Sawit Rakyat Naik Kelas dan Janji Perusahaan
Harga tandan buah segar (TBS) masih sama dengan TBS dari lahan yang belum bersertifikat.
Awalnya serba repot dan ribet. Selain memakai pekaian lengan panjang, memupuk pohon kelapa sawit saja harus memakai alat pelindung diri atau APD. APD itu mulai dari helm, masker, sarung tangan, sepatu boot, kacamata, dan apron. Begitu juga saat menyemprotkan pestisida ke pohon kelapa sawit.
Selain itu, penggunaan pupuk juga harus ditakar. Penaburan pupuk juga harus tepat di piringan atau sebuah lingkaran dengan diameter tertentu yang mengelilingi pohon kelapa sawit. Jika ada pupuk yang menggumpal, harus dihaluskan kembali menjadi serpihan.
”Lahan-lahan sendiri, kok, harus dibuat repot. Suka-suka saya, dong,” kata Joko Prasetyo, petani sawit mandiri sekaligus Ketua Asosiasi Pekebun Swadaya Kelapa Sawit Pelalawan Siak (APSKSPS), di Pelalawan, Kabupaten Siak, Riau, Kamis (2/11/2023).
Semula, Joko enggan mengikuti praktik pertanian yang baik (good agricultural practices/GAP) di sektor kelapa sawit yang digelar International Finance Corporation (IFC) dan PT Musim Mas pada 2015. Ia juga butuh bukti konkret berupa peningkatan produksi tandan buah segar (TBS) kepala sawit untuk bergabung sebagai petani sawit swadaya yang menerapkan praktik budidaya sawit yang baik berkelanjutan.
Baca juga: Ekonomi Sawit Mesti Berkelanjutan
Akhirnya, Joko baru bergabung setahun kemudian. Itu pun setelah ia melihat perubahan kebun sawit dan peningkatan produksi TBS sawit petani swadaya lain. ”Kebunnya bersih. Setiap pohon kelapa sawit terdapat piringan. Produksi TBS-nya juga meningkat sedikit,” katanya.
Saat ini, dari pohon kelapa sawit di lahannya yang seluas 8,3 hektar, produksi TBS meningkat dari 4-5 ton menjadi 7-8 ton. Joko sudah mengantongi sertifikat sawit berkelanjutan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Berkat penjualan kredit RSPO, Joko dan petani anggota APSKSPS mendapat premi senilai Rp 2,79 miliar pada 2022. Dana itu, antara lain, digunakan untuk iuran BPJS Ketenagakerjaan para petani sawit swadaya anggota APSKSPS, dan pembelian APD.
Pada 2020, anggota APSKSPS yang telah memiliki sertifikat RSPO sebanyak 367 petani swadaya dengan total lahan seluas 1.424,26 hektar. Pada tahun ini, jumlahnya bertambah menjadi 745 petani swadaya dengan total lahan seluas 2.290,7 hektar. Dari jumlah itu, sebanyak 380 petani swadaya juga telah mengantongi sertifikat ISPO.
General Manager of Program and Projects Grup Musim Mas, Robert Nicholls, menuturkan, petani kelapa sawit swadaya merupakan aktor penting untuk mewujudkan sawit berkelanjutan di Indonesia. Pasalnya, jumlahnya sebanyak 2,4 juta keluarga dengan total luas lahan 6,8 juta hektar atau 41 persen dari total 16,3 juta hektar luas perkebunan sawit Indonesia.
Oleh karena itu, Musim Mas terus melanjutkan program yang dirintis bersama IFC. Salah satu program itu berupa Training for Smallholders. Melalui pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan, petani sawit swadaya dilatih untuk mempraktikkan budidaya sawit yang baik dan berkelanjutan.
”Fokus kami adalah meningkatkan produksi sawit petani swadaya ketimbang membuka lahan baru atau mengalihfungsikan lahan tanaman pangan menjadi lahan sawit. Hal itu juga membuka pelung bagi petani swadaya mendapatkan sertifikat RSPO dan ISPO,” tuturnya.
Fokus kami adalah meningkatkan produksi sawit petani swadaya ketimbang membuka lahan baru atau mengalihfungsikan lahan tanaman pangan menjadi lahan sawit.
Baca juga: Sawit di Negeri Jelapang Padi
Sejak dimulai pada 2017 hingga September 2023, program itu telah menjangkau 42.900 petani dengan total lahan sawit seluas 87.700 hektar. Mereka tersebar di sejumlah daerah di enam provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimatan Tengah.
Dari jumlah itu, sebanyak 4.194 petani telah memiliki sertifkat RSPO dan 1.959 petani mengantongi sertifikat ISPO. Total kredit RSPO petani swadaya yang terjual juga meningkat dari Rp 1,46 miliar menjadi Rp 13,64 miliar.
Tantangan
Meskipun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi petani kelapa sawit mandiri yang telah naik kelas tersebut. Tantangan utamanya adalah harga TBS dari lahan sawit yang telah tersertifikasi RSPO dan ISPO masih sama dengan TBS dari lahan yang tidak memiliki kedua sertifikat tersebut.
Harga TBS petani sawit mandiri juga selalu berada di bawah harga petani sawit plasma atau yang berafiliasi langsung dengan perusahaan-perusahaan sawit. ”Saat ini, harga rata-rata TBS petani sawit mandiri baik yang bersertifikat RSPO dan ISPO maupun tidak Rp 1.800 per kg. Harga tersebut terpaut sekitar Rp 200 per kg dari harga TBS sawit petani plasma,” kata Joko.
Baca juga: Petani Sawit Rakyat Masih Kesulitan Dapatkan Sertifikat Berkelanjutan
Hal serupa juga dikhawatirkan Warji Suhendro (52), petani sawit swadaya Desa Sungai Linau, Kecamatan Siak Kecil, Kabupaten Bengkalis, Riau. Ia yang tengah mengikuti program Training for Smallholders mengaku TBS-nya hanya laku Rp 1.500 per kg. Selisihnya dengan harga TBS sawit petani plasma bisa mencapai sekitar Rp 500 per kg.
Baik Joko maupun Warji mengakui, hal itu terjadi lantaran mayoritas petani sawit mandiri menjualnya TBS ke tengkulak. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah jarak perkebunan petani sawit mandiri dengan pabrik-pabrik kelapa sawit milik perusahaan-perusahaan besar cukup jauh. Kondisi itu menyebabkan tambahan biaya pengangkutan.
”Saya berharap ke depan perusahaan-perusahaan sawit besar mau untuk membeli TBS dari petani sawit mandiri. Mereka bisa jemput bola ke kelompok-kelompok tani,” kata Warji.
Selain harga TBS, tantangan lain yang dihadapi petani sawit mandiri adalah meremajakan tanaman kelapa sawit yang sudah tua. Sebanyak 60 persen pohon kelapa sawit anggota APSKSPS, misalnya, telah berusia lebih dari 30 tahun. Hal ini membutuhkan peremajaan dan bantuan benih sawit unggul.
Saya berharap ke depan, perusahaan-perusahaan sawit besar mau untuk membeli TBS dari petani sawit mandiri. Mereka bisa jemput bola ke kelompok-kelompok tani.
Baca juga: Penjualan Sawit Petani Mandiri Bersertifikat RSPO Masih Bergantung kepada Tengkulak
Menanggapi hal itu, Robert mengatakan, Musim Mas dan kelompok-kelompok petani yang didampingi tengah memetakan dan mencarikan solusi atas rendahnya harga TBS sawit petani mandiri. Selain itu, Musim Mas juga berkomitmen membantu program percepatan peremajaan sawit rakyat. Berbekal kemampuan GAP, petani-petani sawit swadaya semakin siap untuk meremajakan tanaman sawit.
Varietas baru
Selain itu, Musim Mas juga telah mengembangkan empat varietas kelapa sawit baru, yakni kelapa sawit hybrid DxP Musim Mas GS1, DxP Musim Mas GS2, DxP Musim Mas GS3, dan DxP Musim Mas GS4. Pelepasan varietas itu telah disetuji Tim Penilai Varietas (TPV) Tanaman Perkebunan pada 26 Oktober 2023. Ke depan, varietas baru ini dapat menjadi salah satu solusi bagi penyediaan benih sawit unggul bagi petani sawit swadaya.
Director of Strategy & Planning Grup Musim Mas, Teong Kwee Lim, mengatakan, varietas GS ini berpotensi menghasilkan TBS rata-rata empat tahun panen pertama sebanyak 28 ton per ha per tahun. Minyak sawit mentah (CPO) yang dihasilkan bisa mencapai 8,8 ton per hektar per tahun.
Kemudian setelah empat tahun, produksi TBS bisa mencapai 34 ton per hektar per tahun dan CPO sekbanyak 10,4 ton per ha per tahun. Tanaman dari varietas ini juga sudah mulai berproduksi pada usia 25 bulan.
”Produksi CPO dari varietas itu lebih tinggi dari rata-rata kelapa sawit yang kami budidayakan selama ini, yakni sekitar 5,5 ton per hektar per tahun. Masa produksi varietas baru itu juga lebih cepat dibandingkan masa produksi tanaman sawit pada umumnya yang sekitar 30 bulan,” katanya.
Pada tahap awal, lanjut Liem, varietas ini akan ditanam di kebun Grup Musim Mas. Ke depan, pengunaan benih ini juga akan menyasar petani plasma dan swadaya.
Baca juga: Empat Tahun Penurunan Produksi Minyak Sawit Nasional Perlu Segera Dihentikan