Perempuan Hadapi Hambatan Saat Bersentuhan dengan Hukum
Penegakan hukum yang berperspektif jender dan berpihak kepada korban hingga kini masih menjadi tantangan di Tanah Air. Masih banyak keluhan terhadap aparat penegak hukum ketika perempuan berhadapan dengan hukum.
Kendati telah memiliki berbagai aturan perundang-undangan, hingga kini kaum perempuan korban kekerasan masih menghadapi berbagai hambatan saat berhadapan dengan hukum. Selama ini, perempuan masih mengalami hambatan dalam mengakses haknya dalam sistem peradilan pidana.
Kajian Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan, ketika perempuan mengakses sistem peradilan pidana, sejumlah hak perempuan tidak diperoleh, mulai dari hak atas informasi, hak atas pemulihan, hak terbebas dari stigma, hak terbebas dari pernyataan yang menyalahkan korban (victim blaming), hak atas restitusi, hingga hak atas pendampingan.
”Tidak terpenuhinya hak perempuan saat berhadapan dengan hukum karena tidak ada jaminan hukum, keterbatasan lembaga pengada layanan, dan sistem layanan yang belum terintegrasi,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, dalam Peluncuran Hasil Kajian Hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Senin (22/6/2021).
Dari kajian tersebut, Komnas Perempuan menemukan, dalam KUHAP, perempuan berhadapan dengan hukum (PBH) belum mendapat jaminan perlindungan terkait hak-haknya sebagai saksi, korban, dan tersangka/terdakwa, termasuk kebutuhan khas korban.
Akan tetapi, meski ada hambatan dalam pemenuhan hak PBH, lembaga negara yang independen untuk penegakan hak asasi manusia perempuan Indonesia ini mendapati bahwa muncul praktik baik dalam menyelenggarakan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, baik di tingkat daerah maupun lembaga aparat penegak hukum.
Sebagai contoh, adanya layanan visum gratis, koordinasi di antara aparat penegak hukum (APH), dan terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Panduan Penanganan Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Praktik baik tersebut merupakan beberapa contoh upaya pemenuhan hak PBH dalam sistem peradilan pidana.
Sistem hukum acara pidana yang belum berpihak kepada korban sesungguhnya sudah terjadi sejak dulu, menyusul berbagai pengalaman perempuan korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan ataupun lembaga layanan korban kekerasan perempuan.
Baca Juga: Mendorong Penegakan Hukum Berperspektif Jender
Berangkat dari pengalaman itulah, Komnas Perempuan bersama jaringan masyarakat sipil kemudian menyusun konsep Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP), yang mengintegrasikan sistem peradilan pidana dengan sistem layanan pemulihan korban yang berpusat pada kepentingan korban.
Sistem hukum acara pidana yang belum berpihak kepada korban sesungguhnya sudah terjadi sejak dulu.
”Selama beberapa tahun, Komnas Perempuan bersama seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam sistem itu, terus-menerus dan berkelanjutan, mengadvokasi penerapan SPPT-PKKTP tersebut,” ujar Wakil Komnas Perempuan Olivia Chadidjah Salampessy dalam peluncuran kajian tersebut.
Penanganan kekerasan
Upaya tersebut tidak sia-sia dan membuahkan hasilnya, yakni pada 2016 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mulai mengadopsi SPPT-PKKTP sebagai salah satu Program Prioritas Nasional (PPN) dengan nama ”Penguatan Sistem Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak”.
Program tersebut bahkan masuk dalam kegiatan prioritas tiga, yaitu penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas keadilan. Selanjutnya, melalui PPN, Komnas Perempuan sejak tahun 2014 melakukan program uji coba penerapan SPPT- PKKTP di lima provinsi, yaitu Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Maluku, dan DKI Jakarta.
Berdasarkan hasil uji coba dan perkembangan hukum acara pidana, baik melalui peraturan perundang-undangan, putusan internal lembaga penegak hukum, maupun putusan pengadilan, Komnas Perempuan kemudian menyusun buku dengan judul Naskah Akademik Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Tak ada jaminan hukum
Secara umum, hasil pemantauan dan evaluasi Komnas Perempuan pada 2016-2017 menunjukkan pentingnya perlindungan bagi PBH dan belum memadainya KUHAP dalam memenuhi hak PBH. Lembaga layanan yang mendampingi PBH mengalami hambatan dalam mewujudkan hak PBH, baik sebagai korban atau saksi maupun sebagai tersangka/terdakwa.
”Hak-hak PBH tidak dapat terpenuhi dikarenakan tidak adanya jaminan hukum, keterbatasan lembaga pengada layanan, dan koordinasi antarinstitusi dalam sistem peradilan pidana,” tutur Siti Aminah.
Kendati demikian, Komnas Perempuan menemukan juga banyak praktik baik terkait upaya perlindungan PBH, termasuk lahirnya berbagai aturan yang terkait proses hukum bagi perempuan.
Misalnya Perma No 3/2017 yang mengatur pemeriksaan perkara perempuan berhadapan dengan hukum, yang harus berperspektif jender. Baru-baru ini, kejaksaan juga menerbitkan Pedoman Kejaksaan No 1/2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. ”Kami mendorong agar kebijakan tersebut dapat disebarluaskan dan terimplementasi dengan optimal,” ujar Olivia.
Prinsip kesetaraan jender dan nondiskriminasi juga diharapkan dilakukan penyidik dalam pemeriksaan perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum. Pertimbangannya karena sejumlah faktor, yakni ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang beperkara, ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, diskriminasi, dan dampak psikis yang dialami korban.
Pertimbangan lain adalah ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
Maka, menurut Siti Aminah, ketika memeriksa perempuan yang berhadapan dengan hukum, penyidik tidak boleh menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi. ”Penyidik tidak boleh membenarkan terjadinya diskriminasi terhadap perempuan dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat, dan praktik tradisional lainnya ataupun memakai penafsiran ahli yang bias jender,” tutur Siti Aminah menegaskan.
Baca Juga: Berdaya dan Melindungi Perempuan Korban Kekerasan
Selain itu, penyidik dilarang mempertanyakan dan mempertimbangkan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; serta tidak boleh mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip jender.
Tak hanya itu, dalam perkara perempuan berhadapan dengan hukum, Komnas Perempuan mengingatkan soal akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Tidak hanya menyediakan Unit Layanan Disabilitas di rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas), dukungan sarana dan layanan rehabilitasi bagi disabilitas mental juga menjadi penting.
Perspektif korban
Terkait dengan Pedoman Kejaksaan No 1/2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana, Bestha Inatsan, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), memaparkan pentingnya korban dan saksi mendapat perhatian pada tahap penuntutan.
Selain penjelasan kepada korban/saksi saat terkait jalannya persidangan, kebutuhan, serta hak-hak korban/dan atau saksi selama proses persidangan, perlu adanya pendamping saat pertemuan pendahuluan.
Hal yang penting adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim harus memastikan adanya pengajuan restitusi di setiap tahapan pemeriksaan. ”Sebab, selama ini pihak yang lebih aktif adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban serta pendamping korban,” ucap Bestha.
Karena itu, penuntut umum harus mencantumkan permohonan restitusi ke dalam surat dakwaan, serta penting untuk memastikan pelaku membayar restitusi. Misalnya, dalam perkara PTPPO, perlu menerapkan perintah pengadilan kepada penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
Dalam praktiknya, LPSK biasanya tidak hanya memeriksa jumlah dan bukti yang diajukan oleh pemohon, tetapi juga kesanggupan pelaku untuk membayar restitusi. Ini penting karena, jika pelaku tidak mampu membayar, korban tidak mendapatkan apa-apa sebagai salah satu hak pemulihannya.
Tanti Dian Ruhama, Koordinator Bidang Penegakan dan Penerapan Hukum dan HAM Direktorat Hukum dan Regulasi Kedeputian Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan Kementerian PPN/Bappenas, melihat, terkait perempuan berhadapan dengan hukum, masih banyak tantangan.
Misalnya, masih banyaknya kasus perempuan korban kekerasan seksual yang beralih status menjadi pelaku sehingga dibutuhkan perspektif jender oleh JPU ketika menangani kasus PBH. ”Terutama dalam kasus cyber crime ketika perempuan korban sering kali menjadi pelaku, contohnya kasus Baiq Nuril,” kata Tanti.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah peluang menerapkan Pasal 98 KUHAP untuk penggabungan gugatan ganti kerugian pada suatu tindak pidana dengan kerugian fisik. Hanya saja perlu diingat bahwa kasus PBH, terutama korban perempuan/anak perempuan, tidak selalu berupa ganti kerugian materiil, tetapi termasuk juga pemulihan psikis dan psikososial korban.
Mualim, dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundangan Kemenkumham saat memaparkan tentang perkembangan penyusunan naskah akademik dan RUU HAP oleh pemerintah menyatakan, berbagai masukan dari Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga sangat berarti dalam proses pembahasan RUU HAP selanjutnya.