Pemanfaatan Sawit yang Maksimal Bisa Turunkan Emisi
Selain berperan besar untuk ekonomi, sawit juga berkemampuan menyerap emisi dalam jumlah yang signifikan. Peran sawit dapat ditingkatkan dengan memanfaatkan seluruh bagian tumbuhan tersebut.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemanfaatan seluruh bagian dari tanaman sawit dapat berperan penting dalam penurunan emisi. Pemerintah kini tengah mengembangkan energi terbarukan berbasis sawit. Meskipun demikian, komitmen dari pengusaha perkebunan dan pabrik sawit dibutuhkan untuk mencapai target penurunan emisi di Indonesia.
Merujuk data Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022, luas lahan sawit Indonesia adalah 14,38 juta hektare pada 2022. Dengan kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2) sebesar 64,5 ton per hektar, maka sawit terhitung mampu menyerap 927,5 juta ton CO2 pada 2022.
Direktur Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) IPB University Meika Syahbana Rusli, mengatakan, sawit termasuk tanaman dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Karena itu, kemampuan serapan CO2 sawit tergolong lebih tinggi ketimbang tanaman lainnya.
”Semakin banyak bagian dari sawit yang dimanfaatkan, maka kian besar perannya dalam penurunan emisi. Terutama untuk campuran bahan bakar, pembangkit listrik, pupuk, dan lainnya,” ujarnya dalam diskusi bertajuk "Kontribusi Industri Sawit Terhadap Net Zero Emission Indonesia" secara daring di Jakarta, Rabu (24/5/2023).
Secara spesifik tentang penggunaan sawit untuk biodiesel, Meika mengutip data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) yang menemukan penggunaan B30 (campuran 30 persen biodiesel dalam seliter bahan bakar solar) dapat mengurangi emisi sebesar 24,6 juta ton pada 2020. Jumlah ini setara dengan 7,8 persen dari target capaian penurunan emisi sektor energi pada 2030, yaitu sebesar 314 juta ton.
Merujuk data Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi pemanfaatan biodiesel mencapai 10,44 juta kiloliter pada 2022. Hal ini berhasil menurunkan emisi sebesar 27,83 juta ton CO2.
Selain bahan bakar, Indonesia akan meningkatkan pemanfaatan produk sawit sebagai energi terbarukan, khususnya pembangkit listrik berbahan baku limbah cair dan limbah padat untuk biomassa. Saat ini terdapat lebih sekitar 800 pabrik kelapa sawit yang seluruhnya dapat memanfaatkan limbah untuk menghasilkan energi listrik.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, menuturkan, penggantian bahan bakar diesel dari minyak solar ke biodiesel dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 50-60 persen. Jumlah ini dapat lebih besar menjadi 62 persen apabila pabrik kelapa sawit menerapkan methane capture untuk memproduksi biodiesel (European Commission Joint Research Centre).
Selain bahan bakar, Indonesia akan meningkatkan pemanfaatan produk sawit sebagai sumber energi terbarukan, khususnya pembangkit listrik berbahan baku limbah cair dan limbah padat untuk biomassa. Dadan menjelaskan, saat ini terdapat lebih sekitar 800 pabrik kelapa sawit yang seluruhnya dapat memanfaatkan limbah untuk menghasilkan energi listrik.
”Sekarang sudah ada 874,57 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis limbah sawit. Insyallah angkanya akan semakin besar dari tahun ke tahun,” katanya.
Pemerintah terus mendorong keberlanjutan industri sawit untuk keperluan energi. Hal ini dilakukan dengan moratorium kebun baru, mendorong kepemilikan sertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi pengusaha sawit, memaksimalkan pemanfaatan lahan kritis atau bekas tambang, dan penelitian untuk mengembangkan produktivitas sawit.
Direktur Tunas Sawa Erma (TSE) Group, perusahaan perkebunan sawit, Luwy Leunufna menyebutkan, pihaknya berkomitmen untuk mendukung upaya penurunan emisi yang sedang diperjuangkan pemerintah. Seluruh industri sawit dinilai perlu untuk menurunkan emisi dalam pengolahan produknya.
Kontributor emisi terbesar dari industri sawit adalah gas metana dari limbah cair. Limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik. Karena itu, TSE Group akan membangun pembangkit listrik berkapasitas 8 megawatt hingga 2030 untuk keperluan industri dan penduduk sekitar.
”Sumber emisi terbesar kedua adalah penggunaan pupuk kimia. Sebab, pupuk kimia mengeluarkan nitrogen oksida selama proses produksi dan penggunaannya. Karena itu, kami juga mengganti pupuk kimia dengan pupuk organik dari tandan kosong dan cangkang sawit,” ungkap Luwy.