Kisah Wartawan Kompas Dituduh Terima Uang Amplop Rp 50.000
Gara-gara berita belum dimuat, seorang deputi di BKKBN melontarkan tuduhan dan penghinaan. Saya tentu tidak menerima.

Soelastri Soekirno, keempat dari kiri saat berkumpul dengan sesama wartawan Kompas di ruang rapat Redaksi Kompas, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta pada 2002.
Gara-gara berita belum dimuat, seorang deputi di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat menuduh semua wartawan yang meliput acara lembaga itu hanya mau terima amplop berisi uang Rp 50.000, tetapi tak peduli kepada BKKBN.
Tuduhan sangat serius tersebut datang dari seorang pejabat eselon satu BKKBN di acara Review Program KB Nasional tahun 2002 pada 12 September 2002. Pertemuan yang dihadiri para kepala kantor BKKBN se-Indonesia dan pihak lain, itu, diadakan di kantor BKKBN Pusat di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.
Tuduhan itu saya dengar dan lihat ketika meliput pada hari kedua acara review program di ruang rapat utama kantor BKKBN Pusat. Waktu itu tidak ada wartawan lain yang datang meliput pada hari kedua. Saya duduk di kursi di seberang para peserta. Salah satu anggota staf Humas BKKBN menghampiri dan menyapa saya.
Selanjutnya saya berkonsentrasi mendengarkan paparan deputi, kalau tidak salah bidang kesejahteraan keluarga, tentang tugas berat BKKBN terkait desentralisasi beberapa kewenangan ke pemerintah daerah. Selain mencatat poin penting, saya merekam paparan, antara lain, soal kekhawatiran angka kelahiran di Indonesia naik setelah ada desentralisasi yang menyerahkan kewenangan pemerintah pusat ke daerah.
Si deputi kemudian menyinggung peran wartawan yang ia sebut sangat penting untuk mewartakan kekhawatiran tersebut agar ada perhatian dari para pimpinan daerah dan kepala BKKBN di daerah. ”Masalahnya untuk hal penting itu media tidak tertarik memberitakan. Kemarin, di acara pembukaan ada wartawan datang, tapi saya lihat di koran hari ini, beritanya tidak ada. Padahal wartawan Kompas, Media Indonesia, Tempo sudah dikasih uang, tapi tak mau menulis beritanya,” ujarnya.
Saya yang tak menyangka akan ada ucapan memfitnah keluar dari mulut salah satu wakil kepala BKKBN itu, kaget sekali. Rekaman langsung saya cek untuk memastikan sudah merekam pernyataan tadi. Rekaman aman, berfungsi baik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F11%2F26%2F8ef5cd54-8517-48f2-ae7b-d2930bc34dbd_jpg.jpg)
Foto ilustrasi: wartawan sedang bekerja di lapangan, meminta konfirmasi Edhy Prabowo (ketika itu Menteri Perikanan dan Kelautan) yang tersandung masalah dugaan suap perizinan budidaya lobster tahun 2020. Foto diambil di Gedung KPK, Jakarta, pada 26 November 2020.
Tidak hanya sekali, pejabat eselon satu itu mengulang lagi tuduhannya. Ia menyebut lagi wartawan Kompas sudah terima uang, begitu pula wartawan media lain. Saya yang hadir pada pembukaan Review Program KB amat tersinggung karena saya tidak pernah menerima amplop dari mana pun, sebuah tindakan yang merupakan pelanggaran berat di lingkungan Kompas. Terlebih lagi tuduhan ia lontarkan di hadapan sekitar 150 peserta acara.
Saya berpindah tempat duduk ke kursi di belakang peserta yang kosong. Staf humas ikut. Ia duduk di samping saya. Tampaknya dia tahu saya sangat marah mendengar tuduhan asal jeplak bosnya.
Memang, berita soal review BKKBN waktu tersebut belum ada di harian Kompas edisi hari itu, tetapi bukan karena saya tidak mau menulis pembukaan dan keterangan Kepala BKKBN Prof Dr Yaumil C Agoes Achir. Berita sudah saya serahkan kepada editor, tetapi editor menunda pemuatannya karena keterbatasan halaman. Saya diminta meliput acara pada hari kedua untuk menambah materi berita, barangkali ada yang menarik untuk diwartakan.
Waktu itu usai acara, pada hari pertama, salah staf Humas BKKBN memang menawarkan amplop. Saya menolaknya karena aturan di harian Kompas, semua wartawan dilarang menerima uang dan barang berharga. Staf tersebut sudah tahu aturan itu, tetapi ia tetap harus menyampaikan ada amplop buat saya.
Baca juga: Menggedor Adrenalin di Laut Sorong
”Maaf Mbak. Saya hanya menjalankan tugas, saya tahu wartawan Kompas tidak akan mau menerima uang. Maaf sekali ya Mbak,” tuturnya sambil menunjukkan beberapa amplop putih berisi uang yang belum semua terbagi. Iseng saya bertanya kepadanya. “Untuk acara begini berapa sih yang dikasih ke wartawan?”.
Ia membuka salah satu amplop. saya lirik isinya Rp 50.000. Halah, uang lima puluh ribu sudah cukup untuk merusak mental wartawan, batin saya.
Ingatan tentang isi amplop membuat saya amat marah saat mendengar tuduhan si deputi kepada semua wartawan yang belum tentu menerimanya, bahkan menyentuhnya. Oleh karena itu, ketika dibuka sesi tanya jawab, saya langsung mengacungkan tangan.
Staf humas di samping saya langsung bertanya. ”Mbak, mau tanya apa?”.
”Ada lah, mas, nanti dengarkan saja,” jawab saya pendek dengan suara bergetar menahan amarah.
Ia membujuk agar nanti bertemu langsung atasannya itu seusai acara. Saya menolak.

Berita "Desentralisasi KB Mengkhawatirkan" yang ditulis wartawan Kompas Soelastri Soekirno hasil liputan acara Review Program KB Nasional di BKKBN Pusat pada 12 September 2002.
Penolakan itu membuat dia pergi ke meja moderator. Ia berbisik kepada deputi bidang lain yang menjadi moderator acara. ”Oh, pasti dia lapor ke bosnya yang lain kalau saya marah dan mengacungkan tangan untuk minta waktu bicara,” batin saya. Di BKKBN Pusat terdapat beberapa deputi Kepala BKKBN.
Saya melihat, moderator berbisik-bisik dengan staf humas tersebut. Ia lalu menulis di selembar kertas yang diberikan ke deputi yang menuduh saya. Tampak raut muka orang itu berubah. Tangannya pun gemetar seusai membaca surat tersebut.
Tak lama staf humas kembali ke sebelah saya. ”Mbak, saya sudah lapor Pak Deputi. Kata bapak, nanti bapak akan menemui Mbak. Jadi mari Mbak duduk lagi,” katanya mencoba membujuk.
Saya jawab tegas, ”Terima kasih, Mas. Saya pilih nanya di sini aja. Tolong bilang ke bosmu, aku tak berurusan dengan deputi yang jadi moderator, tapi yang pembicara.”
Sementara pihak mereka berusaha membujuk saya mengurungkan niat bertanya, deputi yang menjadi pembicara sudah tak setegas lagi saat menjawab pertanyaan peserta rapat. Suaranya mengecil dan tersendat-sendat. Wajahnya tidak lagi selalu menghadap ke depan, lebih banyak menunduk.
Sesi kedua tanya jawab dibuka, tapi saya tak mendapat kesempatan berbicara. Saya lalu berdiri sambil mengacungkan tangan. Sampai habis penanya, saya tetap tak punya kesempatan berbicara.
Rasa marah saya semakin meluap melihat sikap tak sportif mereka. Saya nekat maju ke tengah peserta rapat sambil terus mengacungkan tangan dan mengatakan, ”Saya mau tanya, Pak.”
Permintaan saya tak direspons.
Saya Lastri, wartawan Kompas. Saya kemarin yang meliput pembukaan acara ini, tapi saya tidak mengambil uang amplop dari BKKBN. Kami, wartawan Kompas dilarang keras menerima uang amplop. Yang melanggar aturan akan dipecat.
Saya terus bergerak ke depan podium dan langsung berbicara. ”Saya Lastri, wartawan Kompas. Saya kemarin yang meliput pembukaan acara ini, tapi saya tidak mengambil uang amplop dari BKKBN. Kami, wartawan Kompas dilarang keras menerima uang amplop. Yang melanggar aturan akan dipecat. Saya dikasih berapa pun tak akan mau ambil. Dan perlu Bapak dan Ibu yang hadir di sini ketahui, amplop yang kemarin mereka kasih kepada wartawan isinya Rp 50.000,” kata saya.
Saya menunjuk ke pembicara dan minta dia membuktikan ucapan bahwa saya menerima uang dari BKKBN. ”Tolong Anda tunjukkan, mana bukti saya terima uang itu. Di sini ya, dan sekarang, sesuai tuduhan Anda tadi,” pinta saya dengan keras.
Dengan suara lirih pembicara menjawab bahwa ia tak bermaksud menuduh. Saya makin marah karena dia mengingkari omongannya. ”Baik, jadi Anda tak bisa menunjukkan bukti, tapi berani memfitnah saya. Begini ya, kita tahu, memfitnah dan menghina itu masuk hukum pidana. Kalau begitu, apakah ada Ibu-Bapak yang berasal dari BKKBN Madiun, Jawa Timur? Saya orang Madiun. Mari Bu, Pak, saya undang untuk menjadi saksi di Polda Metro Jaya, sebab masalah ini akan saya laporkan ke sana,” ujar saya membuat tubuh si pembicara tambah gemetar.
Saya juga mengajak peserta rapat yang lain ikut ke Polda Metro Jaya beramai-ramai menjadi saksi pelaporan atas pasal fitnah dan penghinaan oleh salah satu pimpinan BKKBN Pusat. ”Pak, Bu, sebenarnya saya sudah punya rekaman ucapan orang itu. Jadi ada bukti valid, tapi kalau ditambah kesaksian Ibu dan Bapak-bapak, akan makin kuat,” kata saya sambil menunjukkan alat perekam kepada seluruh hadirin yang terdiam.
Moderator kemudian menengahi. Ia meminta maaf atas kejadian tadi, tetapi sesungguhnya tak ada maksud rekannya menghina dan memfitnah saya.
”Tak usah ikut campur Pak, apalagi dengan membela dia. Seluruh orang di sini mendengar ucapan dia tentang saya dan wartawan,” jawab saya sambil menunjuk ke arah pembicara.
Baca juga: Tekanan Psikologis Wartawan di Medan Liputan
Ia lalu meminta maaf lagi dan mengakui kealpaan rekannya itu. ”Kami harus bagaimana agar Mbak mau memaafkan kami?” tanya moderator.
”Saya sebenarnya lebih senang membawa kasus ini ke kepolisian. Biar semua jelas dan jadi pelajaran buat semua orang. Dia memfitnah, mempermalukan saya di depan banyak orang. Dia juga memfitnah lembaga tempat saya bekerja, harian Kompas. Bagi saya mendingan kita bareng ke polisi saja Pak,” jawab saya.
Moderator meminta masalah diselesaikan di tempat. Saya menolak, tapi agak melunak karena kasihan melihat pembicara yang kelu. Saya minta pembicara mengirimkan surat permohonan maaf. Surat itu harus sudah sampai kantor saya sebelum saya sampai kantor.
Moderator meminta masalah diselesaikan di tempat. Saya menolak, tapi agak melunak karena kasihan melihat pembicara yang kelu.
Jika tidak, saya akan tetap teruskan kasus itu ke polisi. ”Baik, Bu, kami akan mengirim permohonan maaf kepada Ibu dan keluarga besar harian Kompas. Kami berjanji tak akan mengulang perbuatan seperti itu lagi,” janji si moderator. Sementara si pembicara terdiam.
Saya meninggalkan acara, kembali ke kantor. Sampai kantor saya disambut editor yang membawa surat permohonan maaf bertanda tangan si pembicara. Saya hentikan rencana melapor ke polisi. Toh, misi saya mengedukasi masyarakat bahwa tak semua wartawan menerima uang amplop atau transferan uang sudah saya lakukan. Bahwa pendapat amplop tidak bisa dipisahkan dari profesi wartawan adalah salah besar.