Penyusunan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja dalam waktu relatif singkat dikhawatirkan berdampak negatif. Aturan pelaksana diharapkan aspiratif, detail, dan tidak tumpang-tindih.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejar tayang penyusunan aturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja diharapkan tidak menimbulkan sentimen negatif bagi perekonomian. Substansi aturan turunan mesti diselaraskan dengan aspirasi masyarakat dan kebijakan daerah.
Pemerintah menargetkan sebagian besar peraturan pelaksanaan turunan UU Cipta Kerja selesai paling lambat 20 November 2020. Aturan turunan UU mencakup 40 peraturan pemerintah (PP) dan 4 peraturan presiden (perpres).
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Teuku Riefky, menyatakan, harus diakui bahwa pengesahan UU Cipta Kerja menimbulkan sentimen negatif dari berbagai kelompok masyarakat. Oleh karena itu, aturan turunan harus dibuat sedetail mungkin untuk menjawab sentimen negatif yang muncul.
”Apa yang ingin dicapai oleh UU Cipta Kerja perlu dikomunikasikan secara lebih efektif oleh pemerintah. Sebisa mungkin jangan ada ruang ambiguitas implementasi,” kata Riefky, Senin (16/11/2020).
Aturan turunan UU Cipta Kerja penting bukan hanya untuk mengakomodasi kepentingan berbagai pihak, melainkan juga untuk menjamin pelaksanaannya. Pemerintah harus berkaca pada pengalaman reformasi kebijakan yang tidak berjalan dengan baik, antara lain paket kebijakan ekonomi dan integrasi perizinan berbasis daring (online single submission/OSS).
Menurut Riefky, banyak kebijakan yang disusun pemerintah pusat tidak mampu diimplementasikan di tingkat daerah. Ketidakselarasan implementasi antara pusat dan daerah jangan terulang dalam UU Cipta Kerja. Karena itu, perumusan implementasi yang terukur dan spesifik dari skala atas sampai terkecil harus terakomodasi.
Pemerintah juga perlu menitikberatkan perhatian pada isu-isu yang banyak disoroti, seperti ketenakerjaan dan lingkungan. Terlepas dari segala polemiknya, penyusunan UU Cipta Kerja untuk memperbaiki perekonomian Indonesia sehingga komunikasi dan sosialisasi dengan berbagai pihak sangat diperlukan.
”Selain pusat daerah, UU Cipta Kerja juga perlu diselaraskan dengan UU dan kebijakan yang sudah ada sebelumnya. Jangan sampai ada yang tumpang-tindih agar tidak menimbulkan komplikasi lanjutan,” ujar Riefky.
Penyelesaian dikebut
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, dalam keterangan tertulisnya, mengatakan, hingga saat ini sudah ada 24 rancangan PP yang pembahasannya telah selesai. Sisanya, 16 rancangan PP baru selesai draf awal dan memasuki tahap sinkronisasi antarkementerian/lembaga.
Pemerintah membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan perumusan rancangan PP dan perpres turunan UU Cipta Kerja.
”Kami terus mendorong percepatan penyelesaian rancangan PP di internal pemerintah agar segera dapat diunggah di portal resmi UU Cipta Kerja https://uu-ciptakerja.go.id. Dengan demikian, masyarakat dapat segera mengakses dan memberikan usulan atas substansi rancangan PP tersebut,” kata Susiwijono.
Pemerintah membuka ruang partisipasi publik dalam penyusunan dan perumusan rancangan PP dan perpres turunan UU Cipta Kerja. Publik yang ingin memberikan masukan bisa datang langsung ke Posko Cipta Kerja di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta atau melalui portal resmi UU Cipta Kerja.
Menurut Susiwijono, peran aktif dan masukan dari masyarakat sangat diperlukan. Selain membuka akses partisipasi, pemerintah menggelar sosialisasi dan konsultasi publik di berbagai wilayah dengan menghadirkan perwakilan kementerian/lembaga yang menjadi penanggung jawab substansi.
”Sosialisasi dan konsultasi disiapkan guna memberikan pemahaman yang jelas dan lengkap kepada masyarakat. Tujuannya agar ketika memberikan masukan sudah memahami terlebih dahulu substansinya,” kata Susiwijono.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono berpendapat, penyusunan peraturan pelaksana UU biasanya memakan waktu minimal satu tahun. Namun, khusus UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, penyusunan seluruh peraturan pelaksana harus tuntas dalam tiga bulan sejak UU ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 November 2020 sebagaimana amanat Pasal 185 UU Cipta Kerja (Kompas, 10/11/2020).
Menurut Bayu, waktu tiga bulan untuk penyelesaian 44 peraturan pelaksana dikhawatirkan tidak memadai untuk menyerap masukan publik. Ruang partisipasi publik yang dijanjikan pemerintah dalam penyusunan seluruh aturan pelaksana tersebut diharapkan bukan formalitas belaka. Pemerintah diharapkan betul-betul memanfaatkan waktu yang ada untuk menyerap masukan publik. Tidak seperti selama ini, masukan publik dianggap sebatas formalitas.