Pemerintah Masih Dalami Penyebab Ledakan Tungku Smelter di Morowali
Kendati penyebab ledakan tungku smelter belum dapat dipastikan, sejumlah pihak menduga kurangya transparansi perusahaan dan minimnya kesadaran akan aspek keselamatan kerja menjadi faktor utama sehingga perlu dievaluasi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih mendalami penyebab terjadinya ledakan tungku smelter di kawasan industri Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, yang mengakibatkan sejumlah pekerja meninggal dunia dan mengalami luka-luka. Sementara itu, total manfaat yang akan diberikan kepada korban diperkirakan mencapai Rp 2 miliar.
Insiden tersebut terjadi di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS), salah satu perusahaan tenant atau penyewa yang beroperasi di kawasan industri Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) pada Minggu (24/12/2023) pukul 05.30 Wita. Saat itu, pekerja tengah memperbaiki tungku pembakaran dan memasang pelat di bagian tungku formasi nomor 41.
Dari hasil investigasi sementara, ledakan terjadi akibat adanya cairan yang memicu semburan api pada bagian bawah tungku dan menyulut sejumlah tabung oksigen yang digunakan untuk mengelas dan memotong komponen tungku di sekitar area tungku. Akibatnya, belasan pekerja meninggal dan puluhan pekerja lainnya dirawat secara intensif.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pihaknya telah mengerahkan tim Pengawasan Ketenagakerjaan ke lokasi kejadian sejak Senin (25/12/2023). Tim tersebut bertugas untuk mengumpulkan data dan informasi di lokasi kejadian untuk mengetahui penyebab terjadinya ledakan.
”Tim kami di lapangan masih mencari tahu penyebab ledakan tungku smelter formasi nomor 41 di PT ITSS. Data-data terus dikumpulkan, baik dari PT ITSS maupun dari PT OSMI yang pekerjanya turut menjadi korban,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Kamis (28/12/2023).
Anwar menambahkan, dari 59 pekerja yang menjadi korban tercatat, baik sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan. Adapun korban meninggal dunia menerima santunan sebesar Rp 600 juta yang diserahkan kepada ahli waris, baik secara tunai maupun melalui transfer.
Sementara itu, puluhan pekerja yang mengalami luka-luka masih dirawat di sejumlah fasilitas medis di Kabupaten Morowali dan ditanggung oleh BPJS. Lebih lanjut, Kemenaker akan memastikan para pekerja yang menjadi korban dapat terpenuhi hak-haknya.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo mengatakan, pihaknya akan terus berkoordinasi dengan pihak perusahaan dan keluarga dari para korban untuk mempercepat pembayaran manfaat. Berdasarkan data sementara, total manfaat yang akan diberikan BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 2 miliar dan dapat terus bertambah seiring dengan proses verifikasi korban yang masih berlangsung.
Sejak insiden terjadi, BPJS Ketenagakerjaan telah menerjunkan tim Layanan Cepat Tanggap (LCT) guna memastikan seluruh peserta yang menjadi korban mendapatkan perawatan dan pengobatan yang optimal. Para korban yang terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan akan dijamin memperoleh hak atas manfaat perlindungan Jaminan Kecelakaan Kerja.
”Kami berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dengan memastikan seluruh peserta yang menjadi korban mendapatkan perawatan hingga sembuh, sedangkan bagi korban meninggal kami akan segera membayarkan seluruh hak-haknya kepada para ahli waris,” ungkap Anggoro.
Dalam beberapa tahun terakhir, bisa dibilang kejadian ini yang paling besar dan fatal karena memakan banyak korban jiwa. Di sisi lain, PT ITSS termasuk perusahaan yang tertutup dan tidak transparan.
Berdasarkan laporan sementara tim LCT, hingga saat ini terdapat 48 korban yang telah terverifikasi sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Dari jumlah tersebut, 14 orang di antaranya meninggal dunia, 19 orang luka berat, dan 15 orang lainnya mengalami luka ringan.
Bagi korban yang tidak dapat bekerja untuk sementara waktu, BPJS Ketenagakerjaan akan memberikan santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) sebesar 100 persen upah yang dilaporkan selama 12 bulan, dan selanjutnya 50 persen upah hingga sembuh.
Selain itu, ahli waris dari korban meninggal akan mendapatkan santunan kematian akibat kecelakaan kerja sebesar 48 kali upah dilaporkan, biaya pemakaman Rp 10 juta, santunan berkala yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp 12 juta, serta beasiswa untuk 2 orang anak, dari pendidikan dasar sampai kuliah, maksimal mencapai Rp 174 juta.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian turut mengirimkan tim khusus untuk meninjau lokasi kejadian ledakan tungku smelter di PT ITSS. Kepala Badan Standardisasi, Kebijakan dan Jasa Industri (BSKJI) Kementerian Perindustrian Andi Rizaldi menjelaskan, pihaknya diperintahkan oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang untuk berkomitmen dalam menjaga dan mengawasi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) di lingkungan industri sejak insiden tersebut terjadi.
Sebagai informasi, tim itu dipimpin oleh pihak Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronik (ILMATE) serta beranggotakan perwakilan dari Ditjen Ketahanan, Perwilayahan, Akses Industri Internasional (KPAII) dan BSKJI. Andi menambahkan, tim tersebut telah berkoordinasi dengan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tengah (Sulteng).
”Saat ini kami juga masih menunggu hasilnya. Nanti kalau sudah hasilnya kami akan sampaikan bersama Polda Sulteng,” ujar Andi pada lokakarya dengan wartawan di Bali, Kamis.
Baca juga: Cegah Ledakan Tungku Smelter Berulang, Kemenaker Tambah Tenaga Pengawas
Direktur Jenderal Ketahanan Perwilayahan dan Akses Industri Internasional Eko Cahyanto menambahkan, keamanan dan keselamatan pengoperasian alat merupakan salah satu dari 10 aspek pengawasan dan pengendalian operasional industri. Dari kejadian ini, akan diteruskan pengawasan keamanan dan keselamatan operasional industri.
Evaluasi
Kendati penyebab ledakan tungku smelter belum dapat dipastikan, sejumlah pihak menduga kurangya transparansi perusahaan dan minimnya kesadaran akan aspek keselamatan pekerja menjadi faktor utama sehingga perlu dievaluasi. Peneliti Alpha Research Database Indonesia, Ferdy Hasiman, mengatakan, insiden tersebut menjadi bahan evaluasi akan pentingnya aspek transparansi perusahaan.
Melansir laman Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT ITSS terdaftar memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus (IUP OPK) dengan jenis operasi olah-murni dan jenis komoditas mineral logam. Lebih lanjut, PT ITSS telah mengantongi Nomor Perizinan IUP OPK 59/1/IUP/PMA/2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019 sampai 15 Oktober 2049.
Dari segi kepemilikan, mayoritas saham PT ITSS dipegang oleh perusahaan asal China, yakni Tsingshan Holding Group Company Limited sebesar 50 persen, Ruipu Technology Group Company Limited sebesar 20 persen, Tsingtuo Group Co Ltd sebesar 10 persen, serta Hanwa Company Limited sebesar 10 persen. Adapun PT Indonesia Morowali Industrial Park memiliki saham atas PT ITSS sebesar 10 persen.
”Dalam beberapa tahun terakhir, bisa dibilang kejadian ini yang paling besar dan fatal karena memakan banyak korban jiwa. Di sisi lain, PT ITSS termasuk perusahaan yang tertutup dan tidak transparan,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Direktur Studi China-Indonesia Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat berpendapat, kecelakaan kerja yang terjadi di lingkungan smelter telah terjadi hampir di setiap tahunnya sejak 2018 atau selama lima tahun terakhir. Faktor penyebab utamanya ialah minimnya pengawasan K3, baik dari perusahaan maupun pemerintah.
Ini sangat disayangkan. Saat melintasi kawasan IMIP pada November 2023, keamanannya memang sangat ketat. Akan tetapi, ironisnya, APD (alat pelindung diri) dijual di toko-toko kelontong di sekitar perusahaan. Padahal, APD ini bagian dari K3 yang penting dan seharusnya dikasih dengan cuma-cuma, tetapi justru demikian. Artinya perusahaan hanya mengedepankan produk, tetapi tidak memperhatikan pekerja.
Menurut Zulfikar, Pemerintah Indonesia menjadi garda terdepan untuk memastikan aspek keselamatan pekerja dalam kaitan investasi dengan negara lain, khususnya China. Apabila pemerintah tidak tegas, kelalaian dan keberulangan akan terus terjadi.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan penguatan regulasi dan didiskusikan lebih lanjut antara Pemerintah Indonesia dan China saat pertemuan bilateral. Penelitian Celios pada 2023 menemukan, pertemuan bilateral antara kedua negara tersebut yang hampir berlangsung setiap bulan tidak pernah membahas isu-isu terkait tenaga kerja, dan dampak lingkungan bagi masyarakat di sekitar tambang. Pertemuan itu hanya membahas soal investasi.
”Ini sangat disayangkan. Saat melintasi kawasan IMIP pada November 2023 lalu, keamanannya memang sangat ketat. Akan tetapi, ironisnya, APD (alat pelindung diri) dijual di toko-toko kelontong di sekitar perusahaan. Padahal, APD ini bagian dari K3 yang penting dan seharusnya dikasih dengan cuma-cuma, tetapi justru demikian. Artinya perusahaan hanya mengedepankan produk, tetapi tidak memperhatikan pekerja,” katanya.
Baca juga: Korban Tewas Ledakan Smelter Morowali Jadi 18 Orang, Puluhan Pekerja Masih Dirawat