Ekonomi Indonesia triwulan II-2020 diproyeksikan minus. Proses birokrasi, penyaluran, dan pendataan perlu segera diperbaiki untuk mendongkrak belanja.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN / AGNES THEODORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Permasalahan birokrasi dan administrasi yang menahan serapan anggaran pemulihan ekonomi nasional harus diatasi segera. Jika belanja pemerintah tak optimal, peluang Indonesia masuk ke dalam resesi semakin besar.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Teuku Riefky, menilai, masalah serapan belanja program pemulihan ekonomi sejatinya dialami banyak negara, termasuk Indonesia. Penyerapan belanja dihadapkan pada dilema (trade-off) antara ketepatan dan kecepatan.
”Kalau mau cepat, ketepatan sasaran kurang. Kalau mau tepat, implementasi serapan belanja jadi lebih lambat. Pemerintah mesti mengukur mana pos belanja yang butuh kecepatan dan mana yang butuh ketepatan,” kata Riefky, saat dihubungi pada Selasa (4/8/2020).
Salah satu jenis belanja yang membutuhkan kecepatan adalah bantuan sosial. Penyerapan bantuan sosial harus cepat untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus meminimalkan risiko lonjakan kemiskinan dan pengangguran.
Adapun jenis belanja yang perlu mengutamakan ketepatan adalah pembiayaan korporasi. Proses seleksi dan formulasi kebijakan harus hati-hati. Jangan sampai suntikan dana justru diberikan kepada perusahaan yang tidak membutuhkan atau tidak dapat mendorong proses pemulihan ekonomi.
Penyerapan belanja pemulihan ekonomi masih bisa dioptimalkan dengan memperbaiki proses birokrasi, penyaluran, serta pendataan. Saat ini, daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) jadi salah satu hambatan. Menurut Riefky, penyerapan belanja krusial untuk mencegah Indonesia masuk jurang resesi.
Menghindari resesi
Penanganan Covid-19 dianggarkan Rp 695,2 triliun. Namun, hingga pekan ini, baru Rp 141 triliun atau 20 persen dana terserap. Jumlah ini hanya 1 persen lebih baik ketimbang situasi 27 Juli 2020.
Dalam rapat terbatas penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi di Istana Merdeka, Senin, Presiden Joko Widodo mengatakan, penyerapan berjalan lambat karena 40 persen anggaran belum memiliki DIPA. Kementerian/lembaga belum menyusun DIPA yang jadi dasar pelaksanaan program dan disahkan Kementerian Keuangan. Kementerian/lembaga dinilai masih terjebak pada cara kerja rutin dan belum memahami prioritas.
Secara terpisah, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menuturkan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 diproyeksikan minus 4,3 persen. Pemerintah berupaya agar ekonomi tidak tumbuh negatif pada triwulan III-2020 agar Indonesia tidak mengalami resesi. Caranya dengan mendorong stimulus belanja dan membuka ekonomi secara bertahap.
”Pertumbuhan ekonomi triwulan III-2020 diupayakan lebih baik dari triwulan sebelumnya, bahkan bisa berbalik menjadi positif,” ujar Suahasil dalam webinar bersama Universitas Lambung Mangkurat, Selasa.
Menurut Suahasil, kendala utama eksekusi kebijakan di tengah pandemi adalah data historis. Sebagai contoh, saat ini pemerintah baru memiliki basis data 40 persen penduduk miskin, sementara penyaluran bantuan sosial mesti mencakup 60 persen penduduk miskin. Gap data ini menyebabkan penyaluran bantuan sosial tidak sepenuhnya tepat sasaran.
Perbaikan histori data terus dilakukan dan tidak hanya terkait bantuan sosial. Histori data dibutuhkan untuk memilah antara belanja yang butuh ketepatan dan kecepatan. Langkah ini penting mengingat pemulihan ekonomi akan lebih lambat dari perkiraan. Konsensus global sekitar 56 persen memproyeksikan skema pemulihan ekonomi berbentuk U.
Suahasil menambahkan, stimulus fiskal tetap difokuskan untuk melindungi masyarakat dan UMKM paling rentan. Beberapa stimulus baru diterbitkan dan diperpanjang, seperti bansos tunai dan subsidi listrik. Namun, di sisi lain, stimulus yang dinilai kurang efektif tidak dihilangkan salah satunya insentif pajak.
”Serapan belanja insentif pajak memang rendah. Namun, kami tetap mengalokasikan untuk antisipasi jika mulai terjadi pemulihan ekonomi,” kata Suahasil.
Ekonom sekaligus Rektor Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, menambahkan, dampak resesi akan terefleksi pada rumah tangga dan sektor riil. Jika resesi terjadi, dipastikan angka pengangguran dan kemiskinan naik, serta pendapatan masyarakat turun. Resesi akan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Indonesia berpeluang mengalami resesi seperti hampir semua negara di dunia. Dampak resesi tergantung seberapa lama ekonomi terkontraksi. Untuk mengantisipasi kondisi ini, pemerintah harus ambil peran dengan mendorong penyerapan belanja untuk meningkatkan daya tahan masyarakat dan sektor riil.
”Denyut nadi ekonomi saat ini digerakkan pemerintah. Pemerintah harus ambil porsi lebih banyak agar dampak krisis tidak begitu besar,” kata Prasetyantoko.
Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics Piter Abdullah, kendati Indonesia berpotensi memasuki resesi, masyarakat tidak perlu panik. Di tengah pandemi seperti ini, resesi merupakan sebuah kenormalan baru yang lambat laun akan menimpa setiap negara.
Komoditas membaik
Di tengah ancaman resesi, harga dan permintaan sejumlah komoditas ekspor Indonesia membaik seiring dibukanya keran impor di sejumlah negara pasar, seperti China, India, dan beberapa negara di Eropa.
Harga tandan buah segar kelapa sawit di Sumatera Selatan, misalnya, naik dari Rp 1.400 per kilogram pada Mei 2020 menjadi Rp 1.600 per kg per Selasa (4/8). Adapun minyak sawit mentah (CPO) naik dari Rp 7.200 per kg menjadi Rp 8.100 per kg. Menurut Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian, tren positif itu dipicu oleh naiknya permintaan di sejumlah negara pasar.
Selain sawit, ekspor karet remah juga mengalami perbaikan. Ekspor karet dari Sumatera Utara, misalnya, naik dari 14.975 ton pada Mei 2020 menjadi 28.012 ton pada Juni 2020. ”Peningkatan volume ekspor didorong membaiknya permintaan karet dari China,” kata Sekretaris Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumatera Utara Edy Irwansyah.
Ekspor karet dari Sumatera Utara diperkirakan masih akan meningkat hingga mendekati volume ekspor sebelum pandemi sekitar 34.000 ton per bulan. Enam negara tujuan ekspor utama pada Juni 2020 yakni China, Amerika Serikat, Jepang, India, Brasil, dan Korea Selatan. (RAM/NSA/RTG/NIK)