Penyandang Disabilitas Mental di Panti Sosial Terlupakan
Ribuan perempuan disabilitas mental tinggal bertahun-tahun di panti sosial atau rehabilitasi, mengalami berbagai perlakuan tidak manusiawi. Selama ini, mereka belum mendapat perhatian khusus pemerintah.
Oleh
Sonya Hellen Sinombo
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS –Perempuan disabilitas mental di panti rehabilitasi belum mendapat perhatian khusus. Pandemi Covid-19 dikhawatirkan memperburuk situasi rentan mereka di panti rehabilitasi.
“Ribuan perempuan terperangkap di panti sosial. Tapi isu ini baru muncul belakangan. Padahal kejadian ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, tapi tidak ada yang permasalahkan di antara kita,” ujar Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti, dalam Diskusi Publik "Perempuan-Perempuan Penghuni Panti Sosial" yang digelar PJS, Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan, Koalisi Perempuan Indonesia, serta didukung Australia Indonesia Partnership for Justice 2, Senin (15/3/2021) secara daring.
Selain Yeni, hadir sebagai pembicara Staf Khusus Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Agung Putri Astrid, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka, dengan penanggap Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Theresia Iswarini.
Isu perempuan disabilitas mental di panti sosial baru saja mencuat di publik dan selama ini orang tidak menganggapnya sebagai masalah. Padahal jumlah perempuan yang menghuni panti rehabilitasi mental mencapai ribuan. Menurut data PJS, ada sekitar 101 panti rehabilitasi mental yang tersebar di Indonesia, sebagian besar di Pulau Jawa dan Sumatera.
“Tetapi ini hanya sebagian yang dikumpulkan PJS. Jumlah penghuni panti yang kami kumpulkan sebanyak 12.599 orang, di mana sekitar 40 persen adalah perempuan. Yang kita kumpulkan ada sekitar 5.000 perempuan yang hidup di panti sosial,” kata Yeni.
Para perempuan yang tinggal di panti sosial kondisinya sangat memprihatinkan karena mereka harus hidup berdesakan di bangsal yang beberapa di antaranya bahkan mirip penjara.
Selama tinggal di panti mereka mengalami perlakuan tidak manusiawi, di tempatkan di sebuah ruangan yang tidak layak dengan sanitasi yang buruk. Mereka tidak boleh meninggalkan tempat. Makan, buang air dan tidur pun dilakukan di tempat yang sama.
Pemantauan Komnas Perempuan tahun 2019 menemukan adanya pelanggaran hak asasi perempuan antara lain minimnya jaminan keamanan, pelecehan sesama penghuni, kekerasan seksual, dan perawatan yang merendahkan martabat salah satunya dimandikan di tempat terbuka karena asumsi mereka tidak punya kesadaran “utuh”.
Selain itu, ada pula pengabaian jaminan keperdataan seperti anak diadopsi tanpa persetujuannya, pengaburan keperdataan dan identitas karena yang bersangkutan tidak ingat. Ada juga pemaksaan kontrasepsi melalui MOW (Metode Operatif Wanita) antara lain tubektomi dan susuk.
“Kerja-kerja kementerian, terutama di ranah layanan dan keadilan harus dikerangkai dengan HAM dan HAM Perempuan. Tidak melihat panti sebagai ruang privat tapi dilihat sebagai ruang publik yang harus dimonitor dengan kacamata HAM. Kementerian Sosial harus segera menindaklanjuti temuan kekerasan di panti dan melakukan monitoring berkala untuk panti-panti rehabilitasi yang bermasalah,” ujar Theresia Iswarini.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 juga mendata, ada 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, 55 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual, dan 22 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas sensorik.
Agung Putri Astrid mengungkapkan KemenPPPA juga memberikan perhatian pada perempuan disabilitas bahkan ada peta jalan terkait perlindungan perempuan disabilitas.