Insiden di Dili, Kala Pena Wartawan di Ujung Laras Senjata
Kisah ini mengungkap penembakan yang dialami wartawan ”Kompas” Kornelis Kewa Ama di Dili, Timor Timur, 28 Agustus 1999.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F23%2Fa8babda4-802f-409a-859f-792faaca889a_jpg.jpg)
Rangkaian foto tentang terbunuhnya Joaquim Bernardino Guterres, seorang remaja Dili, Timor Timur (saat itu), pada 26 Agustus 1999. Titik puncak kejadian adalah terbunuhnya Guterres dengan darah tergenang. Fotografer Kompas Eddy Hasby memotret kejadian ini, tapi tidak mengirimkannya karena ia tahu ini pasti bukan pilihan Kompas. Padahal, foto tentang kejadian ini adalah salah satu pemenang World Press Photo 1999.
Gabungan prointegrasi Timor Timur (Timtim) yang terafiliasi dalam organisasi milisi prointegrasi atas undangan Gubernur Abilio Jose Osorio Soares (1992-1999) mengikuti apel kebangsaan ”merah putih” di halaman kantor gubernur, Sabtu (28/8/1999), sekitar pukul 15.00 Wita. Belasan truk bermuatan ratusan anggota pasukan milisi prointegrasi, lengkap dengan senjata di tangan, hadir dalam apel itu.
Apel digelar untuk mengetahui kekuatan milisi prointegrasi, yang merepresentasikan kekuatan rakyat Timtim, pendukung otonomi khusus yang sangat diperluas. Referendum untuk menentukan pilihan itu terjadi Senin (30/8/1999). Hadir pula Gubernur Abilio Soares, Komandan Korem Dili, Komandan Kodim Dili, Kepala Polda Timtim, sesepuh prointegrasi, veteran RI, dan sejumlah wartawan.
Saat itu semua wartawan dari dalam dan luar negeri sudah hadir di Dili, tetapi tidak banyak yang meliput gelar apel bersama prointegrasi di halaman kantor itu. Mereka memilih berkumpul di sejumlah tempat yang diduga menjadi tempat pertemuan prointegrasi dengan prokemerdekaan.
Salah satu tempat yang ditunggui media massa saat itu adalah jembatan Sungai Kuluhun. Jembatan itu membatasi Desa Becora di Dili Timur dan Desa Centro di pusat Kota Dili. Desa Becoraterkenal sebagai pusat permukiman warga prokemerdekaan Timtim.
Senjata rakitan, laras panjang, panah, parang, ketapel, dan senjata tradisional lain dipertontonkan jelas. Rupanya itu sengaja digelar untuk menghadirkan efek gentar bagi kelompok prokemerdekaan. Di samping dan kaca depan truk yang mereka tumpangi ditempel bendera Merah Putih.
Baca juga: Pemilu Menjadi Pertaruhan Masa Depan Timor Leste

Wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama (kedua dari kiri), bersama beberapa wartawan lokal Dili, sedang mewawancarai utusan khusus PBB yang datang ke Dili, Mei 1999, menjelang penentuan pendapat Timor Timur, 30 Agustus 1999.
Anggota milisi mengikat kepala dengan pita merah putih, sebagian mengalungkan pita itu di leher. Di sepanjang perjalanan, mereka menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, antara lain ”Maju Tak Gentar”, dan ”Indonesia Raya”. Lagu-lagu itu sangat dibenci kalangan prokemerdekaan.
Wajah mereka di dalam truk itu tampak begitu sangar, menyeramkan, dan tampak heroik. Dengan mata tajam, mereka mengamati setiap situasi dan kondisi sepanjang jalan, yang dilalui kendaraan. Pintu rumah warga terkunci, nyaris tidak ada warga yang berkeliaran di jalan.
Warga Indonesia yang berdomisili di Dili pun bersembunyi di rumah. Tidak berani menunjukkan tanda-tanda mendukung prointegrasi. Ancaman dari kelompok prokemerdekaan terhadap prointegrasi pun sangat tinggi.
Semua warga Indonesia yang berdiam di Timtim kala itu cukup fasih bahasa Tetun, sekadar untuk mengamankan diri. Jika tidak bisa berbahasa Tetun, mereka bisa dituduh sebagai mahudu, mata-mata dari TNI.
Pusat-pusat perbelanjaan yang biasanya ditutup pukul 20.00 Wita saat itu ditutup lebih awal, yakni pukul 16.00 Wita.
Dalam sambutannya, Gubernur Abilio Soares antara lain menyampaikan, ”Mari kita jaga kedaulatan NKRI, yang telah diperjuangkan bersama. NKRI harga mati. NKRI harga mati.”
Kata-kata Abilio Soares itu disambut sorak hadirin sambil mengacungkan senjata ke udara. Sekitar lima wartawan lokal Dili dan nasional meliput apel itu.
Baca juga: Arsip Foto Kompas, dari Timor Timur ke Timor Leste
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2F0a099756-20af-4db6-85e3-629c6b18e42b_jpg.jpg)
Ribuan warga Indonesia yang berdomisili di Timor Timur berangsur-angsur meninggalkan Timtim dengan KM Dorolonda yang sandar di Pelabuhan Dili, April 1999.
Kebanyakan wartawan berada di sejumlah tempat rawan. Tempat yang diduga bakal terjadi bentrokan serius antara kelompok warga pro-Jakarta dan prokemerdekaan, yakni perbatasan Desa Becora dan Desa Centro, yang dibatasi Sungai Kuluhun. Di situ telah hadir puluhan wartawan nasional dan luar negeri. Lengkap dengan peralatan di tangan. Banyak wartawan asing merekrut warga lokal sebagai pemandu.
Di tempat itu sudah bersiaga satu kelompokanak muda prokemerdekaan. Jumlahnya lebih dari 100 orang. Mereka juga membawa berbagai senjata tajam, sepeti busur dan panah, parang, tombak, serta batu, ketapel, dan pentungan. Mungkin juga senjata api, tetapi tidak terpantau mata telanjang.
Perang meletus
Sekitar pukul 16.30 Wita, kelompok prointegrasi tiba di tempat itu. Perang pun meletus. Letusan senjata dari prointegrasi menggelegar ke sejumlah arah. Suara tembakan itu lebih banyak terdengar satu arah, yakni dari konvoi prointegrasi ke pihak prokemerdekaan. Situasi mencekam.
Tidak lama kemudian, peluru prokemerdekaan meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah prointegrasi. Senjata api dibalas senjata api. Dibarengi senjata rakitan, busur, dan panah dari dari kedua pihak. Para wartawan yang tadinya ingin mengabadikan peristiwa itu mendadak bubar, melarikan diri tanpa arah. Kebanyakan menuju tempat TNI dan Polri berada.
Saya ikut berlari sekitar 30 meter dari pusat konflik. Namun, saat sedang berlari, saya teringat sepeda motor merek Yamaha Cristalyang masih terparkir di sekitar truk milik prointegrasi. Motor diparkir lebih awal sebelum truk tiba.
Baca juga: Liputan Referendum Timor Timur; Menatap Saudaraku Semakin Jauh Melangkah

Wartawan Kompas Kornelis Kewa Ama duduk di atas sepeda motor Yamaha Kristal di rumahnya di Dili, Januari 1999, sebelum kendaraan itu dibakar kelompok prointegrasi.
Saat berbalik arah hendak mengamankan sepeda motor itu, saya melihat api sudah merambat ke seluruh badan sepeda motor. Dua anggota milisi berada di sekitar sepeda motor yang dibakar, bergegas naik kembali ke dalam truk.
Saya sedih. Motor itu baru dibeli.Saat itu saya berstatus sebagai calon koresponden harian Kompas. Dengan status itu, honor pun diberikan sesuai banyaknya berita yang layak terbit di Kompas. Sampai tahun 1999, Kompas menerima wartawan dengan status bertahap, yakni koreponden lepas, calon koresponden, koresponden tetap, dan koresponden atau wartawan.
Sebelum memiliki motor itu, setiap hari saya meliput berita dengan naik angkot atau berjalan kaki. Saat itu belum ada ojek sepeda motor.
Sepeda motor Yamaha Kristal bekas itu dibeli dari seorang warga Surabaya yang tinggal di Kelurahan Bairopite, Dili, dengan harga Rp 1,2 juta.Ia bersama keluarga mengungsi lebih awal sebelum penentuan pendapat berlangsung karena khawatir terjadi perang. Sepeda motor itu sempat pula digunakan membonceng sejumlah wartawan Kompas dari Jakarta saat datang meliput di Dili, Timtim.
Kembali ke peristiwa itu, melihat api menjalar di seluruh badan sepeda motor, saya lalu mengeluarkan kamera saku dari dalam tas. Memotret kondisi sepeda motor yang sedang terbakar. Kamera saku tidak memiliki system zoom. Pemotretan harus lebih dekat agar gambar tampak lebih jelas.
Saat itu pula beberapa anggota milisi prointegrasi yang berada di atas truk lantang berteriak. ”Wartawan kemerdekaan. Itu wartawan Kompas,” katanya.
Seiring teriakan itu,beberapa di antara mereka mengarahkan moncong senjata ke arah ke tubuh saya. Mata saya sempat memantau.
Baca juga: "Teaser", 20 Tahun Referendum Timor Timur
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2F432fc1c4-30f2-450b-8562-644d8ea91f0f_jpg.jpg)
Kain tais atau tenun ikat Timor Timur, yang dipajang di Desa Kolmera, Dili, Juli 1998. Dua pembeli sedang menawar harga tais yang dijual warga asli Dili.
Saat itu saya mengenakan baju rompi antipeluru, dan di bagian dada ada tulisan huruf besar PERS. Tulisan itu bisa terbaca pada jarak 30 meter. Dalam hati, mereka bisa membaca tulisan itu dan tidak bertindak brutal. Berat rompi ituhampir 4 kg. Sulit berlari kencang.
Tertembak
Mendadak hujan peluru mengarah ke badan saya. Sebagian besar senjata rakitan, dengan peluru berupa potongan-potongan besi dan paku. Saat dimuntahkan dari moncong senjata berubah menjadi serpihan-serpihan api.
Benda-benda berupa api itu mengenai kepala dan wajah saya. Sebagian mengenai tangan. Terasa perih di dahi, pipi, pelipis, dan dagu. Terluka, tapi tidak dalam. Luka terbakar, melepuh. Untung tidak mengenai mata. Sengaja saya merebahkan diri ke tanah.
Saat terjatuh di tanah, saya melirik ke arah barat. Berjarak sekitar 10 meter, seorang perempuan wartawan warga negara asing, dengan ikat kepala kain merah titik-titik putih, ikut terjatuh. Mengenakan baju kaus putih, celana jeans. Ia mendadak rebah. Rupanyatertembak. Entah selamat atau tidak. Belakangan saya mendengar informasi bahwa perempuan wartawan itu bernama Beatrix berkebangsaan Inggris.
Saya berpikir untuk sesegera mungkin menyelamatkan diri. Saya mulai mengamati suasana sekitar. Dentuman senjata makin menjadi. Suasana begitu mencekam. Semua wartawan, entah lari ke mana, saya tidak tahu lagi. Termasuk rekan wartawan Kompas yang meliput saat itu, Paulus Tri Agung Kristanto (TRA), Rien Kuntari, dan Eddy Hasby. Mereka semuamenyelamatkan diri ke arahTNI/Polri yang mengawal milisi prointegrasi dari belakang.
Di depan saya ada sungai. Namanya Kuluhun. Musim kemarau, sungai itu penuh lumpur. Bau busuk. Jaraknya sekitar 5 meter dari tempat saya. Segera saya bangun, meraba rosario yang disimpan istri di dalam saku celana. Ternyata masih ada.
Selanjutnya, dengan gerak cepat, saya berlari ke arah sungai. Saat bersamaan terdengar rentetan senjata. Rupanya tertuju ke saya lagi. Kali ini lebih keras. Itu senjata asli.
Baca juga: Timor Timur dan Memori Visual yang Tak Terlupakan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2Fc40d0ff3-1f96-473c-b947-b867d5045ded_jpg.jpg)
Seorang anggota Kopassus, saat itu berpangkat prajurit dua, memperlihatkan luka-luka akibat penganiayaan oleh kelompok Fretelin di Suai, Timor Timur, Agustus 1998. Dia adalah satu-satunya anggota Kopassus yang selamat dari delapan anggota Kopassus, saat dalam perjalanan dari Dili ke Suai. Ia berpura-pura mati setelah tertembak dan disabet senjata tajam di dalam truk. Tubuhnya terimpit anggota Kopassus lain yang gugur saat itu, Juli 1996.
Beberapa peluru di antaranya mengenai rompi belakang. Rasanya seperti tertumbuk batu, sangat keras. Dari arah depan, dua peluru mengenai saya, satu bagian dada kiri dan satu lagi agak dekat perut. Entah dari kelompok prointegrasi atau prokemerdekaan, kedua pihak sama-sama menggunakan senjata api.
Saya membuang badan ke dalam sungai, mengambil posisi terduduk sambil memiringkan badan ke kanan. Kelompok penembak bersorak gembira. Mereka berteriak dalam bahasa Tetun, mate tiha’sudah mati’. Untung rententan peluru itu tidak mengenai kepala atau anggota tubuh yang tidak terlindungi rompi.
Dari dalam sungai, saya melirik ke arah prointegrasi. Beberapa milisiberboncengan sepeda motor dengan senjata api, mengamati situasi sekitar. Suasana saat itu mulai remang-remang, gelap. Saya tetap terdiam di kubangan lumpur. Entah mereka tahu atau tidak. Lampu kota Dili sebagian besar belum menyala, termasuk sekitar sungai. Mereka pun meninggalkan lokasi bentrokan sambil berteriak-teriak seperti telah memenangi pertarungan.
Suasana mulai sepi. Saya merayap menuju kolong jembatan. Kondisi tubuh basah, berlumpur, dan bau. Namun, tas kerja berisikan kamera dan note tetap aman tersimpan. Senja telah pergi. Malam mulai menghampiri Kota Dili.
Saya bergerak ke perkampungan prokemerdekaan. Letaknya di sebelah kiri Sungai Kuluhun.Sepanjang perkampungan, menyusur sungai itu, terpasang kawat berduri. Memang sengaja dipasang untuk membendung masuknya kelompok prointegrasi atau lawan politik.
Baca juga: ABRI Masuk Desa, Jejak Sejarah Dwi Fungsi TNI
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2F0194c4c5-c897-48f2-80d1-a21282d1697a_jpg.jpg)
Anggota TNI dengan program ABRI Masuk Desa (AMD) saat itu membangun sebuah bak air di Lospalos, Timor Timur, November 1997. Tampak air sedang mengalir dari dalam bak. Mereka mengajak wartawan Kompas melihat sejumlah hasil karya AMD saat itu.
Saya tidak berani berbalik arah menunju tempat yang sebelumnya saya ditembak. Dalam pikiran saya, masih ada kelompok prointegrasi yang bersembunyi di sekitar itu. Intel-intel pun berkeliaran di mana-mana. Salah bertindak, nyawa melayang.
Saya nekat menerobos kawat berduri menuju perkampungan prokemerdekaan. Karena lubang kawat hanya berjarak sekitar 40 cm, saya membuang tas lebih dulu. Saat menjulurkan kepalakeluar pagar kawat, tiba-tiba seorang pemuda prokemerdekaan datang. Ia memegang sepotong kayu, panjangnyasekitar 3 meter berdiameter sekitar 15 cm.
Diinterogasi
Pemuda itu berteriak, ”Se mak ne’e (siapa kau)?”
Jawabku singkat, ”Timor oan. Hamutuk independen (Saya putra Timor, merdeka bersama).”
Pemuda itu pun dengan cepat bernada tinggi menjawab, ”Tama lai (masuk segera), ke wilayah prokemerdekaan.”
Ia pun membuang kayu itu ke arah sungai. Kemudian dengan jujur saya mengakui identitas saya, sebagai wartawan Kompas, sambil menunjukkan kartu pers yang digantung dengan tulisan huruf besar di dada.
Beberapa pemuda prokemerdekaan lain dengan parang dan busur di tangan menghampiri saya dan pemuda itu berdiri. Mereka kembali menginterogasi saya, memeriksa isi tas, rekaman kamera, blok note bertuliskan Kompas, pena, dan tape recorder kecil. Mereka lantas memperdengarkan rekaman suara.
Baca juga: Yacinto Dacrus, Guru Pengabdi di Perbatasan RI-Timor Leste
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2Fd1c7d3cc-283e-4f84-b8e7-1cde22cc2035_jpg.jpg)
Sunarto, warga Yogyakarta, yang berprofesi sebagai guru SMP di sejumlah kabupaten di Timor Timur, 1987-1999. Ia dianiaya kelompok Fretelin tentara pejuang kemerdekaan Timor Timur saat dalam perjalanan dari Kabupaten Emera menuju Dili, Mei 1996.
”Ini suara siapa?” tanya mereka.
”Bapak Taur Matan Ruak,” jawabku singkat. Padahal, itu suara Antonio da Costa, tokoh prokemerdekaan dari Viqueque yang direkam beberapa hari sebelumnya.
Mereka diam. Mereka juga belum kenal suara Taur Matan Ruak. Suara para pemuda melembut.
Tiba-tiba seorang bapak yang mengenakan sarung datang menghampiri. Ia prokemerdekaan juga. Dengan senter di tangan, ia menyinari wajah saya. Melihat darah yang sedang mengalir di beberapa titik kepala dan wajah, ia pun menenangkan anak-anak muda itu. Baju kameja lengan panjang, warna krem yang saya kenakan, bercampur darah.
Anak-anak muda itu pun mengajak saya pergi ke kamp Taur Matan Ruak malam itu. Kamp Taur Matan Ruak ada di Gunung Mata Bian, sekitar 150 kilometer lebih dari Dili. Saya menolak ajakan itu dengan alasan sudah membuat janji untuk bertemu pekan depan.
Jumlah kerumunan anak muda makin banyak. Mereka mengajak saya ke sebuah rumah gubuk, milik seorang nenek di bukit Kamea, dekat Dili. Setelah menelusuri jalan setapak di pinggiran Desa Becora, tibalah kami di rumah sang nenek.
Diobati
Nenek itu pun keluar dari dalam gubuk. Dengan sebatang obor bambu yang menyala, ia mengamati luka-luka tersebut.
Ia kembali masuk ke gubuk, lantas membawa satu sendok makan berisikan minyak kelapa, yang sudah dipanaskan di bara api. Tangan kirinya memegang kapas. Ia mencelupkan kapas itu ke dalam minyak. Kapas berminyakpanas itu digosokan di luka-luka yang kelihatan jelas. Saya merasakan perih di luka itu. Ia meyakinkan saya, luka itu segera sembuh.
Baca juga: Pelajaran dari Timor Timur
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2F61bef76b-d742-47c1-8dfc-da61672a58d6_jpg.jpg)
Siswa-siswi SMAN 2 Dili sedang mengikuti senam kesegaran jasmani dipandu anggota TNI menjelang peringatan HUT RI, 17 Agustus 1997, di Dili.
Saya pun diminta duduk sebentar di dalam gubuk itu bersama beberapa pemuda. Mereka yang lain duduk di luar gubuk. Sang nenek khawatir, kelompok milisi pro-Jakarta menyusul.
Saya pun bercerita, dalam bahasa Tetun, ”Sebelum jadi koresponden Kompas, saya pernah bertugas di Paroki Darabai, Kecamatan Uatulari, Viqueque. Membantu pastor paroki P Andreas Hane SVD.”
Mendengar cerita itu, mereka mengangguk dan semakin bersahabat. Salah satu di antara para pemuda itu kembali mengajak saya bertemu Taur Matan Ruak. Saya menolak lagi dengan alasan sudah membuat janji bertemu beliau.
Dada saya yang tertumbuk peluru kencang terasa agak sakit. Saya meraba di bagian dada itu. Ternyata tidak ada luka atau darah. Nenek itu pun coba mengurut bagian dada tersebut dengan minyak kelapa panas miliknya.
Hari makin gelap. Salah seorang bapak di rumah itu menyampaikan, waktu sudah menunjukkan pukul 20.30 Wita. Dari bukit Kamea, masih terdengar rentetan senjata api di beberapa titik di Kota Dili, tetapi suasana di sekitar Sungai Kuluhan sudah aman.
Baca juga: Potret Timor Portugis dan Timor Timur sebelum Timor Leste
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2Fef37948f-65b8-4de1-92ad-0d78a22d7fb7_jpg.jpg)
Program ABRI Masuk Desa di Lospalos, Agustus 1998. Seorang anggota TNI sedang membajak lahan milik warga di wilayah itu. Ketika itu banyak anggota TNI berpakaian preman saat bertugas di tengah masyarakat agar tidak mudah dicurigai kelompok prokemerdekaan.
Saya memaksakan diri untuk pulang ke rumah. Mereka menanyakan alamat rumah. Setelah mengetahui alamat rumah saya di Kintal Bot, dekat pekuburan Seroja, mereka makin yakin. Di situ tinggal kelompok prokemerdekaan. Para penghuni kampung itu adalah warga Darabai, Uatulari, Viqueque. Sebagian dari mereka adalah anak murid saya, saat mengajar di SMPN Uatulari, 1989-1991.
Mereka menawarkan diri mengantar saya ke rumah. Namun, salah satu dari para pemuda itu mengusulkan agar saya langsung dibawa ke RSUD Dili, berlokasi di Kuluhun, Becora. Saya setuju.
Namun, saya hanya diantar sampai di pintu gerbang masuk rumah sakit. Mereka takut terhadap TNI/Polri yang berjaga di rumah sakit itu. Saya pun menuju ruang instalasi gawat darurat (IGD) sambil memperkenalkan diri.
Dikabarkan ditembak dan diculik
Aparat keamanan yang berjaga pun merasa lega. Lalu mereka saling kontak melalui radio, handy talky, mengabarkan bahwa saya selamat. Sebelumnya, sejumlah media televisi, seperti RCTI dan SCTV, menyiarkan saya ditembak dan diculik.
Beberapa dari aparat keamanan mengantar saya ke ruangan IGD. Salah satu petugas kesehatan langsung melapor ke dokter jaga malam itu, dokter Anang. Jarum jam di rumah sakit itu menunjukkan pukul 22.00 Wita. Dokter jaga itu menanyakan nama, alamat, status, dan pekerjaan saya.
Ia pun langsung menyebutkan, ”Nama Bapak sudah menyebar di sejumlah televisi nasional, Jakarta. Berita itu menyebutkan, Bapak diculik kelompok prokemerdekaan, dibawa ke hutan. Itu yang kami pantau.”
Sambil mengobati luka-lukaku, ia mengambil gagang telepon rumah sakit. Ia berbicara dengan seseorang. Suara orang itu perempuan. Suara penerima telepon makin jelas terdengar. Di balik gagang telepon saya mendengar perempuan itu menangis. Sang dokter pun berupaya menenangkan suara yang sedang menangis itu.
Baca juga: Kolaborasi Tapal Batas dinantikan untuk Membangun Perbatasan RI-Timor Leste
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F24%2F8d072b1d-6840-4941-b6ad-ac6dd77d1cd1_jpg.jpg)
Anggota TNI bersama masyarakat lokal Lospalos, Timor Timur, membangun rumah warga, Juli 1998.
Ternyata dokter Anang menelepon istri saya, drg Maria Goreti Sumiyati. Ia sedang di rumah dengan hati gundah. Kebetulan kami tinggal di rumah dinas dokter, di Kintal Bot, Dili Utara. Dokter pria itu mengaku pernah tinggal di rumah dinas itu sehingga masih hafal nomor telepon rumah.
”Sudah Dok. Jangan menangis lagi. Saya sedang tangani suami dokter. Saya sedang obati luka-lukanya di sini. Tidak ada luka parah atau serius. Hanya ada luka-luka kecil saja. Tenang. Aman saja,” kata dokter itu sambil menutup gagang telepon.
Mendengar suara istri yangmenangis di balik gagang telepon, air mataku berlinang. Saya sedih, sekaligus bersyukur, masih diberi kesempatan Tuhan untuk hidup. Dokter itu coba menenangkan saya. Suasana batin terasa bercampur baur. Sedih, jengkel, kecewa, dan bersyukur.
Saya diberi teh hangat dan tiga kue cucun oleh perawat. Sambil menceritakan kejadian yang saya alami, mendadak masuk seseorang berpakaian loreng, menyusulKepala Biro Antara Dili, Jonar Siahaan (alm), di belakangnya.
Anggota TNI itu dengan sikap tegas dan terburu-buru bertanya kepada dokter jaga malam itu. ”Apakah korban sudah diobati, Dok?”
Dokter pun menjawab, ”Sudah, Pak. Tidak ada luka serius. Untung ada rompi. Lebih dari itu, Tuhan masih menjaga wartawan kita,” katanya.
Baca juga: Timor Timur dalam Gerak Pembangunan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F08%2F25%2Fd17f5f6d-0297-401b-a0c3-d59535436287_jpg.jpg)
Kantor Gubernur Provinsi Timor Timur, Agustus 1977. Di depannya terdapat tugu peringatan 500 tahun penjajahan Portugis (Portugal).
Saya menatap Jonar Siahaan. Ia tampak begitu sedih. Matanya sempat berlinang, lalu memeluk saya. Kami beradu pandang, lalu berpelukan. Sedih dan pilu terasa.
Jonar sejatinya orangnya sangat lucu dan humor setiap bertemu saya. Kami sering liputan bareng dengan mobil miliknya ke sejumlah kabupaten di Timtim. Kali ini ia tampak beda. Ia pun mengajak kami segera meninggalkan rumah sakit.
Tidak usah kerja begini lagi.
Saya berpamitan dengan dokter jaga. Di luar ruangan itu ada tiga anggota Kopassus dengan senjata laras panjang berjaga. Mereka menjemput saya. Mobil operasional milik Kantor Berita Antara parkir di depan rumah sakit. Kami masuk ke dalam mobil.
Jonar Siahaan menyetir mobil dengan kecepatan tinggi. Di sampingnya duduk anggota TNI yang masuk ke ruangan IGD. Saya duduk di belakang Jonar, diapiti dua anggota Kopassus, lengkap dengan senjata. Moncong senjata mengarah ke luar kaca mobil yang setengah terbuka. Satu anggota Kopassus lain tiarap di bagian mobil paling belakang, sambil mengarahkan moncong senjata ke luar.
Kami bergerak menuju perumahan dokter di Kintal Bot, berjarak sekitar 3 kilometer dari rumah sakit. Tiba di rumah saya, sekitar pukul 23.30 Wita, istri sudah menunggu di depan pintu. Rupanya dokter dari rumah sakit telah menghubunginya.
Saat itu istri sebagai dokter PTT, menjabat Kepala Puskesmas Becora karena dokter kepala puskesmas tersandera korupsi. Istri menangis, memeluk saya. Sontak ia berkata, ”Tidak usah kerja begini lagi.”
Dievakuasi ke Jawa
Jonar dan anggota TNI pun pamit pulang. Saya dan istri pun makan malam. Pukul 24.30 Wita sebuah mobil berhenti di depan rumah. Pintu rumah diketuk sambil ada yang berbicara dari luar, ”Permisi, saya Kapten Agus, Kapenrem.”
Baca juga: Marcelino Lopes, Warga Eks Timor Timur yang Setia Pada NKRI
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F03%2F03%2F65aaaa74-3363-4c9e-b176-8f4c872ab62c_jpg.jpg)
Salah satu eks pejuang Timor Timur, yang juga mantan Komandan Milisi Makikit, Marcelino Lopes, Agustus 2020, di kediamannya di barak penampungan Tuapukan, Kabupaten Kupang.
Istri saya ketakutan, tetapi saya mengenal suara itu, lalu meyakinkan dia.Saya pun membuka pintu. Ternyata benar, Kapenrem Dili Kapten Agus. Ia berbicara singkat.
”Saya diperintahkan Danrem agar menghubungi Pak Wartawan dan Ibu Dokter agar besok, 29 Agustus, dievakuasi bersama 75 anggota TNI/Polri yang terluka ke Madiun. Ini perintah, wajib dijalankan,” katanya tegas.
Kami tidak bisa menolak perintah itu. Malam itu juga saya dan istri menyiapkan satu tas berisikan pakaian secukupnya untuk evakuasi.Saya berpikir, setelah itu bakal pulang lagi ke Dili untuk bertugas.
Kami menuju Bandara Komoro, Dili. Di situ, puluhan anggota TNI/Polri sudah menunggu. Pesawat Hercules pun sedang parkir menunggu penumpang lain.
Saat itu pula saya dihubungi wartawan Kompas, Mas TRA, melalui ponsel Nokia, ponsel keluaran pertama dengan antena di ujung. TRA bersama Rien Kuntari dan Eddy Hasby masih berada di Perumahan Delta Komoro, Dili, menjalankan tugas liputan.
Ia menanyakan kondisi saya, dan mau memastikan, apakah benar saya dievakuasi ke Jawa bersama istri. Kami berbicara sebentar, lalu berpamitan.
Hercules sudah parkir di Lanud Bandara Komoro. Saya menyaksikan puluhan anggota TNI/Polri dalam kondisi terluka sedang dudukdi aspal, sekitar pesawat parkir. Mereka pun dievakuasi. Duduk di dalam Hercules tidak seperti duduk di pesawat komersial. Terpenting, bagi saya saat itu, bisa tiba dengan selamat.
Herculesmendarat di Lanud Surabaya menurunkan anggota TNI/Polri di wilayah itu. Perjalanan berikutnya ke Madiun, saya dan istri turun di situ, kemudian menuju Semarang dengan mobil.
Selanjutnya, saya menjalani perawatan di RS St Elisabeth, Semarang. Sepulang dari rumah sakit, saya tinggal di rumah mertua di Semarang. Saat itu saya mendapat kunjungan dari perwakilan Kompas Semarang, Sudirman Toha Lalu (alm), dan Sonya Helen Sinombor. Saat itu pula saya diberi buket bunga, kiriman dari artis Cornelia Agatha, yang peduli terhadap peristiwa yang saya alami itu.
Baca juga: Warga Eks Timor Timur, Antara Asa dan Kenyataan
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F08%2F17%2Faf1dfcd1-03e5-453c-bf30-3d7add6858ad_jpg.jpg)
Suasana permukiman warga eks Timor Timur di Desa Oebelo, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada Senin (16/8/2021). Semua warga di permukiman itu hidup di bawah garis kemiskinan.
Selasa, 31 Agustus 1999, semua saluran televisi dan surat kabar mengabarkan bahwa Dili sudah porak poranda akibat peperangan. Seluruh wilayah Timtim hancur dibakar. Indonesia kalah telak dalam penentuan pendapat.Semua WNI sudah mengungsi balik ke Timor Barat dan sebagian lagi ke Jawa, Sulawesi, dan Bali.
Tentu saya tidak lagi kembali ke Dili. Enam bulan bertugas di Jawa Tengah, saya kemudian mengikuti pelatihan pengangkatan menjadi karyawan tetap. Jumat, 31 Desember 1999, saya pindah tugas di Jayapura, Papua, menggantikan wartawan Kompas, Okto Mote, yang melarikan diri ke luar negeri karena diduga terlibat gerakan Papua merdeka.
Juli 2006, saya dipindahtugaskan di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pada Agustus 2007, saya ke Dili untuk meliput pemberontakan Mayor Alfredo yang ingin kembali bergabung dengan Indonesia. Alfredo saat itu tewas ditembak.
Kesempatan liputan ke Dili itu juga saya gunakan untuk berkunjung ke rumah dinas dokter yang kami tempati dulu. Saya melihat semua rumah peninggalan warga Indonesia dalam kondisi masih baik. Rumah-rumah itu telah ditempati penduduk asli.
”Kalau warga Indonesia ingin kembali menempati rumah ini, kami segera keluar,” kata Marques de Araudjo, warga Colmera, Dili.