Kejamnya Berita Ramalan tentang Eril, Putra Ridwan Kamil, dan Pudarnya Empati Manusia
Berita yang menghakimi, tidak berbasis fakta, hingga mengabaikan empati, seperti berita ramalan tentang Emmeril Kahn Mumtadz, masih menyebar. Semuanya demi algoritma, ”clickbait”, hingga bisnis yang salah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Informasi terkait dengan kabar Emmeril Kahn Mumtadz (23), putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yang hilang di Swiss memadati jagat media massa dan sosial. Bahkan, ramalan penemuan Eril, sapaan Emmeril, juga berseliweran. Padahal, berita itu tidak berbasis fakta dan mengabaikan empati.
Judul beritanya, antara lain, ”Ramalan Tarot Rara Sebut Eril Ditemukan Meninggal Dunia, Kondisi Jantung Eril Tertusuk Ditemukan Jam 8” atau ”Anak Ridwan Kamil Masih Dalam Pencarian, Begini Penerawangan Laskar Macan Ali”. Aneka berita itu pun menuai komentar.
Tidak sedikit warganet yang mengecam konten tersebut. Bahkan, berita di media daring nasional berjudul ”Ramalan Mbak Rara Soal Anak Ridwan Kamil, Jasadnya Ditemukan Jam 8” telah dihapus. Belakangan sejumlah media yang sempat mewartakan itu membuat berita klarifikasi.
Hingga Rabu (1/6/2022) keberadaan Eril belum diketahui. Eril dilaporkan terseret arus saat berenang di Sungai Aare, Kamis (26/5/2022) pagi. Ia bersama adiknya, Camillia Laetitia Azzahra, dan seorang rekannya. Eril di Swiss untuk mencari sekolah dan beasiswa strata dua.
Di tengah pencarian Eril dan berita ramalan tentangnya, Dewan Pers mengimbau media dari berbagai platform agar tidak memuat berita yang berkaitan dengan prediksi tragedi kemanusiaan. Dewan Pers juga meminta jajaran redaksi media berlandaskan fakta dan kode etik jurnalistik.
”Apa pun yang dilakukan jurnalis harus berdasar fakta. Kalau ramalan (soal Eril) itu, susah dikonfirmasi. Itu hanya terawangan,” ucap Willy Pramudya, praktisi media, Selasa. Jurnalis senior ini menggolongkan konten ramalan sebagai infotainment, bukan produk jurnalistik.
Karya jurnalis, lanjutnya, selalu bersandar pada kode etik jurnalistik (KEJ). Dalam Pasal 1 KEJ, misalnya, wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan beritikad baik. Pasal 4 juga mengatur jurnalis agar, antara lain, tidak memuat berita bohong.
Willy menuturkan, berita ramalan tentang tragedi yang dialami Eril bukan hanya sulit dipertanggungjawabkan, melainkan juga tidak berempati.
”Kita perlu menjaga (perasaan) sumber, korban dan keluarganya. Jangan ditambah trauma (korban dan keluarganya),” ucapnya.
Dengan empati, seseorang menempatkan dirinya pada posisi orang atau kempok tertentu sehingga memahami perasaan mereka. Pertanyaan tentang perasaan narasumber yang mengalami bencana, misalnya, hanya akan memperburuk kondisi korban dan mengungkit traumanya.
Trauma, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), merupakan respons yang tertunda atau berkepanjangan terhadap peristiwa atau situasi penuh tekanan, baik dalam durasi singkat maupun lama. Korban kecelakaan, bencana, perampokan, hingga kekerasan seksual rentan trauma.
Tidak hanya itu, penyintas dan saksi mata dalam peristiwa yang menakutkan juga berpotensi mengalami trauma. Mereka semuanya kerap menjadi narasumber media. Oleh karena itu, jurnalis membutuhkan empati dan keterampilan untuk mewawancarai dan menampilkan mereka.
”Kegagalan komunikasi wartawan lebih disebabkan karena kurangnya kemampuan mendengarkan dengan empati,” ujar mantan Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo dalam pelatihan ”Jurnalisme dan Trauma” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan DW Akademie beberapa waktu lalu.
Pelatihan yang didukung Federal Republic of Germany Foreign Office itu memaparkan sejumlah langkah dalam mewawancarai orang yang trauma. Misalnya, meriset, mendekati narasumber, menyiapkan desain wawancara, membentuk tim, hingga mengatur tempat wawancara yang aman.
Ketika wawancara, jurnalis harus menjadi pendengar yang baik, tidak terburu-buru memotong penjelasan narasumber. Pewawancara juga perlu memperhatikan bahasa tubuh. Jika narasumber duduk, jurnalis tidak boleh berdiri. Salah satu yang terpenting adalah menghargai ranah pribadi.
Pasal 2 KEJ juga mengatur jurnalis menempuh cara profesional dalam menjalankan tugasnya. Misalnya, menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara. Gambar, suara, hingga aroma tertentu dapat mengingatkan korban akan traumanya.
Jika narasumber menangis di tengah wawancara, jurnalis sebaiknya mengambil jeda, mengubah topik, bahkan mengakhiri percakapan. Selain memahami kondisi narasumber yang berat, jurnalis pun dapat menawarkan bantuan. Ingat, kenyamanan dan kesehatan narasumber penting.
Di akhir wawancara, jurnalis harus berterima kasih, memastikan keamanan dan kerahasiaan, hingga meninjau hasil wawancara sebelum diterbitkan. ”Jangan menyederhanakan masalah dan jangan mencoba menyimpulkan. Biarkan audiens yang menyimpulkan,” ungkap Stanley.
Sayangnya, berita yang menghakimi (judgement), tidak berbasis fakta, hingga mengabaikan empati, seperti berita ramalan tentang Eril, masih menyebar.
”Semuanya demi algoritma, clickbait. Kita kemudian disetir oleh kecenderungan bisnis media yang salah arah,” kata Willy.
Majelis Etik Nasional Aliansi Jurnalis Independen Indonesia ini menilai, sejumlah media bergantung pada klik semata meski berita yang disajikan tidak berbasis fakta, data, dan kode etik. Padahal, pengabaian tersebut bakal berdampak pada kepercayaan publik terhadap media.
Berdasarkan penelitian Dewan Pers 2021, tingkat kepercayaan publik terhadap media arus utama kurang dari 40 persen. Adapun yang cukup percaya berkisar 35 persen hingga 47 persen. Faktor penyebab media pers kurang dipercaya adalah berita tak akurat dan hanya satu narasumber.
Kegeraman warganet dengan berita ramalan tentang Eril bisa menjadi contoh menurunnya kepercayaan publik terhadap media yang menyiarkannya. ”Saya kecewa baca berita ramalan tentang Eril. Jodoh dan kematian itu bukan di tangan manusia,” ujar Muhammad Kemal (17).
Meskipun tak mengenal Eril, siswa Kelas XI IPS SMAN 2 Kota Cirebon itu bersama ratusan anggota jemaah Masjid At-Taqwa Cirebon turut mendoakan Eril. Mereka telah berempati untuk Eril ketika beberapa media melupakannya. Sebelum memberitakan, redaksi seharusnya bertanya kepada diri sendiri.