ke era digital. Kehadiran AI dipercaya bisa membantu negara-negara maju seperti Jerman dalam mengatasi masalah penuaan penduduk. Namun, kata Schulte-Suedhoff, tenaga kerja terlatih tetap akan diperlukan untuk menyervis para robot dan mengeset infrastruktur digital.
Tantangan global
Sementara itu, penurunan tingkat kesuburan diperkirakan bakal memicu perubahan demografi dalam 25 tahun ke depan, yang akan berdampak pada perekonomian global. Seperti dilaporkan CNBC, prediksi itu berdasarkan hasil studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet pada 20 Maret 2024. Studi itu menyebutkan, tiga perempat negara di dunia akan berada di bawah 2,1 kelahiran per perempuan pada 2050.
Pergeseran lanskap demografi itu diperkirakan akan berpengaruh signifikan pada kondisi sosial, ekonomi, lingkungan hidup, dan geopolitik di tingkat global. Terjadinya penyusutan angkatan kerja di negara-negara maju pun menjadi tak terhindarkan sehingga akan memerlukan intervensi politik dan fiskal secara signifikan. Akan tetapi, di sisi lain, teknologi akan turut membantu mengatasinya.
”Seiring penurunan jumlah angkatan kerja, perekonomian secara keseluruhan akan cenderung menurun meskipun output per pekerja tetap sama. Akan ada banyak tantangan. Namun, AI dan robotika akan mengurangi dampak ekonomi akibat kondisi itu meskipun sejumlah sektor, seperti perumahan, bakal benar-benar terdampak,” kata Dr Christopher Murray, penulis utama laporan itu.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam jangka pendek, Indonesia disebut akan memasuki puncak bonus demografi pada 2030. Pada saat itu jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan penduduk nonproduktif.
Penyiapan SDM menjadi salah satu pekerjaan rumah krusial agar bonus demografi mampu menggerakkan roda perekonomian, bukan malah menjadi beban, atau justru digantikan AI. Dengan demikian, Indonesia akan mampu menuju Indonesia Emas, bukan Indonesia cemas.