Kemewahan menjadi wartawan salah satunya adalah bebas berekspresi dalam mengemas penampilan diri.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI.
Laraswati Ariadne Anwar (paling kiri), bersama rekan-rekan di Desk Internasional, Luki Aulia, Francisca Romana, dan Josie Susilo, dalam suatu acara redaksi di Puncak, Bogor, Februari 2023.
Sosok wartawan bagi kebanyakan orang mungkin identik dengan dua stereotipe penampilan. Pertama, penampilan yang kumal bagai seharian didera asap kendaraan bermotor. Kedua, penampilan yang kelimis jadul, dengan kemeja agak kedodoran—biasanya bermotif kotak-kotak dan celana berpipa lurus.
Lantas, adakah wartawan media massa umum (bukan gaya hidup) yang berpenampilan serba warna-warni, baik dari segi berpakaian maupun riasan? Saya mungkin merepresentasikan tipe yang demikian selama bertugas sebagai wartawan harian Kompas yang selama sepuluh tahun berkarier berganti potongan rambut secepat perubahan iklim. Mulai dari bob dengan poni, undercut, pixy, sampai plontos juga pernah.
Belum lagi dengan riasan wajah yang heboh. Liputan ke Kantor Staf Presiden di Medan Merdeka? Tentu saya datang dengan lipstik berwarna biru. Musyawarah pembangunan nasional yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan? Saya hadir dengan perona mata merah menyala dan lipstik ungu gelap.
Muhadjir Effendy yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah bertanya kepada saya di sela-sela rapat di Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. ”Itu lipstik kamu warna abu-abu?” dan saya pun manggut-manggut.
Para pejabat eselon satu Kemendikbud kemudian tertawa. Salah satunya bahkan menimpali, ”Memang ya, kalau di Kompas itu yang penting kinerja, bukan casing wartawannya.”
Saya jadi ingat ketika mewawancara Nonita Respati, perancang busana, di awal karier saya. Waktu itu, dia berkomentar soal sepatu saya. Sepatu berhak datar dari plastik atau jamak dikenal dengan istilah jelly shoes. Bedanya, sepatu ini memiliki duri-duri bertebaran di sekujur badannya. Persis seperti sirsak.
”Kalau wartawan Kompasmah orang enggak akan komen mau lecek, gaul, atau rapi karena sudah bawa nama institusinya. Pasti (si narasumber) sudah antusias diwawancara,” kata Noni pada November 2014.
ARSIP PRIBADI
Laraswati Ariadne Anwar (kedua dari kiri) mengenakan stocking biru, berpose di Gedung Parlemen Canberra, Australia, bersama para peserta kursus singkat Australia Awards, November-Desember 2023.
Soal penampilan itu rupanya urusan besar di Indonesia. Sementara saya terbiasa tumbuh di lingkungan yang niche secara nilai dan norma, dan kebebasan berekspresi merupakan sesuatu yang sangat diterima secara wajar. Masa sekolah di pendidikan dasar saya habiskan di sekolah swasta yang juga selaras dengan kebebasan berekspresi. Di sana, selain seragam, tidak ada aturan bahwa sepatu, tas, dan pelengkap lain-lain harus sama.
Masa kuliah
Pada masa kuliah, saya melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada, tepatnya di Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Fakultas tersebut, bersama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta Fakultas Filsafat kerap dipandang sebagai pusaran aliran kiri UGM. Dianggap serba nyeleneh. Mau mahasiswa yang rambutnya gimbal? Ada. Mahasiswi yang rambutnya diplontos? Juga ada. Alas kakinya mulai dari sandal jepit bermerek Swallow sampai sepatu Vans keluaran terbaru juga ada.
Dulu, teman-teman dari Fakultas Ekonomi, Hukum, Psikologi, apalagi Kedokteran, suka meledek saya dan teman-teman dari FIB. Katanya kami seperti sekelompok orang liar. Padahal, kami juga tahu mereka iri karena sudah berusia dewasa masih saja mau diatur-atur soal berpakaian.
Saya teringat, mereka menginvasi Kantin Sastra dan sok menceramahi anak-anak FIB soal penampilan, di tengah-tengah anak FIB diskusi soal Sartre, film-film festival, dan novel Xinran. Kalau dilihat lagi sekarang, anak-anak FIB rasanya sotoy juga sih. Namun, waktu itu, kita merasa terganggu dikomentari soal penampilan, sementara jauh lebih banyak topik lain yang menarik.
Ketika kesal, salah seorang teman di FIB menantang anak kampus lain untuk memakai sepatu lars masuk kelas. Dijawab dengan ”ih, aku enggak berani. Nanti diomongin”. Nah, kan.
Saya melanjutkan kuliah pascasarjana ke Taiwan. Di sana, kampus malah lebih bebas lagi. Kuliah sejarah China dengan bercelana pendek dan sandal? Biasa itu, tidak usah kaget. Guru-guru besar pakar 5.000 tahun sejarah China tidak ada yang ambil pusing soal keberadaan atau ketiadaan lengan baju mahasiswanya. Mereka menuntut mahasiswa bisa menjelaskan alasan Dinasti Ming yang xenofobia mau meluncurkan armada untuk menjelajah sampai ke selatan.
Ketika saya melamar bekerja di Kompas, Ayah menyuruh agar saya berpenampilan lebih tertib. Saya pun mengenakan kemeja, blazer, celana panjang, dan sepatu stiletto. Semuanya sering saya pakai, tapi tidak dengan kombinasi seperti petugas asuransi begitu. Eh… begitu diterima, wartawan senior Kompas yang juga redaktur pelaksana saat itu, James Luhulima alias JL, selalu tampil funky ke kantor.
Om JL pede dengan tato dan tindikannya dengan anting mungil. Dia juga sering pamer arloji warna-warni yang sering terinspirasi tokoh kartun. Redaktur-redaktur lain juga tampil beda-beda. Potongan rambut pun bebas, mau gondrong seheboh apa pun, gimbal, bercat warna-warni, silakan. Ada juga yang hobi bercelana pendek supaya bisa segera berjoging begitu ada waktu luang. Duduknya pun bersebelahan dengan perempuan wartawan berjilbab yang galak ketika mewawancarai pejabat.
Satu redaksi mengingatkan saya kembali kepada FIB UGM di zaman kuliah. Maka, begitu mengikuti diklat pun saya kembali pada gaya pribadi sesukanya, termasuk bercelana denim sobek-sobek. Satu-satunya hal yang harus diwaspadai di redaksi hanyalah jangan sampai membuka mulut dan keluar omongan berupa asumsi atau ”katanya katanya” terkait urusan membuat laporan berita. Pasti habis dibantai di redaksi atau minimal ditatap dingin. Semua hal terkait berita harus jelas fakta kerasnya.
Ragam jender di Fiji
Pengalaman lain yang membuat saya kaget—secara positif—ialah ketika saya berkesempatan meliput ke Fiji, salah satu negara di Kepulauan Pasifik. Kebebasan berekspresi yang saya alami di kantor rupanya kalah jauh dengan para wartawan di sana. Di budaya bangsa-bangsa Pasifik, keberagaman jender adalah keniscayaan. Setiap negara memiliki istilah tersendiri, tetapi semua menerima.
ARSIP PRIBADI
Bersama Shailendra Singh (tengah), pakar jurnalistik Universitas South Pacific, Fiji, 5 Juli 2024.
Saya melakukan wawancara cegat (doorstep) dengan Wakil Perdana Menteri Fiji Manoa Kamikamica pada perhelatan Konferensi Internasional Media Pasifik. Saya memuji seorang wartawan di sebelah karena mengenakan blus oranye yang cantik. Wartawan itu ternyata mengidentifikasinya sebagai seorang queer atau kedi, yang tidak mematok identitasnya pada salah satu jender. Fisiknya dikatakan laki-laki oleh dokter ketika ia lahir, tetapi ia meliput dengan riasan lengkap tanpa menutupi aspek maskulinnya.
Ketika diperhatikan, beberapa awak media juga berpenampilan seperti itu. Sungguh menyegarkan melihat rekan-rekan wartawan yang profesional, tajam dalam bertanya, dan bisa bebas menjadi diri sendiri. Bahkan, pengalaman saat bertandang di negara-negara Barat pun tidak seperti ini.
”Masih banyak juga tantangan kepada komunitas ragam jender di Pasifik, tetapi industri media tidak pernah mempermasalahkan penampilan ataupun identitas pewartanya. Kami dinilai dari kinerja. Variasi latar belakang dan identitas ini juga membantu awak media melihat dari berbagai sudut pandang, diskusi jadi berjalan,” kata teman pewarta dari Tonga.
Soal berdiskusi saja di Indonesia mungkin menjadi sesuatu yang susah apabila perbedaan terlalu besar. Itu baru perbedaan gagasan. Bagaimana dengan perbedaan penampilan, apalagi identitas? Sudah cukup dewasakah kita menghadapinya?