Di Sungai Kutemukan Kerusakan Lingkungan hingga Ekspresi Kehidupan
Suatu ketika, di tepi Kapuas, tanpa sengaja saya melihat masyarakat sedang mempersiapkan suatu acara, yakni tradisi memandikan anak ke sungai. Untuk menuju sungai, anak-anak ini harus digendong oleh perempuan bertuah.
Siapa saja yang terbang dan hendak mendarat di Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat, akan menyaksikan kelok-kelok sungai, termasuk kelok Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia.
Sungai Kapuas melintasi, antara lain, Kota Pontianak, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Luar biasa panjangnya. Melihat ini memantik rasa penasaran saya terhadap sungai.
Kalimantan Barat dikenal dengan julukan daerah “seribu sungai” karena dilewati banyak sungai. Sungai sebagai salah satu sumber air semestinya disyukuri. Namun, seiring waktu, dengan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan, termasuk di sungai, muncullah banyak masalah.
Akan tetapi, jika kita menjelajah sungai-sungai di Kalimantan, termasuk di Kalimantan Barat, ternyata kita tidak hanya mendapat aspek problematikanya, tetapi juga aspek keberagaman, gotong royong, dan kekayaan budaya Nusantara.
Saya yang lahir di Kalbar sebenarnya tidak asing dengan sungai. Namun, keinginan untuk menelusuri sungai lebih jauh baru muncul saat menjadi jurnalis. Apalagi, sungai kerap menjadi kambing hitam saat terjadi bencana banjir.
Pada suatu Minggu tahun 2019, saya mencoba menelusuri Sungai Kapuas menggunakan speedboat (perahu cepat) untuk membuat liputan khusus tentang sungai. Saya berangkat dari wilayah Kabupaten Sintang.
Di suatu lokasi, saya menyaksikan terjadinya abrasi di tepian Kapuas yang menyebabkan tumbangnya pohon-pohon di sekitar. Bahkan, ada bantaran yang hilang 10-20 meter ke arah daratan. Kondisi itu saya temukan di sejumlah lokasi yang terpencar di bantaran sepanjang 20 km.
Kondisi itu terjadi karena adanya praktik penambangan emas tanpa izin. Di dekat lokasi abrasi tampak mesin-mesin yang dipergunakan untuk penambangan. Mesin-mesin itu disimpan di atas rakit yang kala itu tengah berada di tengah sungai. Kondisi ini masih diperparah dengan adanya perkebunan yang jaraknya tepat di tepi Sungai Kapuas.
Pemandangan seperti itu tidak hanya terlihat di satu lokasi. Diperkirakan abrasi serupa juga terjadi di banyak lokasi sehingga akhirnya terjadi pendangkalan sungai. Hal itulah yang kemudian membuat Kalbar kerap dilanda banjir.
Dalam penelusuran tersebut saya bersikap hati-hati dan mengutamakan keselamatan. Kamera yang saya gunakan untuk merekam kondisi sungai saya tutupi dengan jaket. Saya bersama pengemudi kapal juga membawa pancing agar tidak menarik perhatian. Pemandangan orang memancing di sungai lebih jamak ketimbang orang memotret dan mengamati.
Setahun sebelumnya atau tepatnya pada tahun 2018, saya juga pernah menyaksikan potret kerusakan sungai Kapus hingga ke hulunya. Kala itu, saya menyaksikan rakit-rakit tempat mesin menambang emas berada di tepian hulu Kapuas.
Dari penelusuran tersebut saya membuat liputan berjudul ”Kapuas, Eksotika yang Merana” yang menggambarkan kerusakan sungai itu pada tahun 2019. Kondisi itu diperkuat dengan pernyataan sejumlah pihak yang sejak lama mengamati kondisi sungai.
Eksotika
Akan tetapi, kisah soal sungai tidak melulu tentang problematika. Selama sekitar sembilan tahun bertugas di Kalbar, saya juga melihat sungai sebagai ruang ekspresi budaya masyarakat. Sungai menjadi semacam inspirasi budaya.
Suatu ketika pada tahun 2019, saat melintasi suatu kampung di Kalbar, tanpa sengaja saya melihat masyarakat sedang mempersiapkan suatu acara, yakni tradisi memandikan anak ke sungai.
Oleh masyarakat setempat, sungai dianggap memiliki kekuatan yang menjaga kehidupan. Oleh sebab itu, berbagai ekspresi budaya untuk menghargai sungai pun muncul. Seperti dilakukan oleh beberapa keluarga di Kampung Merimpit, Kabupaten Sintang, Kalbar, yang melaksanakan upacara memandikan anak ke sungai atau adat Ngemai Mani dalam bahasa Dayak Desa, Selasa (25/6/2019). Anak-anak yang dimandikan berusia 3-9 bulan.
Oleh masyarakat setempat, sungai dianggap memiliki kekuatan yang menjaga kehidupan. Oleh sebab itu, berbagai ekspresi budaya untuk menghargai sungai pun muncul.
Gong ditabuh mengiringi perarakan dari rumah menuju Sungai Seliau. Acara diikuti orangtua dan anaknya, temenggung adat, dan warga. Dalam arak-arakan, anak-anak tidak digendong ibunya, melainkan oleh perempuan lain yang dianggap bertuah.
Perempuan itu haruslah tidak pernah bercerai dan suaminya belum meninggal. Dengan begitu, ia dianggap memiliki latar belakang kehidupan yang baik sehingga anak-anak yang digendong diharapkan akan bertuah seperti orang yang menggendongnya.
”Di setiap sungai selalu ada semacam roh yang membersihkan. Anak-anak ini harapannya panjang umur sepanjang sungai, dijauhkan dari penyakit dan sumpah serapah orang,” kata Thomas Rayah (74), temenggung setempat.
Dari situ saya membuat laporan tulisan yang berjudul ”Sungai, Ruang Ekspresi Budaya Masyarakat”.
Liputan tentang sungai juga membawa saya ke Desa Datah Diaan di Kabupaten Kapuas Hulu dan berjumpa dengan masyarakat Dayak Kayaan pada 2019. Di sana saya berjumpa sejumlah warga dan tetua setempat dan mendengarkan kisah tentang relasi mereka dengan sungai.
Peradaban masyarakat Dayak Kayaan tidak terlepas dari sungai. Sungai di masa lalu menjadi jalur migrasi, mempererat relasi sosial, menopang kehidupan, hingga menopang fungsi strategis terhadap pertahanan.
Seuntai nyanyian syair atau telimaa’ tentang sungai menjadi salah satu cara mengekspresikan penghargaan terhadap sungai yang telah menopang kehidupan.
Suatu pagi, warga Dayak Kayaan, yakni Martha Haran (63), Siprianus Gunung (51), dan beberapa tetua setempat, mengajak saya menaiki perahu menuju hulu sungai, tidak jauh dari desa. Setiba di gundukan batu, Martha mulai melantunkan nyanyian syair sebuah karya sastra setempat.
Nyanyian syair tersebut berisi cerita tentang sungai dengan segala kekayaan di dalamnya. Pengalaman itu saya jadikan tulisan untuk harian Kompas berjudul ”Seuntai Nyanyian untuk Sungai”.
”Panggung” kehidupan
Saya juga pernah menyusuri kebudayaan sungai di Kecamatan Suhaid, Kabupaten Kapuas Hulu. Di sana masih ada masyarakat yang tinggal di atas rumah yang mengapung atau rumah lanting. Pada Juli 2019, saya mengunjungi Toni (35), warga Suhaid.
Di rumah lanting berukuran 13 x 8 meter miliknya, Toni tinggal bersama istri dan seorang anak. Rumah lanting itu didirikan di atas rakit kayu gelondong jenis meranti dan tengkawang, yang berdiameter 80 sentimeter-1 meter dengan panjang 13 meter. Ada enam gelondong kayu yang disusun menjadi rakit, yang kemudian ditambatkan dengan tali tambang ke tonggak di bantaran sungai agar tidak hanyut.
Tiang-tiang rumah lanting dari kayu didirikan di atas rakit. Dinding rumah terbuat dari papan berlapis seng agar tidak mudah ditembus angin dan tidak mudah lapuk. Atapnya pun dari seng. Di rumah lanting itu ada ruang tamu, satu kamar tidur, dan dapur.
Masyarakat yang tinggal di rumah-rumah lanting menghidupi nilai gotong royong. Saat musim kemarau biasanya lanting miring. Saat ketinggian air normal, perlu ditarik ke posisi semula dan itu dilakukan secara gotong royong. Saya pun mengabadikan perjalanan itu dalam tulisan berjudul ”Lanting, Panggung Kehidupan di Kapuas”.
Rumah lanting juga sejatinya ”panggung kebinekaan” karena menjadi etalase perjumpaan masyarakat dari berbagai latar belakang. Akiau (58), warga keturunan Tionghoa di Nanga Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, juga tinggal di rumah lanting.
Ia memiliki rumah lanting berukuran 7 x 17 meter. Di bawah rumah lanting miliknya terdapat kayu-kayu sepanjang 20 meter dengan diameter 1-1,5 meter sebagai pelampung sehingga lanting mengapung.
Di bagian depan terdapat teras, lengkap dengan tempat duduk. Teras itu juga menjadi tempat berdagang bahan kebutuhan pokok dan alat-alat rumah tangga. Di dalam lanting terdapat dua kamar tidur, dapur, dan WC di bagian belakang.
Warga Tionghoa yang tinggal di desa itu pada umumnya pendatang. Mereka awalnya tidak memiliki tanah sehingga orangtuanya membuat rumah lanting di Sungai Kapuas.
”Ayah saya mengembara dari China sejak usia 17 tahun. Sampailah dia ke sini dan membuat rumah lanting lalu berdagang yang dilanjutkan hingga generasi saya sekarang,” ujar Akiau.
Rumah lanting mempertemukan masyarakat dari berbagai latar belakang lewat relasi perdagangan dan sosial keseharian. Pada era 1970 hingga 1980-an, penduduk dari berbagai daerah membawa hasil bumi untuk dijual kepada pedagang di rumah lanting. Dari uang hasil menjual hasil bumi itu, mereka membeli bahan kebutuhan sehari-hari.
Begitulah, secuil potret peradaban sungai di sepanjang Kapuas yang bisa saya rekam dan tuangkan menjadi tulisan. Saya merasa beruntung karena bisa mendengar langsung dari para pelaku peradaban tersebut.