Integrasi Ternak Sapi dan Kebun Sawit Tingkatkan Produktivitas
Menurut Kepala Pusat Riset Peternakan Badan Riset dan Inovasi Nasional Tri Puji Priyatno, swasembada daging sapi dapat dicapai ketika 5-10 persen lahan perkebunan sawit juga digunakan untuk peternakan sapi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memadukan lahan perkebunan sawit dengan peternakan sapi mulai gencar dilakukan. Integrasi sawit-sapi ditargetkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman sawit dan mengefisiensi biaya produksi untuk peternakan sapi. Meskipun begitu, pelaku usaha masih perlu mengeluarkan biaya tambahan agar penerapannya optimal.
Ketua Umum Gabungan Pelaku dan Pemerhati Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (Gapensiska) Joko Iriantono mengatakan, menggembalakan sapi di lahan tanaman sawit merupakan solusi yang menguntungkan untuk perkebunan dan peternakan. Bagi perkebunan, integrasi sapi-sawit dapat menambah nilai ekonomi dari diversifikasi komoditas serta mengurangi biaya herbisida dan pupuk.
”Para peternak sapi juga mengurangi biaya produksi berupa pakan dan menyiasati keterbatasan lahan. Dengan jumlah sapi yang meningkat, maka produksi daging potong nasional juga meningkat sehingga dapat mengurangi impor,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu (18/6/2023).
Badan Pusat Statistik mencatat, volume impor daging sapi nasional naik dari 148.964 ton pada 2016 menjadi 276.761 ton 2021. Integrasi sapi-sawit, kata Joko, diharapkan mampu menekan angka ketergantungan impor daging sapi karena produksi tidak sejalan dengan kebutuhan.
Merujuk Outlook Komoditas Peternakan Daging Sapi 2022 yang dirilis Kementerian Pertanian, konsumsi daging sapi per kapita dalam setahun akan mencapai 2,77 kilogram pada 2026. Dengan jumlah penduduk yang diproyeksikan 306 juta jiwa di 2026, kebutuhan daging sapi pada tahun tersebut mencapai 795.000 ton.
”Luas lahan perkebunan sawit di Indonesia sekitar 16,38 juta hektar. Jika 50 persen dari total lahan perkebunan sawit menyediakan tiga hektar untuk satu hewan ternak, maka mampu menambah 2,73 juta ternak sapi potong,” ujarnya.
Pakan ternak ini seluruhnya berasal dari limbah perkebunan sawit, misalnya, bungkil inti sawit merupakan sumber protein penting untuk pakan konsentrat. Dan, pakan itu menghabiskan sekitar 70 persen biaya produksi peternakan sapi. Dengan tersedianya bahan pakan lokal, biaya tersebut dapat diturunkan 30-40 persen.
Kendati begitu, untuk mewujudkan integrasi sapi-sawit bukan hal yang mudah. Mayoritas peternakan sapi potong di Indonesia, kata Joko, dikelola oleh peternak rakyat skala kecil. Mereka cenderung kesulitan untuk mengembangkan usahanya karena keterbatasan lahan. Pada saat bersamaan, masih ada ego sektoral antara pemilik peternakan dan perkebunan.
Saat ini, katanya, terdapat ribuan hektar lahan perkebunan sawit yang berpotensi terintegrasi dengan peternakan sapi. Para peternak akan menggembalakan sapinya di lahan sawit dengan sistem rotasi lahan selama 100 hari sekali.
Menurut Kepala Pusat Riset Peternakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Tri Puji Priyatno, perkebunan sawit mengandung biomassa yang melimpah untuk menjadi pakan ternak sapi. Biomassa yang dimaksud yaitu daun lidi, pelepah, tanda kosong, serat perasan, lumpur hingga bungkil sawit.
”Pakan ternak ini seluruhnya berasal dari limbah perkebunan sawit, misalnya, bungkil inti sawit merupakan sumber protein penting untuk pakan konsentrat. Pakan itu menghabiskan sekitar 70 persen biaya produksi peternakan sapi. Dengan tersedianya bahan pakan lokal, biaya tersebut dapat diturunkan 30-40 persen,” katanya.
Meskipun demikian, para pelaku usaha masih perlu mengeluarkan biaya kandang, pengolahan pakan, dan tenaga pemeliharaan untuk mewujudkan efisiensi integrasi sapi-sawit yang optimal. Ketika diterapkan optimal pada 5-10 persen lahan perkebunan sawit, ujar Joko, maka swasembada daging sapi nasional adalah keniscayaan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengungkapkan, integrasi sapi-sawit cukup baik tetapi pakan dari limbah sawit belum mencukupi untuk nutrisi sapi sehingga butuh pakan tambahan lain. Selain itu, kandang sapi juga perlu dipersiapkan untuk menghadapi serangan penyakit seperti jamur jamur kayu (Ganoderma lucidum).
”Pembuatan kandang juga membutuhkan lahan. Biasanya ini dilakukan oleh perusahaan yang sedang berkembang atau bekerja sama dengan mitra seperti koperasi atau kelompok peternak,” jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono menjelaskan, integrasi sapi-sawit memungkinkan secara teori, tetapi sejumlah perusahaan yang mencobanya belum menunjukkan hasil yang bagus. Misalnya, kegiatan penggemukan sapi, tidak maksimal dari segi penambahan berat badan.