Internalisasi nilai Pancasila diperlukan untuk menumbuhkan toleransi. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan maupun membuat ruang dialog antarmasyarakat.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penghayatan nilai Pancasila dapat diwujudkan dengan toleransi terhadap keberagaman, termasuk kepada penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu sebabnya internalisasi nilai Pancasila perlu dilakukan sejak dini.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo mengatakan, kedudukan penghayat kepercayaan setara dengan umat beragama. Artinya, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan seharusnya tidak terjadi karena mereka dilindungi negara. Ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinan.
Orang yang menghayati Pancasila akan menghargai perbedaan agama dan keyakinan. Esensi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengakuan terhadap Sang Khalik yang diaplikasikan dengan welas asih atau ketuhanan yang memanusiakan manusia. (Benny Susetyo)
”Orang yang menghayati Pancasila akan menghargai perbedaan agama dan keyakinan. Esensi Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengakuan terhadap Sang Khalik yang diaplikasikan dengan welas asih atau ketuhanan yang memanusiakan manusia,” kata Benny saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (1/6/2021).
Berdasarkan data Setara Institute, pada 2007-2018, ada 2.400 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Tiga daerah dengan peristiwa terbanyak adalah Jawa Barat (269), Jawa Timur (270), dan DKI Jakarta (291).
Pada 2019, terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB dengan 327 tindakan. Pada 2020, ada 180 peristiwa pelanggaran KBB dengan 422 tindakan.
Menurut Benny, sikap tenggang rasa dan menghargai perbedaan kini kendur. Dominasi kelompok mayoritas terhadap minoritas masih kerap terjadi. Padahal, toleransi adalah salah satu bentuk penghayatan Pancasila.
”Pancasila belum menjadi habituasi masyarakat sehingga (mereka) kerap menghakimi orang yang keyakinannya berbeda. Ini mengapa internalisasi nilai Pancasila penting ditanamkan sejak dini,” ucapnya.
Internalisasi nilai Pancasila dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan informal. BPIP telah mengusulkan agar Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masuk dalam kurikulum. Materi PMP disusun, disampaikan kepada Komisi II dan X DPR, kemudian akan dilakukan uji publik.
PMP rencananya diajarkan di institusi pendidikan anak usia dini (PAUD) dan perguruan tinggi. Benny mengatakan, PMP lebih menitikberatkan para praktik, bukan teori. Ia berharap agar Mendikbud Ristek memasukkan PMP dalam kurikulum pendidikan.
”Ini cara yang efektif (untuk internalisasi nilai Pancasila) supaya anak-anak diajar berperilaku di sekolah. Agar pembelajaran menarik, kami akan menggandeng sejumlah pihak, seperti ikon Pancasila, selebritas, dan pegiat kreatif untuk menyajikan nilai-nilai Pancasila secara kekinian,” kata Benny.
Pertemuan
Selain pendidikan, internalisasi nilai Pancasila bisa dilakukan lewat pertemuan lintas agama dan keyakinan. Pertemuan ini diharapkan memantik dialog sehingga satu sama lain dapat saling memahami dan menghindari konflik.
”Persoalannya (intoleransi) adalah karena mereka tidak tahu, pemahamannya tidak utuh, dan karena tidak pernah bergaul dengan penghayat kepercayaan. Kita perlu bangun program yang membuat mereka berjumpa,” tutur Benny.
Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan sependapat. Menurut dia, ruang perjumpaan umat beragama dan penghayat kepercayaan perlu diperbanyak. Hal ini diyakini bisa membangun toleransi di masyarakat.
Menumbuhkan toleransi juga butuh peran pemimpin daerah dan tokoh masyarakat. Keberpihakan mereka terhadap penghayat kepercayaan yang setara dengan warga negara lain diyakini jadi dukungan sosial bagi penghayat.
”Hal lain yang tidak kalah penting adalah memastikan penanganan serius ke kelompok intoleran. Jika tidak, intoleransi akan menjalar (di masyarakat),” ucap Halili, Kamis (27/5/2021).
Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom mengatakan, PGI menjalin relasi yang baik dengan penghayat kepercayaan. Keduanya saling mengundang dan menghadiri kegiatan satu sama lain. PGI juga turut mengadvokasi hak-hak penghayat kepercayaan.
”Seluruh umat hendaknya bahu-membahu mengembangkan cara beragama yang tidak dogmatis untuk membangun keadaban publik,” katanya.