Polemik Plasma dan Petani yang Terimpit Raksasa Sawit
Kendati menopang ekonomi daerah sekaligus produksi minyak sawit nasional, perkebunan sawit di Kalimantan Tengah belum sepenuhnya menyejahterakan pelakunya, terutama petani sawit rakyat. Ada sederet masalah membelitnya.
Ridawati (42), warga Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, setiap malam berdoa agar suaminya bisa bebas. Suaminya, Yansyah, ditangkap polisi lantaran dituduh mencuri sawit di lahan milik sebuah perusahaan perkebunan sawit di Gunung Mas, sekitar 140 kilometer dari Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah.
Yansyah ditangkap bersama delapan warga Manuhing lainnya dengan tuduhan yang sama pada April 2022. Mereka kini menjalani persidangan. Sembilan orang itu adalah Yansyah, Wanson, Timan Adar, Koswoyo, Deni bin Damut, Muliadi, Retno bin Diok, Gusti Tahan Wiratama, dan Damut. Mereka berasal dari lima desa di Kecamatan Manuhing. Rinciannya, satu dari Desa Tumbang Jalemu, satu dari Desa Gohang, empat dari Kelurahan Tumbang Talaken, dua dari Desa Sei Duhian, dan satu lagi dari Desa Rabambang (Kompas, Senin 25/4/2022).
Tak hanya suaminya yang ditangkap, Ridawati saat ditemui Kompas mengaku jika uang sebanyak Rp 35 juta diambil polisi sebagai barang bukti. Uang itu bukan uang hasil jual sawit, melainkan uang tabungan keduanya. ”Saya pasrah saja dan berdoa, saya yakin suami saya tidak salah,” katanya.
Bagai awan gelap, harapan Ridawati berkumpul bersama suaminya terancam pupus. Yansyah kini menjalani persidangan bersama sembilan orang lain. Dua di antaranya sudah diputus bersalah dengan putusan 5 bulan penjara, mereka adalah Retno bin Diok dan Muliadi.
”(Perkara) Yang kami tangani itu sudah putusan, 5 bulan penjara. Kalau yang lain masih proses persidangan,” kata kuasa hukum para terdakwa, Eprayen Punding, di Palangkaraya, Kamis (18/8/2022).
Eprayen menjelaskan, para terdakwa sebelumnya ditangkap karena menggelar aksi protes terhadap perusahaan perkebunan sawit. Perusahaan dinilai tidak memberi kejelasan soal kebun dan petani plasma. Setelah aksi itu, sembilan orang ditangkap oleh polisi di rumahnya masing-masing, sementara puluhan orang lainnya masih sembunyi dan keluar dari desa-desanya.
”Plasma itu sampai sekarang juga belum jalan, hanya ada uang kompensasi setelah kasus ini muncul ke permukaan, padahal (kebun plasma) itu sebenarnya hak masyarakat, kan?” kata Eprayen.
Menurut dia, fakta persidangan menunjukkan, masyarakat menggelar aksi bukan di atas lahan plasma dan masuk dalam wilayah hak guna usaha (HGU) perusahaan. ”Plasma itu, katanya (perusahaan) sudah lama, tetapi tidak jelas di mana,” ujarnya.
Plasma menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat. Sebagian besar orang ditangkap polisi saat menggelar aksi. Sayangnya, aksi protes itu dilakukan dengan cara memanen buah sawit milik perusahaan. Mereka dianggap mencuri dan perusahaan melaporkannya ke polisi. Kasus itu berlanjut ke meja hijau.
Baca Juga: Dituduh Curi Sawit Perusahaan, Sembilan Warga Manuhing Ditangkap
Kasus serupa juga terjadi di Kotawaringin Timur yang memiliki wilayah perkebunan kelapa sawit terluas di Kalimantan Tengah. Warga Desa Jatiwaringin, Kecamatan Tualan Hulu, Kotawaringin Timur, misalnya, memasang palang jalan masuk perusahaan perkebunan di desa mereka karena setidaknya 160 warga desa itu dikeluarkan dari keanggotaan plasma perkebunan sawit. ”Sebenarnya kami sudah sering menanyakan pemberhentian kami dari anggota koperasi. Namun, ketua koperasi malah menghindar,” kata Koordinator Aksi Safrudin, di Sampit, Minggu (14/8).
Menurut Safrudin, berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menuntut keadilan. Upaya itu mulai dari mengadukan masalah ke tingkat desa hingga ke Gubernur Kalimantan Tengah. Namun, segenap usaha itu belum juga ada hasil.
Isu tentang plasma selalu menjadi masalah kendati hal itu sudah diatur undang-undang. Regulasi menyebut perusahaan perkebunan wajib menyediakan 20 persen dari total luas lahan, yang diizinkan oleh negara untuk dikelola, ke masyarakat melalui kebun plasma.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng Rizky Badjuri mengungkapkan, pihaknya menginginkan masyarakat betul-betul mendapatkan manfaat dari perkebunan sawit yang menggunakan lahan negara atau lahan masyarakat. Pihaknya selalu mendorong perusahaan untuk menyediakan plasma.
”Bisnis sawit ini perlu memiliki ruang-ruang untuk menyelesaikan konflik, termasuk plasma ini. Banyak kendala untuk mewujudkan plasma,” kata Rizky.
Selama ini, lanjut Rizky, perusahaan perkebunan bukan menolak plasma, tetapi Rizky beralasan jika perusahaan tidak memiliki lahan untuk menyediakan plasma. ”Mereka (perusahaan) pengin update sekali soal plasma, harusnya mereka ini dikumpulkan dulu duduk bersama untuk benar-benar bisa melihat persoalan, harus ada win-win solusi, kalau enggak ada tanah gimana mau jalan plasmanya,” tuturnya.
Koperasi
Persoalan klasik lain yang dihadapi petani sawit adalah soal koperasi dan mitra perusahan. Rizky mengakui banyak petani mandiri belum bergabung dengan koperasi atau bermitra dengan perusahaan. Mereka menjadi kelompok yang paling terpuruk saat harga TBS kelapa sawit jatuh, seperti yang terjadi beberapa bulan belakangan ini.
”Dalam waktu dekat, para gubernur daerah penghasil sawit, khususnya di Kalimantan, bakal berkumpul di Kalimantan Tengah untuk membahas ini, termasuk juga perwakilan perusahaan dan petani. Saya harap bisa selesai di pertemuan itu,” kata Rizky.
Sampai saat ini, pembentukan koperasi unit desa belum merata di 14 kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah. Seperti di Desa Kantan Atas, Kabupaten Pulang Pisau, yang sejak menjadi desa dan dikelilingi oleh perusahaan sawit belum memiliki koperasi atau kerja sama kemitraan antara perusahaan dengan warga, apalagi plasma.
Baca Juga: Industri Hilir Kelapa Sawit di Kalteng Belum Berdampak ke Petani
Stevanus Parwudi, petani sawit di Desa Kantan Atas, menjelaskan, dirinya dan warga lain ingin sekali membentuk koperasi seperti daerah lain. Ia mengungkapkan, saat ini harga TBS di desanya masih Rp 650 per kilogram ketika di daerah lain sudah mencapai Rp 1.200 per kilogram.
”Kami masih jual sama tengkulak, sedangkan di tempat lain sudah langsung ke perusahaan. Jadi, kami ini dapat harga jatuh terus, bahkan dua bulan lalu di sini harganya Rp 350 per kilogram,” kata Stevanus.
Stevanus menjelaskan, petani kini terus terimpit. Harga TBS sawit yang mulai membaik belum sesuai harapan. Dengan adanya koperasi, ia berharap harga TBS bisa lebih baik. ”Saat harga (TBS) jatuh, koperasi masih berani membeli dengan harga tinggi, itu di desa lain, di sini sih enggak ada,” ujarnya.
Stevanus memiliki lahan seluas 11 hektar yang semuanya ditanami sawit. Pengeluaran rutin yang harus ia siapkan adalah untuk pembersihan gulma tiga kali dalam setahun, pemupukan tiga kali tiap tahun, dan membuang pelepah selama dua kali dalam setahun. Semua itu memerlukan biaya untuk menyewa pekerja harian yang diupah Rp 90.000 per hari sampai Rp 100.000 per hari.
”Sekarang harga obat herbisida yang tadinya Rp 70.000 per liter jadi Rp 115.000 per liter, lalu pupuk sekarang sudah tidak ada yang subsidi untuk sawit. Jadi, kami beli Rp 450.000 per karung. Kami butuh empat karung untuk satu hektar,” papar Stevanus.
Tingginya biaya perawatan itu membuat Stevanus tak berpikir dua kali untuk menjual TBS miliknya, bahkan di saat harganya sedang jatuh. ”Mau enggak mau, sawit kalau enggak dirawat atau enggak dipupuk, tahun depan bakal gagal panen,” ucap Stevanus.
Di Kabupaten Kotawaringin Timur, Sulung Dehen (56), warga Parenggean, mengungkapkan, dirinya harus membayar kredit mobil pikap yang ia beli tahun lalu. Menurut dia, sebagian besar petani sawit mandiri di desanya membeli mobil pikap agar bisa mengantar sawit langsung ke pabrik minyak sawit mentah (CPO) di sekitar desanya. ”Banyak yang tidak mampu bayar kredit mobil ini gara-gara harga TBS jatuh. Jadi, ada juga yang utang ke mana-mana,” kata Sulung.
Sulung berharap harga TBS terus naik. Ia dan petani mandiri lain mengandalkan produksi sawit dari kebun mereka meski mereka juga memiliki kebun karet. ”Hasil dari karet itu hanya untuk memenuhi kebutuhan di dapur saja,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan Wakil Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kalimantan Tengan Hatir Tarigan. Menurut dia, kenaikan harga minyak sawit mentah seharusnya diikuti kenaikan harga TBS di kalangan petani sawit mandiri maupun yang bermitra dengan perusahaan. Dia berharap pemerintah dapat segera menstabilkan harga TBS. ”Petani juga perlu diberi subsidi untuk dapat membeli pupuk,” ujarnya.
Baca Juga: Harga TBS Masih Jauh dari Harapan Petani Sawit Kalteng Merana
Selama bertahun-tahun, kelapa sawit memang menjadi penopang perekonomian Kalimantan Tengah. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 333 perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan total luas lahan 3,9 juta hektar. Namun, lahan yang beroperasi hanya 1,13 juta hektar.
Pada 2021, produksi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah mencapai 5,1 juta ton. Jumlah itu terdiri dari produksi perkebunan sawit rakyat 277.701 ton dan produksi perkebunan besar swasta sebesar 4,8 juta ton.
Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Kalimantan Tengah juga memproduksi 8,8 juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) per tahun. Dengan jumlah produksi itu, Kalimantan Tengah berkontribusi 25,3 persen terhadap produksi CPO nasional. Menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) pada Agustus 2019 produksi CPO nasional mencapai 34,7 juta ton per tahun.
BPS Kalimantan Tengah juga mencatat, pada triwulan II-2022 pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah mencapai 7,31 persen. Sumbangan terbesar untuk pertumbuhan ekonomi itu berasal dari sektor pertambangan dan ekspor CPO.
”Bisnsi sawit itu masalahnya banyak, bukan hanya konflik lahan. Duitnya memang cepet dapet, tapi habisnya juga cepet, terutama duit buat perawatan,” kata Dehen yang kini masih memikirkan cara membayar kredit mobilnya.
Baca Juga: Ironi Minyak Goreng di Pulau Sawit