Budaya Literasi Masyarakat Belum Terbentuk
Di tengah era digital, tingkat literasi masyarakat Indonesia ternyata masih rendah. Padahal, membaca dan menulis merupakan kemampuan mendasar.
JAKARTA, KOMPAS – Budaya membaca mesti secara serius dibangun di masyarakat Indonesia. Realitas menunjukkan, peningkatan lama bersekolah maupun masifnya penggunaan teknologi ditigal belum secara signifikan memunculkan kebutuhan dan kebiasaan membaca yang berkualitas.
Budaya literasi masyarakat Indonesia stagnan dan cenderung turun. Ini terlihat dari rendahnya masyarakat mengunjungi perpustakaan dan memanfaatkan taman bacaan.
Peningkatan pada akses teknologi digital juga lebih kuat pada aktivitas menonton dan mendengarkan. Bahkan, tidak ada aplikasi terkait buku yang masuk dalam 10 top aplikasi yang terbanyak diunduh tahun 2021.
“Literasi memang berkembang, termasuk literasi digital. Namun, literasi dalam arti membaca dan menulis yang merupakan kemampuan mendasar dan kemampuan pembebas belum berkembang. Kenyataannya, budaya membaca belum juga meningkat,” kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilam Nugraha di acara Simposium Nasional Gerakan Desa Membaca : Terwujudnya Masyarakat Tangguh Melalui Pustaka Bergilir Buku Masuk Rumah. Acara yang bertepatan dengan peringatan Hari Kunjung Perpustakaan ini digagas Yayasan Gemar Membaca Indonesia (Yagemi) dan Ikapi, Selasa (14/9/2021).
Padahal, lanjut Arys, masyarakat yang memiliki budaya baca diyakini akan mengantarkan suatu bangsa ke gerbang kemajuan, karena hal itu menandakan tingginya minat masyarakat terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, inovasi, serta memiliki nalar kritis. Untuk menuju masyarakat yang berbudaya baca dibutuhkan kemampuan baca tulis dan kebiasaan membaca yang didukung dengan tersedianya bahan bacaan.
Rektor Universitas Yarsi Jakarta Fasli Jalal memaparkan, kajian tentang kemampuan membaca siswa sekolah menunjukkan situasi stagnan dan cenderung turun. Hal ini terlihat dari hasil tes PISA bagi siswa usia 15 tahun yang menunjukkan dalam kurun waktu 10-15 tahun terakhi, hasil belajar di pendidikan dasar dan menengah kurang memadai. Hasil Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia juga menunjukkan kurang dalam membaca sekitar 46,83 persen.
Untuk kemampuan membaca selama 18 tahun ini, kita tidak ke mana-mana. Hampir sama seperti kondisi tahun 2000. Ada masalah mendasar karena lemah literasi yakni (dalam) memahami, menganalisa, mensitesa, dan mengkreasi.(Fasli Jalal)
“Untuk kemampuan membaca selama 18 tahun ini, kita tidak ke mana-mana. Hampir sama seperti kondisi tahun 2000. Ada masalah mendasar karena lemah literasi yakni (dalam) memahami, menganalisa, mensitesa, dan mengkreasi. (Padahal) Kalau kemampuan literasi kokoh, kita bisa maju,” jelas Fasli.
Indeks aktivitas literasi membaca di 34 provinsi yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Kemendikbud (sekarang Kemendikbudristek), pada tahun 2019, tercatat, hasil terendah pada dimensi budaya baca (25,80) dan akses (23,09). Adapun kecakapan literasi (tidak buta huruf) tertinggi yakni 75,92 dan dimensi alternatif (digital) juga lumayan di kisaran 40,49.
Budaya baca yang rendah juga terlihat dari pemanfaatan taman bacaan yang hanya sekitar satu persen dan mengunjungi perpustakaan sekitar 22 persen. Terlihat, aktivitas membaca msyarakat semakin rendah ketika tidak lagi di bangku sekolah/kuliah. Padahal, budaya baca ini penting untuk membentuk masyarakat pembelajar sepanjang hayat.
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda prihatin dengan gerakan literasi di Indonesia stagnan, bahkan surut ke belakang. “Sayangnya, isu literasi ini belum menjadi kesadaran semua pihak. Kami sudah minta ke Kemendikbudristek supaya fokus meningkatkan kualitas gerakan literasi untuk anak sekolah,” kata Syaiful.
Dedi Junaedi, Pustakawan Ahli Utama Perpustakaan Nasional, mengatakan, Perpusnas merancang program unggulan berupa transformasi layanan perpustakaan berbasis inklusi sosial. Tujuannya untuk memberikan dampak langsung bagi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya.
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Taufik Madjid mengatakan, dana desa juga dapat dialokasikan untuk mendukung gerakan literasi desa, salah satunya lewat perpustakaan desa. Di tahun 2021, ada 2.234 desa yang melakukan pengembangan/pembangunan perpustakaan desa.
“Literasi sumber pelita untuk menyalakan desa di masa depan. Inisatif pemerintah desa untuk menguatkan literasi butuh dukungan. Kami menyambut insiatif gerakan buku masuk rumah di desa-desa yang bisa terus dikembangkan,” kata Taufik.
Buku Masuk Rumah
Ketum Umum Yagemi Firdaus Oemar mengatakan, kemajuan budaya literasi Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Karena itu, terobosan atau inovasi harus serius dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan budaya literasi masyarakat.
Menurut Firdaus, Yagemi telah menguji coba program buku masuk rumah di desa-desa di Sumatera Barat sejak 2017, lalu berkembang ke Jawa Barat dan Kepulauan Riau. Buku yang sesuai dengan kebutuhan keluarga di desa dikirimkan ke rumah secara bergantian tiap dua minggu. Satu keluarga mendapat kiriman satu buku ibu, satu buku ayah, dan tiga buku anak.
Baca juga: Persiapkan Digitalisasi Perpustakaan dengan Matang
Masyarakat desa yang tertinggal dalam mengakses buku ada sekitar 82.000 desa. Dari jumlah tersebut, desa yang memiliki akses ke buku baru sekitar 23.000 desa. Tingkat kemiskinan masyarakat yang di desa perlu diatasi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia, salah satunya lewat literasi.
“Di desa sangat sulit untuk mendapat buku atau mengakses perpustakaan. Di rumah sangat langka ditemui buku bacaan. Lewat gerakan Pustaka Bergilir Buku Masuk Rumah yang dikembangkan Yagemi, upaya untuk membuat tiap orang membaca 24 judul buku per tahun bisa diwujudkan,” ujar Firdaus.
Menurut Firdaus, dari riset Yagemi bersama Universitas Andalas, buku yang dikirim ke tiap keluarga, yang disesuaikan dengan kondisi lokal, ternyata dibaca. Masyarakat meminta supaya program buku masuk rumah tidak berhenti. Sebab, masyarakat mulai mendapatkan manfaat dengan membaca, yakni menerapkan informasi dari buku bacaan untuk memperbaiki cara bercocok tanam maupun mendapat ide untuk membuka usaha kecil.
Baca juga: Kemudahan Akses dan Budaya Membaca Mengungkit Literasi
“Yagemi berharap Kementerian Desa berkenan menasionalkan gerakan buku masuk rumah yang sudah teruji ini untuk lebih banyak desa. Kami mendorong dana desa bisa dipakai untuk memperkuat gerakan literasi di desa yang efektif yakni mendistribusikan buku ke rumah warga dengan bergiliran,” kata Firdaus.