Jangan Sampai Perseteruan RI-UE Jadi Perang Dagang
Perseteruan dagang RI dengan Uni Eropa bukanlah perang dagang. Langkah penyelesaiannya perlu terus diupayakan dengan mempertimbangkan keberlanjutan hubungan dagang dan ekonomi kedua pihak.
JAKARTA, KOMPAS — Perseteruan dagang Indonesia dengan Uni Eropa semakin intens tahun ini. Sejumlah kalangan berharap agar perseteruan tersebut tidak menjadi perang dagang seperti Amerika Serikat versus China.
Sepanjang Januari-Agustus 2023, terdapat lima peristiwa yang menggambarkan sengketa RI dengan UE. Pertama, RI menyengketakan UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) atas pengenaan bea masuk imbalan (BMI) dan bea masuk antidumping (BMAD) baja nirkarat pada Januari 2023.
Kedua, Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO memenangkan UE atas sengketa larangan ekspor dan hilirisasi bijih nikel RI pada Februari 2023. Ketiga, RI masih menunggu hasil putusan akhir DSB WTO atas kasus sengketa Arah Energi Terbarukan (RED) II UE yang mengeluarkan biodiesel dari daftar energi terbarukan.
Keempat, RI mengajukan permohonan konsultasi ke WTO karena UE mengenakan BMI biodiesel RI pada 15 Agustus 2023. Kelima, UE mengumumkan penyelidikan biodiesel RI yang diduga diekspor melalui China dan Inggris untuk menghindari BMI.
Pada periode yang sama ada dua peristiwa yang memantik perseteruan RI-UE. Pertama, implementasi Undang-Undang Produk Bebas Deforestasi UE (EUDR) yang berujung pada pembentukan Satuan Tugas Gabungan EUDR RI, Malaysia, dan UE pada Juli 2023. EUDR menyasar sejumlah produk, seperti minyak sawit (CPO), kakao, karet, dan kayu beserta produk turunannya.
Kedua, terbitnya regulasi Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon (CBAM) UE pada 16 Mei 2023 dan Peraturan Pelaksana Komisi UE Nomor 956 Tahun 2023 tentang Kewajiban CBAM Selama Masa Transisi pada 17 Agustus 2023. Penerapan regulasi yang menyasar besi baja, pupuk, aluminium, listrik, dan hidrogen ini akan memasuki masa transisi pada 1 Oktober 2023 hingga 31 Desember 2025.
Sepanjang Januari-Agustus 2023, terdapat lima peristiwa yang menggambarkan sengketa RI-UE. Selain itu, pada periode yang sama ada dua peristiwa yang memantik perseteruan RI-UE.
Baca juga: Peraturan Pelaksana CBAM Terbit, Perseteruan RI-UE Makin Intens
Pengamat perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, Minggu (21/8/2023), berpendapat, perseteruan dagang RI-UE memang semakin intens. Namun, perseteruan itu bukan merupakan perang dagang.
”Kedua pihak tidak saling berbalas menaikkan tarif atau membuat kebijakan yang memicu retaliasi. Jangan sampai perseteruan yang semakin intens saat ini menjadi perang dagang,” ujarnya ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/8/2023).
Fithra menjelaskan, RI melarang ekspor sejumlah komoditas tambang, termasuk nikel, lantaran ingin mengembangkan industri berbasis hilirisasi. Langkah ini membuat UE khawatir tidak hanya dalam mendapatkan bahan baku nikel, tetapi juga menurunkan daya saing industri besi baja dan aluminium UE.
Sama halnya dalam konteks biodiesel dan minyak nabati, UE juga berupaya melindungi industri sejenis yang semakin kalah saing. Namun, langkah yang diambil UE dinilai terlalu mengada-ngada, karena mengeluarkan biodiesel sawit dari daftar energi terbarukan.
”RI juga sudah mengupayakan sertifikasi sawit berkelanjutan ISPO dan RSPO. Namun, UE justru menolaknya dan membuat standardisasi sendiri,” kata Fithra.
Perseteruan dagang RI-UE memang semakin intens. Namun, perseteruan itu bukan merupakan perang dagang.
Baca juga: RI-UE Kembali Berseteru di WTO Soal Biodiesel
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani juga berpendapat senada. Perseteruan dagang RI-UE tidak sama dengan perang dagang AS-China. Meskipun saling bersengketa, RI-UE sama-sama tidak menciptakan kebijakan dengan intensi untuk melukai atau merugikan satu sama lain secara sengaja.
Kebijakan larangan ekspor nikel, misalnya, tidak dibuat RI untuk mematikan industri besi baja UE kendati diklaim memiliki efek seperti itu. Sebaliknya, kebijakan EUDR dan CBAM juga tidak dibuat UE untuk mematikan ekspor komoditas tertentu meskipun sangat merugikan bagi RI. Regulasi UE tersebut juga tidak hanya menyasar komoditas RI, tetapi juga komoditas sejenis negara-negara lain.
”Berbeda dengan AS-China, kedua negara tersebut membuat kebijakan dengan intensi saling menjatuhkan. menghukum, dan memunculkan retaliasi atau tindakan balasan secara sengaja. RI-China juga mengabaikan peran WTO,” kata Shinta.
Optimalkan IEU-CEPA
Kendati begitu, Shinta mengakui, perseteruan RI-UE membuat para pelaku usaha Indonesia khawatir, serta pengembangan usaha ke pasar UE terhambat dan berpotensi berbiaya tinggi. Namun, mereka percaya RI-UE tetap mementingkan persahabatan dan keberlanjutan hubungan dagang dan ekonomi yang baik.
Langkah Pemerintah RI dan UE untuk menyelesaikan sengketa sudah berada di jalur yang benar. Keduanya telah berupaya mengklusterisasi sengketa yang ada, serta menjamin perdagangan dan investasi berjalan kondusif.
”Kami berharap tidak ada permainan isu terkait hal itu menjelang pemilu untuk mendapatkan simpati. Kami juga berharap RI-UE dapat menyelesaikan perseteruan sengketa berdasarkan klusterisasi baik melalui forum negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (IEU-CEPA) maupun forum-forum lain,” katanya.
Langkah Pemerintah RI dan UE untuk menyelesaikan sengketa sudah berada di jalur yang benar. Keduanya telah berupaya mengklusterisasi sengketa yang ada, serta menjamin perdagangan dan investasi berjalan kondusif.
Baca juga: Perundingan IEU-CEPA Bakal Semakin Alot
Fithra menambahkan, penyelesaian perseteruan RI-UE paling baik dibahas bersamaan dengan IEU-CEPA meski konsekuensinya perundingan itu bakal semakin alot dan lama. Kedua pihak dapat mencari kesepakatan bersama atas kepentingan masing-masing dan memasukkannya dalam klausul-klausul perjanjian.
”Jika EU khawatir dengan dominasi investasi China di sektor pertambangan, RI bisa mengajak EU untuk berinvestasi di sektor yang sama. UE sudah teruji mengembangkan manufaktur besi dan baja, bahkan aluminium,” ujarnya.
Kendati kinerja ekspor dan impor nonmigas RI ke/dari UE terkontraksi, neraca perdagangan RI atas UE masih surplus. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Januari-Juli 2023, ekspor nonmigas RI ke UE senilai 10,03 miliar dollar AS atau tumbuh minus 17,45 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Dalam periode perbandingan yang sama, impor nonmigas RI ke UE sebesar 8,43 miliar dollar AS atau terkontraksi minus 5,4 persen. RI masih membukukan surplus dagang atas UE sebesar 1,6 miliar dollar AS.
Baca juga: Diplomasi ”Meja dan Buku” Jadi Senjata RI Lawan Uni Eropa