Menggedor Adrenalin di Laut Sorong
Ikut bersama nelayan mencari ikan menjadi pengalaman mengasyikkan selama liputan khusus Jelajah Laut Papua Maluku.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F05%2F6a4e4104-9e31-4f0b-886f-9fbc31c24864_jpg.jpg)
Ikan sako (caroang/cendro) yang dijaring nelayan di perairan sekitar Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Mengikuti aktivitas nelayan menjadi salah satu sasaran ”wajib” yang kami tetapkan sejak perencanaan liputan ini beberapa bulan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan tema besar liputan, yakni kelautan dan perikanan.
Nelayan sebagai pemangku kepentingan utama sektor perikanan tentu perlu mendapat ruang perhatian besar, khususnya nelayan kecil tradisional. Dengan ikut melaut, perjuangan nelayan sehari-hari bisa digambarkan.
Namun, jangan dibayangkan kapalnya besar-besar. Kami lebih sering menumpang nelayan dengan perahu kecil yang dilengkapi motor tempel sebagai penggeraknya. Di kawasan timur Indonesia, perahu-perahu itu biasa disebut bodi, katinting, atau jonson.
Pengalaman selama bertugas di Sulawesi sejak 2011 saya mengatasi rasa takut setiap kali harus menaiki alat transportasi tersebut meskipun saya bisa berenang. Sejak lahir sampai dewasa tinggal di Jakarta, saya jarang sekali bersentuhan dengan laut.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F12%2F40349f97-e61f-407d-84df-f6c8c0b43634_jpg.jpg)
Anak-anak bermain di pantai di kawasan kampung nelayan di Pulau Doom, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Di Sulawesi, saya kerap menumpang berbagai jenis perahu dan kapal, khususnya saat bertugas di Sulawesi Tenggara (Sultra). Provinsi itu merupakan wilayah kepulauan yang mau tidak mau harus bersandar pada transportasi laut sebagai penghubung antardaerah.
Walaupun sudah terbiasa, rasa waswas selalu muncul kalau cuaca sedang berombak. Beberapa kali saya naik perahu dalam kondisi seperti itu. Bagi saya, bukan soal goyangnya perahu yang bikin kalut, melainkan bantingan body perahu setelah melewati puncak gelombang.
”Paak! Paak! Paak!” Suara keras saat badan perahu menghantam air itulah yang menggerogoti nyali. Kekhawatiran badanperahu sewaktu-waktu bisa pecah pun memenuhi kepala.
Kalau mukanya landai saja, artinya situasi masih terkendali.
Kalau sudah begitu, biasanya saya mengintip ekspresi wajah motoris atau orang yang memegang kemudi. Kalau tampangnya tegang, artinya bahaya. Kalau mukanya landai saja, artinya situasi masih terkendali.
Saya pun bersyukur, selama ini tak pernah menemukan wajah tegang motoris dalam situasi itu. Saya malah pernah mendapati motoris yang tampak gembira mengarungi gelombang demi gelombang sambil sesekali tertawa.
Bisa jadi dia tahu psikologis penumpang yang takut sehingga berupaya meredamnya dengan cara itu. Atau, dia memang sungguh-sungguh merasa situasi ini sebagai hal yang biasa. Ah, sudahlah.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F28%2Fe04ea0e6-5224-4adb-a44a-6f1119bb336d_jpg.jpg)
Ilustrasi ombak
Meski telah kenyang pengalaman naik perahu, seingat saya ini pengalaman pertama mengikuti aktivitas nelayan. Biasanya, liputan nelayan yang saya lakukan hanya mewawancarai mereka di pesisir, pelabuhan ikan, atau perkampungan nelayan. Antusiasme pun mengembang untuk menjajal pengalaman baru ini.
Sorong menjadi kota pertama yang disambangi dalam rangkaian liputan khusus ini. Total tim Kompas mengunjungi 12 daerah di Papua dan Kepulauan Maluku untuk mengangkat isu-isu kelautan dan perikanan. Hasil liputan dapat dibaca di harian Kompas dan Kompas.id pada 5-9 November 2023.
Baca juga: Masa Depan Lumbung Ikan Terancam
Selain saya, tim peliput segmen Sorong terdiri dari Antonius Ponco Anggoro, Fransiskus Pati Herin, Iwan Setiyawan, dan Rian Septiandi. Saya, Ponco, dan Frans adalah reporter; Iwan fotografer; dan Rian videografer.
Singkat cerita, kami menyusun rencana untuk mengikuti aktivitas nelayan di Pulau Doom, pulau kecil yang berada tepat di muka Kota Sorong. Jaraknya hanya sekitar 800 meter dari dermaga penyeberangan di pesisir kota.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F02%2F01f13d69-4136-4bba-b374-d3890d67b303_jpg.jpg)
Nelayan menyiapkan jaring untuk melaut di kampung nelayan Pulau Doom, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Meski telah kenyang pengalaman naik perahu, seingat saya ini pengalaman pertama mengikuti aktivitas nelayan.
Kami dibantu oleh Bobby (30), anggota staf Yayasan EcoNusa yang kebetulan juga warga Pulau Doom. Saat senggang, Bobby biasa ikut melaut bersama rekan-rekannya di pulau itu. Kami pun dikenalkan dengan Emon Mau (30), nelayan teman Bobby yang kebetulan berencana melaut.
Hari yang ditentukan pun tiba, yakni Minggu (11/6/2023). Emon dan kelompoknya hendak menjaring ikan sako (Tylosurus crocodilus). Ikan bermoncong panjang dan tajam itu melimpah di perairan sekitar Kota Sorong.
Baca juga: Harta Tak Terbilang dari Kedalaman Biru Papua
Sako menjadi buruan alternatif saat itu karena ikan tongkol yang menjadi incaran utama nelayan Pulau Doom sedang tidak musim. Meski begitu, teknik penangkapan kedua ikan itu sama, hanya ukuran jaringnya yang berbeda.
Pagi-pagi sekali kami bergerak ke pesisir. Di sana, perahu yang akan dipakai melaut sudah siap. Kami membawa perbekalan air minum, makanan ringan, dan makan siang. Tak lupa, jaket pelampung yang dibawa dari Makassar pun sudah dipakai.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F23%2F65497c64-da9f-4d38-8337-d693fb751ad3_jpg.jpg)
Wartawan Kompas ikut perahu motor untuk meliput aktivitas nelayan Pulau Doom, Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Karena ukuran perahu yang kecil, kami memutuskan hanya saya, Frans, dan Rian yang ikut melaut. Adapun Ponco dan Iwan akan mengeksplorasi kehidupan nelayan di daratan Pulau Doom.
Bukan apa-apa, meskipun Emon meyakinkan kami bahwa perahu itu masih bisa menampung lebih banyak orang, akan lebih baik jika kelonggaran diterapkan. Prinsipnya, semakin sedikit beban, semakin aman perahu.
Baca juga: Pinjam Perahu demi Bisa Melaut
Total yang ikut dalam perahu sepanjang 14 meter dan lebar 1,8 meter itu sebanyak 9 orang dewasa, termasuk Bobby yang turut menjadi awak. Ada pula dua anak-anak, keponakan Fauzan Kadir (33), sang motoris perahu.
Kekhawatiran berikutnya muncul saat melihat awan gelap di sisi kanan haluan perahu. Beberapa hari terakhir Sorong diguyur hujan deras. Namun, Emon dan Fauzan kembali meyakinkan bahwa cuaca aman. ”Kita tidak ke arah situ,” ujar Emon.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F05%2Ff96fb7d7-d0ff-442c-b8ee-7beab0c05ade_jpg.jpg)
Emon Mau (tengah) menunjukkan ikan sako hasil tangkapan di perairan sekitar Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Setelah sekitar satu jam melaut sambil duduk berbincang-bincang dan menyantap kudapan, Emon mulai berdiri. Kami sudah tiba di lokasi perburuan, yakni perairan dekat Pulau Matan. Pulau itu secara administratif sebenarnya telah masuk wilayah Kabupaten Raja Ampat meski jaraknya lebih dekat ke Sorong.
Emon pun memantau lautan sekeliling. Dia sedang mencari lokasi terbaik untuk mulai melepas jaring. Setelah puas dengan pilihannya, Emon setengah berteriak, ”Jaring! Jaring!”
Empat awak perahu pun cepat-cepat menurunkan jaring ke laut. Sementara itu, Fauzan sigap mengendalikan perahu untuk bergerak melingkar.
Saya merasakan sendiri betapa beratnya menarik jaring tersebut. Tangan rasanya mau copot.
Saat jaring sudah membentuk setengah lingkaran, Bobby melompat ke laut. Dia berupaya menggiring ikan agar tak keluar dari lingkaran jaring. Perahu pun terus melaju hingga jaring menutup sempurna.
Kami bertiga sibuk merekam momen tersebut dengan kamera foto dan video. Sesekali saya mencatat detail-detail kecil di telepon genggam supaya tidak lupa. Selama momen itu, jantung serasa ikut berpacu, adrenalin pun melonjak.
Saat jaring ditarik ke perahu, perlahan ikan sako mulai terlihat. Namun, menarik jaring bukanlah perkara sepele. Saya merasakan sendiri betapa beratnya menarik jaring tersebut. Tangan rasanya mau copot. Salut dan takjub kepada para nelayan yang setiap hari bergulat demi tangkapan yang kita makan itu pun makin tinggi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F05%2Fcd14a225-5c38-455d-bd4f-c0dc26b0de0b_jpg.jpg)
Sekelompok nelayan sedang menjaring ikan sako di perairan sekitar Kota Sorong, Papua Barat Daya, Minggu (11/6/2023).
Kerja berat tersebut terbayar saat melihat makin banyak ikan sako yang terjaring. Satu kali tebar jaring pagi itu tertangkap ratusan ikan sako.
Setelah itu, kelompok Emon dua kali lagi menebar jaring sehingga total tangkapan menjadi 850 ekor. Dengan harga Rp 3.000 per ekor, Emon dan kawan-kawan hari itu membawa pulang penghasilan kotor Rp 2,5 juta.
Baca juga: Belenggu Kemiskinan di Tengah Kekayaan Lautan Maluku-Papua
Senyum-senyum puas tergambar di wajah mereka atas hasil yang terbilang lumayan itu. Kami pun turut merasa senang karena para nelayan bisa membawa pendapatan yang cukup untuk keluarga di rumah.
Sebelum pulang, Emon menawarkan singgah di Pulau Matan untuk makan siang. Sejumlah ikan sako pun akan dibakar sebagai lauk tambahan. Tentu saja, tawaran itu segera kami sambar dengan semangat. Kapan lagi bisa santap siang di pulau cantik berpasir putih. Ah, nikmat!