Program peremajaan sawit rakyat tetap membutuhkan rekomendasi yang bersih tanpa masalah (”clear and clean”), utamanya dari aspek legalitas kelembagaan dan lahan petani.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini, program peremajaan sawit rakyat atau PSR belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah. Masih ada masalah dalam hal kestabilan harga tandan buah segar dan kemampuan petani kelapa sawit dalam menyediakan dokumen.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, total perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 16,38 juta hektar. Sebanyak 6,94 juta hektar di antaranya perkebunan kelapa sawit milik rakyat dengan potensi peremajaan seluas 2,8 juta hektar.
Oleh sebab itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencanangkan program PSR dengan target 180.000 hektar per tahun sepanjang 2018-2022. Per 24 Agustus 2021, realisasi lahan yang berada dalam daftar rekomendasi teknis mencapai 9.241 hektar atau 5,13 persen dari target tahun ini.
Mula Putera, perwakilan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, menyebutkan, perekonomian petani kelapa sawit selama pandemi Covid-19 bergantung pada perkebunan.
”Harga (kelapa sawit) yang stabil, bahkan naik, membuat petani mengurungkan niat meremajakan sawitnya. Padahal, peremajaan merupakan investasi jangka panjang yang manfaatnya nanti dapat dinikmati,” katanya dalam webinar bertajuk ”Efektivitas Kemitraan Mendukung Peremajaan Sawit Rakyat”, Rabu (25/8/2021).
Per 24 Agustus 2021, realisasi lahan yang berada dalam daftar rekomendasi teknis mencapai 9.241 hektar atau 5,13 persen dari target tahun ini.
Tidak tercapainya target PSR juga terjadi sepanjang 2018-2020. Realisasi perkebunan yang berada dalam daftar rekomendasi teknis secara berturut-turut seluas 35.196 hektar atau 19,02 persen dari target pada 2018, 88.339 hektar (49,08 persen) pada 2019, dan 92.066 hektar (51,15 persen) pada 2020.
Menurut Mula, kemampuan petani dalam menyediakan dokumen persyaratan masih perlu diperkuat melalui pembentukan korporatisasi. Dengan demikian, petani memiliki daya tawar sekaligus PSR menjadi pintu masuk untuk perbaikan produktivitas.
Solusi lainnya adalah kemitraan antara petani sawit rakyat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, terdapat 26 perusahaan yang turut menggandeng petani dalam pelaksanaan program PSR.
Sepanjang 2016 hingga Agustus 2021, Direktur Penghimpunan Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Sunari memaparkan, realisasi dana PSR yang disalurkan ke petani mencapai Rp 6,23 triliun. Jumlah penerimanya mencapai 100.439 petani dengan total lahan seluas 230.472 hektar.
Sunari berharap verifikasi yang terintegrasi mampu membuat penyusunan rekomendasi teknis tidak memakan waktu hingga setahun. Meskipun demikian, program PSR tetap membutuhkan rekomendasi yang bersih tanpa masalah (clear and clean), utamanya dari aspek legalitas kelembagaan dan lahan petani.
Kurangnya sumber daya dalam pemrofilan dan pendataan petani, pemetaan dan pendataan perkebunan kelapa sawit yang menjadi calon sasaran program PSR, pemetaan unit pengolahan hasil, serta target pasar pada tahap persiapan peremajaan menjadi bahan evaluasi.
Kemampuan petani dalam menyediakan dokumen persyaratan masih perlu diperkuat melalui pembentukan korporatisasi.
Dalam proses verifikasi, imbuh Sunari, ada sejumlah kasus legalitas yang ditemui. Misalnya, satu petani dengan nomor induk kependudukan yang sama terdaftar dalam dua kartu keluarga.
Proses verifikasi terkait legalitas tersebut terkadang melibatkan aparat penegakan hukum. Aparat juga terlibat dalam menjaga ketertiban pencairan dana di lapangan. Keengganan petani dalam memenuhi panggilan dari aparat kerap menjadi kendala.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung menambahkan, petani membutuhkan pendamping dalam administrasi dan pelaporan untuk mengikuti program PSR. ”Kami membutuhkan pendamping legal dari penyiapan dokumen hingga panen,” ujarnya.