Digitalisasi Penggunaan Dana BOS Masih Membingungkan Sekolah
Digitalisasi pemakaian dana Bantuan Operasional Sekolah diterapkan untuk meningkatkan kualitas tata kelola keuangan di sekolah agar transparan dan akuntabel. Namun, banyak sekolah masih kebingungan menjalankannya.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi penggunaan dan pertanggungjawaban dana bantuan operasional sekolah atau BOS diminta untuk tidak dipaksakan dalam waktu singkat kepada pihak sekolah. Sering kali berbagai kebijakan pemerintah pusat terkait pendidikan dimaknai dinas pendidikan daerah sebagai keharusan yang membuat sekolah kebingungan.
Sebagai salah satu contoh transformasi dana BOS, sekolah-sekolah diwajibkan untuk belanja barang dan jasa lewat portal/aplikasi Sistem Informasi Pengadaan di Sekolah (SIPLah) yang digagas Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dengan demikian, belanja barang dan jasa oleh sekolah jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK sederajat yang menggunakan dana BOS harus dilakukan lewat mitra daring di SIPLah.
Di acara Ngobrol Pintar Seputar Kebijakan Pendidikan (Ngopi Seksi) yang digagas Vox Point Indonesia dan NU Circle bertajuk Sekolah Tak Lagi Merdeka Dalam Mengelola Dana BOS?, Minggu (23/5/2021) secara daring, dibahas keresahan sekolah-sekolah yang harus belanja daring di SIPLah untuk dapat memanfaatkan dana BOS 2021. Indra Charismadji dari Vox Point Indonesia mempertanyakan slogan Merdeka Belajar mengapa tidak bisa diterapkan pada penggunaan dana BOS dengan merdeka belanja. Sebab, sejumlah kepala sekolah mengeluhkan harga yang ternyata lebih tinggi daripada pasaran serta tidak lagi bisa belanja di toko-toko langganan di seputar daerah mereka.
Di era digital memang wajar diarahkan untuk belanja di pasar digital. Tapi kalau menjadi keharusan, sementara masih banyak keterbatasan, apakah ini bagian dari Merdeka Belajar di transformasi BOS? (Indra Charismadji)
”Di era digital memang wajar diarahkan untuk belanja di pasar digital. Tapi kalau menjadi keharusan, sementara masih banyak keterbatasan, apakah ini bagian dari Merdeka Belajar di transformasi BOS?” kata Indra.
Dudung Abdul Qodir, perwakilan Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, mengakui ada perbaikan dalam penyaluran dana BOS yang dilakukan Kemendikbud Ristek. Layanan digital yang disiapkan untuk belanja barang dan jasa serta pelaporan dana BOS diyakini punya tujuan baik dan memudahkan pihak sekolah.
”Namun, dalam mendorong digitalisasi itu harus disiapkan juga sumber daya manusianya. Terutama di SD, kan tidak ada tata usaha. Mengandalkan kepala sekolah dan guru, terutama yang di pelosok, kemampuan terbatas dan jaringan internet pun tidak ada,” ujar Dudung.
Ketentuan di pusat, ujar Dudung, bisa dimaknai pemerintah daerah sebagai keharusan untuk melaksanakan sesuai aturan. Padahal, ada banyak kendala sekolah dalam melakukan transformasi digital, termasuk dalam belanja barang dan jasa dengan uang BOS yang harus di SIPLah.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah, Diyah Puspitarini. Menurut dia, sekolah sering kali menghadapi peraturan atau kebijakan yang berubah-ubah, tapi minim sosialisasi dan waktu dalam menerapkan. Akibatnya, sekolah merasa terbebani dengan berbagai administrasi.
”Dulu sebelum ada SIPLah, justru toko atau UKM sekitar sekolah makmur. Sekarang kan, belanja tidak bisa lagi di sekitar jika usaha di sekitar sekolah belum masuk SIPLah. Padahal, pengelola toko pun belum paham dengan hal ini,” ujar Diyah.
Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta Nasional Ki Saur Panjaitan, dalam Permendikbud No 6/2021 Tentang Petunjuk Pengelolaan Dana BOS Reguler, ditetapkan prinsip fleksibilitas, efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi. ”Sebenarnya hal baik yang dilakukan pemerintah untuk membuat dana BOS dapat dipertanggungjawabkan. Namun, dalam membuat kebijakan harus dilihat implikasinya dari simulasi yang ada. Seharusnya, dengan kondisi sekarang bukan keharusan, tetapi dibuat sebagai pilihan dulu,” ujar Saur.
Hary Candra, Co-Founder Pesona Edu, salah satu mitra SIPLah Kemendikbud Ristek, mengatakan ada enam mitra di SIPLah dan akan bertambah lagi. Yang tergabung di Pesona Edu ada sekitar 12.000 toko, dan sebanyak 7.500 toko di antaranya toko kecil milik perorangan.
Transaksi sudah dilakukan sekitar 40.000 sekolah dan terus meningkat. “Kami menilai masalahnya di transformasi budaya sekolah. Sekarang tradisinya harus berubah dengan digital, kalau dulu kan pihak sales dan penjual ke sekolah. Soal literasi teknologi digital ini yang memang harus di tingkat ke sekolah,” ujar Hary.
Sutanto, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah mengatakan, sejak tahun 2020 ada perbaikan penyaluran dana BOS yang dari Kementerian Keuangan langsung ke rekening sekolah. Pencairan dana BOS per tiga bulan pun lebih cepat tiga minggu hingga satu bulan dibandingkan jika harus lewat pemerintah daerah. Selain itu, dana BOS pun dibagikan sesuai indeks kemahalan daerah, tidak lagi sama untuk seluruh Indonesia.
“Dana BOS kan uang APBN. Kemendikbud Ristek punya kewajiban untuk meningkatkan kualitas tata kelola keuangan di sekolah supaya transparan dan akuntabel. Nah, SIPLah sebagai salah satu cara karena transaksi dalam sistem sehingga bisa mengontrol secara nasional, bisa menelisik alur penggunaan hingga ke individu,” jelas Sutanto.
Menurut Sutanto, jika di sekolah belum ada infrastruktur untuk belanja di SIPLah, sekolah masih bisa belanja manual. Jika dirasa lebih mahal, ada fitur untuk bisa menawar. Selain itu, sekolah dapat meminta toko langganan di daerah untuk bergabung dengan SIPLah supaya sekolah tetap bisa berbelanja secara resmi.
“Di dalam SIPLah ada pengecualian. Pelaksanaannya bertahap jika sekolah belum punya infrastruktur. Sistem ini seharusnya tidak merepotkan kepala sekolah dan guru,” kata Sutanto.
Menurut Sutanto, memang masih ada ribuan sekolah yang belum punya jaringan internet. Selain itu, pelaporan dana BOS ternyata belum tuntas. Ketika dana BOS triwulan pertama tahun 2021 dikirim, di minggu kedua Februari berhasil diterima 180.000 sekolah dari sekitar hampir 220.000 sekolah. Ada yang tidak bisa tepat waktu pengiriman karena rekening sekolah yang tidak terverifikasi. Salah satunya karena sekolah mengganti rekening.
Dalam pelaporan secara digital juga belum bisa dituntaskan semua sekolah, yang mengakibatkan pengiriman dana BOS terhambat, terutama di SD. Untuk itu, koordinasi dengan pemerintah daerah dan musyawarah kerja kepala sekolah akan dilakukan untuk mempercepat pelaporan.