Kepesertaan BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah Baru 11 Persen
Kendala kepesertaan ada pada manfaat program yang belum dikenal dan keberlanjutan pembayaran iuran.
JAKARTA, KOMPAS — Cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan dari sisi pekerja bukan penerima upah atau BPU baru masih rendah, yaitu 11 persen dari total pekerja informal yang sebesar 82,67 juta orang. Kendala kepesertaan BPU terletak pada manfaat program yang belum masif dikenal dan keberlanjutan pembayaran iuran yang rendah.
Pekerja yang termasuk BPU pada program jaminan sosial ketenagakerjaan mencakup antara lain wirausaha, pekerja lepas, dan pekerja di luar hubungan kerja, seperti pekerja mitra perusahaan aplikasi digital.
Berdasarkan dokumen paparan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR, pekan lalu, jumlah peserta jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) dari sisi BPU cenderung naik dari 2019 hingga 2023. Pada tahun 2019, jumlah peserta BPU program JKK dan JKM tercatat mencapai 2,71 juta orang. Adapun jumlahnya per Desember 2023 telah naik menjadi 9,19 juta orang.
Baca juga: Hingga Juli 2023, Jumlah Peserta BPJS Ketenagakerjaan Baru 37,4 Juta Orang
Adapun jumlah peserta BPU pada program Jaminan Hari Tua (JHT) sepanjang 2019–2023 juga naik. Pada tahun 2019, jumlah peserta BPU pada program JHT tercatat 209.418 orang. Lalu, per Desember 2023, jumlahnya telah meningkat menjadi 632.794 orang.
Dalam dokumen paparan yang sama disebutkan, kenaikan jumlah kepesertaan BPU dalam dua tahun terakhir sangat signifikan, yaitu melebihi 50 persen per tahun. Namun, cakupan peserta BPU seperti itu dinilai tetap masih rendah, yaitu 11 persen dari total pekerja sektor informal yang sebesar 82,67 juta pekerja.
Baca juga: Kemenaker Siapkan Regulasi Khusus Hubungan Kerja Kemitraan
National Project Officer for Social Protection, Social Protection Programme International Labour Organization (ILO) Indonesia and Timor Leste, Christianus Pandjaitan, Senin (1/4/2024), di Jakarta, mengatakan, program JKK dan JKM secara legal wajib bagi pekerja penerima upah (PPU) atau pekerja formal dan BPU. Tantangannya sekarang ada di operasional program.
”Tantangan utama ialah bagaimana memberikan pengalaman positif bagi pekerja sehingga kepercayaan terhadap program asuransi sosial meningkat. Hal itu karena kesadaran masyarakat tentang pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan masih rendah,” ujarnya.
Program keagenan jaminan sosial ketenagakerjaan yang telah tersedia di masyarakat, menurut Christianus, kurang optimal untuk meningkatkan cakupan kepesertaan BPU. Pemberian sanksi juga bukan solusi tepat untuk meningkatkan cakupan kepesertaan.
”Pemerintah sebenarnya bisa meningkatkan cakupan kepesertaan BPU dengan melaksanakan program jaminan sosial ketenagakerjaan secara universal, terutama jaminan pensiun, sehingga bisa langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan juga perlu terus memberikan manfaat positif bagi pekerja peserta jaminan sosial ketenagakerjaan,” katanya.
Ketua Umum Serikat Pekerja Platform Digital yang berafiliasi dengan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) Herman Hermawan, saat dikonfirmasi, menceritakan, belum semua mitra pengemudi ojek daring anggota serikat yang menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan. Dari total 1.800 anggota, baru 35 persen di antaranya tercatat sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan.
”Mereka (perusahaan layanan transportasi berbasis aplikasi/ride hailing) hanya memfasilitasi pengemudi untuk mendaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, sedangkan untuk pembayaran iuran dilakukan oleh pengemudi sendiri. Kami beberapa kali diskusi dengan Kemenaker mengenai hal itu dan meminta supaya perusahaan ride hailing membayar iuran jaminan sosial pengemudi yang dananya diambil dari potongan komisi yang pengemudi setor ke perusahaan,” ujarnya.
Kami minta dari potongan komisi yang harus kami setor ke perusahaan ride hailing itu dipakai saja untuk membayar iuran jaminan sosial.
Herman menekankan, nominal iuran jaminan sosial ketenagakerjaan yang dibayar oleh mitra pengemudi ride hailing per bulan sebenarnya hanya Rp 16.800. Nominal sebesar itu sebenarnya tidak dipermasalahkan oleh mitra pengemudi. Sebaliknya, hal yang mereka persoalkan ialah besarnya potongan komisi per order yang wajib mereka setor ke perusahaan layanan ride hailing.
”Jadi, pendapatan bersih yang kami bawa pulang menjadi sedikit. Itu pun belum kami potong untuk biaya kebutuhan sehari-hari, bayar bahan bakar minyak, dan servis kendaraan. Maka dari itu, kami minta dari potongan komisi yang harus kami setor ke perusahaan ride hailing itu dipakai untuk membayar iuran jaminan sosial,” kata Herman. Dengan demikian, mitra pengemudi tidak perlu merogoh kocek sendiri.
Inkonsistensi kebijakan
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar memandang, untuk meningkatkan cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan dari sisi BPU, pemerintah sebenarnya merujuk kembali ke Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pada Pasal 14 Ayat (1) dan (2) UU No 40/2004 disebutkan, pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada BPJS dan penerima bantuan iuran yang dimaksud ialah fakir miskin dan orang tidak mampu.
Kemudian, Pasal 17 Ayat (4) UU No 40/2004 menyebutkan iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh pemerintah.
Dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) Kementerian Sosial, terdapat sekitar 18 juta pekerja informal miskin. Dia memandang, Kemenaker semestinya berinisiatif merealisasikan mereka menjadi penerima bantuan iuran untuk program JKK, JKM, dan JHT.
”Apabila pekerja informal miskin yang sesuai DTKS Kementerian sosial mencapai sekitar 18 juta orang dan pekerja kemitraan seperti ojek daring yang sekitar 3 juta orang menjadi peserta jaminan sosial ketenagakerjaan, cakupan BPU jaminan sosial ketenagakerjaan akan bertambah,” ujarnya.
Analis Indonesia Labour Institute, Rekson Silaban, menambahkan, pemerintah sebenarnya pernah ingin menjalankan amanat itu. Namun, dengan alasan dana APBN tidak cukup, memasukkan pekerja informal miskin dan tidak mampu ke skema penerima bantuan iuran jaminan sosial ketenagakerjaan tidak dilaksanakan. Pemerintah malah memilih memperluas manfaat perlindungan sosial umum, seperti dana bantuan sosial.
”Inkonsistensi kebijakan seperti itu akan menyulitkan cakupan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan dari sisi BPU tercapai penuh (universal coverage). Sesuai data BPJS Ketenagakerjaan, per Desember 2023 jumlah peserta BPU untuk JKK dan JKM mencapai sekitar 9,19 juta orang, tetapi ada juga peserta BPU yang keluar dan jumlahnya lebih besar, yaitu sekitar 13 juta orang,” katanya.
Baca juga: Manfaat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Ditingkatkan
Sebelumnya, Menaker Ida Fauziyah mengatakan, kepesertaan BPU pada program jaminan sosial ketenagakerjaan terus mengalami kenaikan setiap tahun. Namun, pada saat bersamaan, klaim manfaat yang pekerja BPU lakukan juga ikut naik. Sebagai gambaran, rasio klaim JKM pada pekerja BPU mengalami peningkatan dari 55,6 persen pada 2019 menjadi 198,1 persen pada 2023. Hal ini mengganggu ketahanan dana JKM pekerja BPU yang sekarang rata-rata hanya 39 bulan.
”Kami berupaya menyempurnakan regulasi untuk memperluas cakupan kepesertaan BPU, evaluasi pelaksanaan program, dan keefektifan agen jaminan sosial ketenagakerjaan. Di samping itu, kami mendorong BPJS Ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, masifikasi sosialisasi, dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mengoptimalkan sumber dana daerah untuk memberikan perlindungan bagi BPU yang rentan,” ujar Ida saat menghadiri rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (26/3/2024), di Jakarta.