Pupuk Sulit Dijangkau, Risiko Penurunan Produksi Membayangi
Petani menghadapi problem serius musim ini, yakni kelangkaan pupuk subsidi dan lonjakan harga pupuk nonsubsidi. Jika problem itu tidak diatasi segera, produksi sekaligus ketahanan pangan nasional terancam.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para petani masih tertekan oleh kelangkaan pupuk subsidi dan melonjaknya harga pupuk nonsubsidi. Apabila tidak segera diatasi, ada risiko serius pada produksi mengingat para petani, terutama petani padi, masih sangat bergantung pada pupuk sintetis atau kimia. Pembenahan sistem penyaluran pupuk bersubsidi diperlukan dengan perencanaan dan pengawasan yang optimal sehingga pupuk bisa tepat sasaran.
Problem kekurangan pupuk yang dialami petani di sejumlah daerah masih terjadi. Cirebon, Jawa Barat, misalnya, kekurangan 6.000 ton pupuk bersubsidi jenis NPK. Sementara pupuk nonsubsidi harganya lebih dari empat kali lipat dibandingkan NPK subsidi. Petani pun tidak mampu membeli banyak (Kompas, 23/8/2022).
Pengamat ekonomi pertanian dari Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Andalas, Padang, Muhammad Makky, saat dihubungi, Minggu (9/4/2022), menyatakan, harga pupuk nonsubsidi melonjak, salah satunya dipicu oleh peningkatan harga gas. Lonjakan harga pupuk juga dipengaruhi oleh sistuasi geopolitik dunia, terkait konflik Rusia dan Ukraina.
”Dengan harga pupuk nonsubsidi yang melonjak, orang (petani) akan berupaya semaksimal mungkin mencari pupuk subsidi. Ada risiko kebocoran yang semakin besar meski pemerintah sudah mengaturnya (supaya tepat sasaran). Namun, dengan adanya gap, pupuk subsidi akan lebih banyak dicari,” ujar Makky.
Selain itu, petani juga berpotensi terdampak oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, antara lain terkait BBM untuk alat mesin pertanian. Petani tidak mungkin membeli BBM di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum dengan membawa traktor langsung. Dengan demikian, mereka membeli BBM eceran yang harganya lebih mahal dibandingkan harga resmi. Hal tersebut akan benar-benar menekan petani.
Apabila situasi terus berjanjut, dengan semakin terbatasnya daya beli petani, ketahanan pangan dapat terancam. ”Bagaimaan agar petani survive (bisa bertahan). Jangan sampai, baru dapat penghargaan (tiga tahun swasembada beras), lalu impor. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan jemput bola ke lapangan (petani), dengan penugasan-penugasan, misalnya ke Bulog, Badan Pangan Nasional,” kata Makky.
Apabila selama ini pupuk bersubsidi kerap tidak tepat sasaran, ia menyarankan agar subsidi pupuk dikonversi menjadi bantuan langsung tunai (BLT) petani. Dengan demikian, ada diskon yang didapatkan petani. Sambil menungggu itu, Bulog dapat ditugaskan untuk jemput bola membeli hasil panen petani, tetapi dengan kapasitas yang diturunkan dari biasanya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan, Said Abdullah, berpendapat, dengan situasi saat ini, jika tak segera diatasi, akan ada risiko cukup serius. ”Bagaimanapun para petani kita, terutama padi, sudah sangat bergantung pada pupuk kimia. Dengan tren kenaikan harga pangan global, jika produksi tak diperkuat, akan ada kerawanan pangan,” jelasnya.
Dengan tren kenaikan harga pangan global, jika produksi tak diperkuat, akan ada kerawanan pangan.
Salah satu strategi yang diperlukan adalah terus mencari alternatif negara-negara lain untuk sumber bahan baku meski hal itu bukan perkara mudah. Di sisi lain, ada potensi pengembangan pupuk organik yang lebih ramah lingkungan. Namun, perlu keseriusan semua pihak. ”Tantangan lainnya ialah menggeser cara pandang petani. Perlu penguatan kapasitas,” katanya.
Tahun ini, harga pupuk dunia memang melonjak,akibat tersendatnya rantai pasok hingga situasi geopolitik. Menurut data Pink Sheet Bank Dunia, harga pupuk masih tinggi. Untuk phosphate rock, misalnya, rata-rata pada Agustus 2022 mencapai 320 dollar AS per ton atau sama dengan Juli 2022. Padahal, rata-rata tahunan pada 2021 hanya 123,2 dollar AS per ton.
Tak sanggup
Wakil Ketua Kontak Tani Nelayan AndalanKabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang merupakan salah satu sentra produksi padi, Hardiono, mengatakan, harga pupuk urea subsidi setara Rp 2.250 per kilogram, sedangkan harga urea nonsubsidi Rp 9.000-10.000 per kg. Harga pupuk NPK subsidi setara Rp 2.300 per kg, sedangkan harga NPK nonsubsidi Rp 12.000 per kg.
”Di Grobogan, dari alokasi, pupuk urea subsidi dipenuhi hanya 75 persen dari kebutuhan, sedangkan NPK 34 persen. Akhirnya, kami menyesuaikan (dikurangi). Kalau kekurangannya sepenuhnya dipenuhi nonsubsidi, para petani tidak sanggup. Daya beli petani rendah dan ini bisa berimbas kepada produksi,” katanya.
Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, menyatakan, tingginya harga pupuk nonsubsidi dipengaruhi oleh jumlah faktor, termasuk mahalnya harga bahan baku pupuk yang masih impor. Menurut dia, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menjamin ketersediaan dan memastikan stabilitas harga pupuk.
Menurut Slamet, terkait pupuk subsidi, yang menjadi masalah selama ini sehingga tak mencukupi kebutuhan, ialah keterbatasan anggaran. Namun, penyaluran yang tepat sasaran juga mesti terus diupayakan. ”Sejak dulu, masalahnya sama. Seharusnya dikaji terkait subsidi pascapanen. Dengan begitu, berapa pun harga pupuk, ketika diimbangi dengan harga bagus, petani tidak akan mengeluh,” katanya.
Direktur Jenderal Prasarana dan Saran Pertanian Kementerian Pertanian Ali Jamil saat ditanya upaya pihaknya terkait kelangkaan pupuk subsidi dan mahalnya pupuk nobsubsidi bagi petani menyatakan, dengan adanya Peraturan Menteri Pertanian Nomor 10 Tahun 2022, tata kelola pupuk subsidi kita akan lebih baik ke depan.
Lewat permentan itu, pupuk bersubsidi diperuntukkan bagi komoditas padi, jagung, kedelai (subsektor tanaman pangan), cabai, bawang merah, bawang putih (hortikultura), tebu rakyat, kakao, dan kopi (perkebunan). Sebelum peraturan ini berlaku, ada 70 komoditas yang menerima pupuk subsidi. Jenisnya pun menjadi hanya dua, yakni urea dan NPK. Adapun pemerintah menganggarkan Rp 25 triliun untuk menjangkau sedikitnya 16 juta petani.