Penolakan RUU Cipta Kerja di Jawa Timur Diwarnai Perusakan Aset Negara
Demonstrasi massa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Surabaya Raya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020) berujung perusakan sarana perkantoran aset negara.
Oleh
AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS – Demonstrasi massa menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di Surabaya Raya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020) berujung perusakan sarana perkantoran dan aset negara lainnya. Lebih dari 150 orang ditangkap karena bersenjata dan dicurigai hendak membuat kerusuhan.
Bentrok antara demonstran dan anggota Polri yang didukung Satpol PP terjadi di depan gedung DPRD Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Lamongan, dan Gedung Negara Grahadi Surabaya. Di Sidoarjo dan Surabaya, kericuhan mengakibatkan gerbang gedung DPRD dan Grahadi roboh. Aksi di Surabaya mengakibatkan kemacetan, penutupan jalan, dan pengalihan lalu lintas di pusat kota.
Kami tangkap karena dicurigai akan menyulut kericuhan (Jhonny Edison Isir)
Di Grahadi, demonstran juga membakar separator lalu lintas berbahan plastik, merusak fasilitas taman Grahadi, memblokade jalan, dan merusak sebagian Taman Hapsari. Tindakan itu direspon petugas dengan menembakkan gas air mata dan menangkap sejumlah orang yang diduga provokator. Sampai pukul 18.00, aksi di Grahadi belum berakhir meski sebagian massa, khususnya kalangan mahasiswa menarik diri.
Kepala Polrestabes Surabaya Komisaris Besar Jhonny Edison Isir menyatakan, telah menangkap lebih dari 150 orang. Mereka kebanyakan remaja, yang kedapatan membawa senjata dan botol berisi bahan bakar minyak. Anak-anak itu diyakini tidak berafifilasi dengan serikat buruh atau kampus. Mereka juga bukan merupakan warga Surabaya.
“Kami tangkap karena dicurigai akan menyulut kericuhan,” kata Isir.
Salah satu elemen yang turun dalam demonstrasi ialah massa yang menamakan diri Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) Jatim. Selain itu, ialah serikat buruh dan kalangan mahasiswa dari kampus-kampus di Surabaya. Mereka menolak RUU Cipta Kerja (omnibus law) yang telah disetujui DPR untuk disahkan dalam lembaran negara. Massa juga menyuarakan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Juru bicara Getol Jatim Habibus Shalihin mengatakan, massa merupakan gabungan dari 50 organisasi buruh, petani, mahasiswa, dan kelompok miskin kota. “Kami menuntut pemerintah dan DPR mencabut RUU Cipta Kerja,” ujar dia, yang juga Ketua Bidang Buruh dan Miskin Kota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya.
Penetapan upah
Juru bicara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jatim Nurudin mengatakan, kerugian dari RUU Cipta Kerja terhadap buruh ialah terkait dengan penetapan upah. Regulasi ini berpotensi menghilangkan skema penetapan upah minimum kabupaten/kota yang di Jatim berbeda dengan upah minimum provinsi.
Sesuai dengan Keputusan Gubernur Jatim Nomor 188/568/KPTS/013/2019, UMK 2020 tertinggi ada di Surabaya dengan nilai Rp 4.200.479 dan terendah senilai Rp 1.913.321 di Pamekasan, Sampang, Madiun, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, dan Situbondo. UMK terendah adalah upah minimum provinsi yakni sebesar Rp 1.913.321.
Nurudin mengatakan, pemerintah berdalih UMK tidak dihapus tetapi diatur dengan mengacu pada Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah 78/2015 tentang pengupahan. RUU Cipta Kerja hanya mewajibkan penetapan UMP.
Sedangkan UMK bersyarat diatur kemudian dalam PP sehingga ada kecenderungan keinginan penetapan UMK dihilangkan. Padahal, menurut UU Ketenagakerjaan, UMK ditetapkan tanpa syarat dengan mengacu kepada kebutuhan hidup layak (KHL) yang saat ini mencakup cuma 60 komponen.
“Dengan begitu, misalnya skema penetapan upah di Surabaya dikhawatirkan memakai pendekatan UMP karena kewajiban menurut RUU Cipta Kerja demikian,” kata Nurudin.
Pengupahan hanya salah satu poin yang disorot dalam klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, RUU ini memiliki 11 klaster. Selain ketenagakerjaan adalah penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM. Selain itu, ada juga dukungan riset dan inovasi, pengenaan sanksi, kawasan ekonomi, kemudahan berusaha, pengadaan lahan, dan investasi dan proyek pemerintah.
Selepas massa meninggalkan gedung negara Grahadi di Jalan Gubernur Suryo, pada pukul 18.00 WIB, Wali kota Tri Rismahrini bersama seluruh jajarannya turun ke Jalan Basuki Rahmad dan langsung menyisir Jalan Gubernur Suryo. Semua sampah diangkut dan tanaman yang sempat tumbang dan rusak karena diinjak-injak massa ditata kembali.
Tak kurang 100 petugas dari Pemerintah Kota Surabaya ikut membersihkan semua sampah yang ditinggalkan oleh massa yang melakukan unjuk rasa di Surabaya.
Beberapa rambu lalu lintas dan fasilitas publik yang dirusak massa, termasuk sisa-sisa ban yang dibakar langsung diangkut oleh mobil pemadan kebakaran (PMK). Bahkan massa juga membakar pos polisi yang berada di Jalan Basuki Rahmad, tepat di depan Tunjungan Plasa.