RUU Cipta Kerja Ancam Kesejahteraan Perempuan Pekerja
Komnas Perempuan meminta pemerintah dan DPR untuk menghentikan pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. RUU itu dinilai mengancam kesejahteraan buruh dan perempuan pekerja.
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah menghadapi situasi pandemi Covid-19, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyoroti proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya, pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah dan DPR diminta untuk membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja yang berpotensi mengancam kesejahteraan kelompok rentan di Indonesia, yaitu bagi pekerja/buruh, termasuk kelompok perempuan.
”RUU tersebut melakukan penurunan standar perlindungan hak-hak maternitas yang mengatur bahwa dalam pemenuhan hak cuti haid, perusahaan tidak berkewajiban membayar upah atas cuti haid tersebut,” ujar Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam pernyataan di Jakarta, Jumat (24/4/2020).
Siti Aminah bersama komisioner lainnya Tiasri Wiandani, Theresia Iswarini, dan Rainy Hutabarat, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Hak Cipta Kerja dinilai tidak sejalan dengan perlindungan perempuan. ”Perlindungan perempuan secara khusus yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak cuti dengan mendapatkan upah. Dalam RUU Cipta Kerja, ada penurunan standar perlindungan perempuan buruh saat cuti haid perusahaan tidak berkewajiban membayar upah buruh perempuan,” kata Tias.
Selain menurunkan standar perlindungan hak-hak maternitas, fleksibilitas standar upah untuk pekerja padat karya yang mayoritas perempuan akan berdampak pada penurunan kebutuhan hidup layak pekerja perempuan. ”Bahkan, fleksibilitas tenaga kerja memunculkan kerentanan bagi pekerja/buruh dalam status kerja kontrak secara lebih luas,” papar Tias.
Padahal, hak pekerja perempuan telah dijamin dalam Pasal 27 UUD 1945, yang berarti merupakan hak konstitusional. Pasal 27 menyatakan, ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 28 D ayat (2) menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubugan kerja”.
Selanjutnya dalam Pasal 28 I Ayat (2) dicantumkan, ”Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
”Ketentuan tersebut menegaskan hak konstitusional pekerja perempuan berhak atas kelangsungan hidup, kondisi kerja yang layak, jaminan keselamatan dan kesehatan kerja, hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak kemudahan dan perlakuan khusus,” tambah Theresia.
Selain dijamin UU, perlindungan perempuan pekerja juga masuk dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan/UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang diadopsi Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, negara wajib memenuhi hak perempuan, termasuk penghilangan diskriminasi upah dan perlindungan hak-hak maternitasnya.
Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perempuan pekerja mendapat perhatian khusus. Misalnya dalam Pasal 76 Ayat (2) jelas mengatur, bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja pada malam hari, antara pukul 23.00 dan pukul 07.00.
Siti Aminah menegaskan, Pasal 81-32 UU Ketenagakerjaan jelas mengatur kondisi-kondisi khusus perempuan pekerja, yakni yang dalam masa haid merasakan sakit tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid (Pasal 81), perempuan pekerja berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut penghitungan dokter kandungan atau bidan, termasuk berhak istirahat 1,5 bulan bila mengalami keguguran kandungan (Pasal 82).
Pasal 83 UU Ketenagakerjaan bahkan mengatur perempuan pekerja yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
”Ini perlindungan perempuan secara khusus yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Hak cuti dengan mendapatkan upah. Dalam RUU Cipta Kerja ada penurunan standar perlindungan perempuan buruh saat cuti haid perusahaan tidak berkewajiban membayar upah buruh perempuan,” kata Tyas.
Karena itulah, menurut Rainy, selain meminta Pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan RUU Cipta Karya, Komnas Perempuan meminta agar pemerintah dan DPR melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA) dalam membahas hak-hak perempuan pekerja/buruh dalam peningkatan standar perlindungan.