Kisruh minyak goreng yang terjadi di Indonesia pada Januari-Juli 2022 membawa pelajaran berharga. Petani sawit rakyat perlu didorong guna mendapatkan nilai tambah sekaligus menekan ketergantungan pada industri besar.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, STEFANUS OSA TRIYATNA, NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Permintaan Presiden Joko Widodo saat meninjau proses penelitian minyak makan merah di Pusat Penelitian Kelapa Sawit di Medan, Sumatera Utara, Kamis (7/7/2022), amat jelas. Pada kesempatan itu, Presiden meminta secara khusus agar koperasi di sejumlah daerah membangun pabrik minyak makan merah. Selain sebagai alternatif pencegahan tengkes dan gizi buruk, upaya hilirisasi itu diharapkan mendongkrak nilai tambah sekaligus kesejahteraan petani kelapa sawit.
Minyak makan merah merupakan produk turunan kelapa sawit. Produk ini bisa dimanfaatkan untuk menggoreng layaknya minyak goreng atau dikonsumsi langsung sebagai minyak makan. Kandungan beta karoten, vitamin A, fitonutrien, dan komposisi asam lemaknya dinilai strategis untuk mengatasi tengkes (stunting). Selain itu, beberapa kandungannya bisa dimanfaatkan sebagai bahan aktif kosmetik dan farmasi.
Sejak saat itu, usaha pengembangan minyak merah berlanjut. Pada perhelatan Indonesia Retail Summit 2022, Senin (15/8/2022), Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki menyatakan, proses uji coba pengembangan minyak makan merah sedang berjalan dan ditargetkan rampung pada Januari 2023. ”(Pada) Bulan Agustus ini detail engineering design-nya selesai sehingga Januari 2023 bisa kick off (diluncurkan) ke publik,” ujarnya.
Guna menyiapkan pasar minyak merah sekaligus meningkatkan kapasitas kelembagaan, memberikan pendampingan, dan konsultasi, sejumlah lembaga pun menjalin kerja sama. Kemitraan itu antara lain melibatkan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sumatera Utara, Koperasi Produsen Sawit, serta Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).
Menurut Teten, saat ini koperasi mulai memperkenalkan produk itu kepada petani. Mereka juga meminta petani untuk mengolah kelapa sawitnya yang masih dalam bentuk tandan buah segar (TBS) menjadi produk turunan. Hal ini jadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan petani. ”Sekarang petani sawit tidak hanya menjual TBS, tetapi juga mendapatkan nilai tambah dengan mengolah TBS sawitnya menjadi minyak makan merah,” ujarnya.
Di Indonesia, dari 14,59 juta hektar luas perkebunan sawit, sebanyak 6,04 juta hektar atau 41 persen di antaranya dikelola oleh petani swadaya. Dari total produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO) sebanyak 44,8 juta ton, sebesar 35 persen di antaranya atau 15,68 juta ton merupakan hasil dari sawit rakyat.
Ongkos investasi
Dari sisi kebutuhan investasi, pengembangan pabrik minyak merah dinilai dapat diusahakan oleh koperasi atau kelompok tani. Kepala PPKS Edwin Syahputra Lubis memerinci, pabrik minyak makan merah terdiri atas 12 komponen mesin dengan kandungan lokal (TKDN) mencapai 70 persen. Kebutuhan pembiayaannya relatif murah, yakni Rp 8,142 miliar, untuk kapasitas 10 ton per hari. Sementara untuk pabrik CPO membutuhkan biaya sekitar Rp 15 miliar untuk kapasitas 50 ton per hari (5 ton per jam).
”Koperasi diproyeksikan mendapat profit Rp 17,81 juta per hari atau Rp 5,34 miliar per tahun dengan payback periode 4 tahun dan 3 bulan,” kata Edwin menjelaskan.
Dengan kebutuhan tersebut, kata Edwin, skema pembiayaan terintegrasi melalui kolaborasi antara Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk modal pengadaan mesin, Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM (LPDB-KUMKM) untuk modal kerja, dan pembiayaan melalui kredit usaha rakyat/KUR (Himpunan Bank-bank Negara/Himbara) diperlukan guna membantu petani sawit.
Menurut Teten, ekosistem usaha pengembangan minyak merah bisa dilakukan melalui koperasi dengan kerja sama multipihak. Koperasi berperan sebagai agregator, sekaligus offtaker (penyerap) TBS dengan harga terbaik. Sementara pendampingan kelembagaan dan proses bisnis koperasi dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
Adapun pembiayaan modal kerja melalui KUR oleh Himbara dan pembiayaan modal kerja bagi koperasi untuk membeli TBS petani dapat didukung oleh LPDB KUKM. ”Sementara pembiayaan koperasi yang mengelola pabrik CPO dan pabrik minyak makan merah akan didukung pembiayaan modal investasi (mesin) oleh BPDPKS,” ujar Teten.
Harga sawit
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menyatakan, selain menopang hilirisasi, pembangunan pabrik minyak makan merah diyakini jadi jawaban agar harga TBS petani sawit rakyat optimal. Pihaknya usul ke BPDPKS agar ada setidaknya lima pabrik minyak makan merah di setiap provinsi penghasil sawit.
”Saat ini, kami tinggal menunggu. PPKS Medan, kan, sedang menduplikasi alat-alatnya. Kami juga sudah praktik. Operasionalnya mudah dan bisa segera,” ujarnya.
Sambil menunggu itu, hal yang perlu digenjot saat ini, termasuk oleh pemerintah, ialah sosialisasi mengenai minyak makan merah yang selama ini kurang dikenal masyarakat. Di sejumlah negara lain, minyak makan merah diproduksi untuk memenuhi kebutuhan minyak makan.
”Pemerintah juga harus membuat regulasi yang nantinya melindungi produksi minyak makan merah itu. Ini juga harus dilihat sebagai upaya mendukung ketahanan pangan serta menghadirkan multiplier effect (dampak ikutan) bagi masyarakat sekitar. Apabila ada dukungan untuk itu, keberlanjutannya akan baik, bukan sekadar musiman,” papar Gulat.
Upaya mengolah sawit diharapkan mendongkrak harga TBS. Harapannya, harga TBS di tingkat petani jadi lebih stabil. ”Dalam beberapa bulan terakhir, harga sawit petani anjlok meskipun harga sawit dunia sedang meroket. Ini ironi yang mendorong kami menggagas hilirisasi sawit rakyat,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Sumatera Utara Gus Dalhari Harahap, Kamis (18/8).
Menurut Dahlari, proyek percontohan pembuatan pabrik minyak makan merah sedang disiapkan oleh Koperasi Sawit Unggul Sejahtera di Kabupaten Serdang Bedagai. Pengolahan minyak makan merah ini dinilai cukup sederhana dengan investasi pabrik sekitar Rp 7 miliar.
Pabrik itu bisa mengolah hasil dari 1.000 hektar sawit yang dapat melibatkan sekitar 500 petani. Kapasitas pengolahannya mencapai 5 ton per jam. Pada tahap awal, Koperasi Sawit Unggul Sejahtera pun akan mendapat pendanaan dari BPDPKS.
Dalhari menambahkan, hilirisasi sawit petani harus terus dilakukan agar harga TBS petani tak tertekan. Saat ini harga sawit petani sekitar Rp 1.400 per kilogram (kg). Petani pun tidak punya pilihan karena hanya bisa menjual TBS ke pabrik. Beberapa bulan lalu, pabrik menolak sawit petani karena larangan ekspor CPO dan sejumlah produk turunannya. ”Petani tak punya pilihan selain menjual sawit dengan harga yang sangat rendah,” ujarnya.
Edi Sinaga, petani sawit di Kabupaten Simalungun, mengatakan, harga sawit yang terpuruk dan sempat menyentuh Rp 800 per kg sangat memukul petani. Kendati naik, harga TBS di petani masih sekitar Rp 1.400 per kg. ”Dengan harga sawit sekarang, petani sebenarnya masih rugi. Apalagi, biaya operasional meningkat karena harga pupuk meroket,” kata Edi.
Edi Sinaga yang juga Ketua Perkumpulan Pekebun Kelapa Sawit Berkelanjutan Bintang Simalungun mengatakan, berbagai persoalan juga masih dihadapi petani hingga saat ini. Mereka kesulitan mendapat legalitas lahan. Infrastruktur jalan menuju kebun sawit petani juga terbatas sehingga biaya panen dan pengangkutan menjadi tinggi. Sarana produksi, seperti ketersediaan bibit unggul, pupuk yang terjangkau, dan pestisida, masih sulit didapat petani.