Menguji Stereotipe ”Chef” Galak
Bayangan sosok ”chef” di kepala saya adalah seorang yang galak dan bersikap kasar kepada rekan tim dapur. Mungkin pikiran ini muncul akibat terlalu sering terpapar tontonan tentang ”chef” yang terkesan galak atau judes.
Entah bagaimana, bayangan sosok chef yang ada di kepala saya adalah seorang yang galak dan bersikap kasar kepada rekan tim dapur. Mungkin pikiran ini muncul akibat terlalu sering terpapar film atau unggahan di media sosial tentang chef yang terkesan galak atau judes macam Gordon Ramsay, Juna, atau Renata.
Belum lagi kalau menonton acara kuliner di platform video sesuai permintaan. Salah satu yang pernah saya tonton, menampilkan seorang chef sedang memasak lalu bersikap kasar kepada rekan-rekannya yang bertugas mengiris sayuran (cook helper).
Kata-kata yang keluar dari mulutnya pedas tak karuan bisa jadi mengalahkan pedas masakan olahannya. Persepsi ini kian menguat saat menyaksikan sebuah film berjudul Hunger di sebuah platform lainnya. Stereotipe bahwa chef itu galak bikin saya penasaran ketika suatu saat mendapat tugas untuk meliput acara ”Paon: Real Balinese Cooking” di Ubud, Bali, pada 19-20 Mei 2023.
Kata orang, selalu ada cerita menarik di setiap dapur.
Dari judulnya sudah terbayang, saya bakalan menghadapi chef. Dan benar saja, di sana saya bertemu dengan duo chef, Wayan dan Iwan Yunarto. Hm..., apakah drama chef marah-marah seperti yang sering saya lihat di berbagai tayangan kuliner akan saya saksikan dengan mata kepala sendiri?
Kata orang, selalu ada cerita menarik di setiap dapur. Saya jadi ngarep mendengar macam-macam cerita karena akan segera berkunjung ke dapur sebuah resor di Ubud. Di dapur ini para chef akan berjibaku mengolah masakan untuk disajikan di acara yang akan mengundang sejumlah orang, termasuk wartawan. Siapa tahu akan ada drama menarik, ya, kan?
”Terima kasih banyak sudah membantu dari kemarin dan hari ini. Saya mau minta kerja samanya untuk menyiapkan beragam menu untuk nanti malam. Jangan melihat saya posisinya lebih tinggi atau berbeda dengan kalian ya, kita sama-sama menyiapkan masakan yang terbaik untuk para tamu,” ucap Chef I Wayan Kresna Yasa saat briefing dihadapan tim dapur di resor Amandari, Ubud, Sabtu (20/5/2023).
Lho, lho, lho, mana chef galaknya?
Baca juga: Keajaiban Rasa dari Paon Bali
Salah satu privilese wartawan adalah mengalami langsung peristiwa di lapangan, termasuk kali ini ke dapur dan bertemu chef. Selain bisa menyaksikan apa yang berlangsung di hadapan dan kisah-kisah yang menyertainya, wartawan pun bisa menguji asumsi pribadinya, termasuk soal chef galak.
Ternyata, drama yang terjadi di dapur Amandari adalah drama harmonis. Tidak ada chef galak. Chef Wayan dan Chef Iwan Yunarto justru berkolaborasi dengan akrab. Begitu pula dengan anggota tim dapur lainnya. Tidak terlihat ada peran yang dikucilkan atau dipandang sebelah mata. Semua memiliki tanggung jawab masing-masing yang harus diselesaikan.
Karena saya tidak ingin hanya melihat hasil masakan yang sudah jadi, saya pun minta izin untuk melongok aktivitas mereka menyiapkan sajian. Jadilah, saya bolak-balik ke dapur untuk mendokumentasikan proses memasak dan mengobrol dengan beberapa orang tim dapur. Sebisa mungkin saya tetap berada di tepi agar tidak mengganggu proses mereka bekerja.
Usut punya usut, munculnya stereotipe chef galak rupanya ada latar belakangnya. Menurut Chef Wayan, bekerja di dapur memang penuh tekanan karena tuntutan yang tinggi. Tidak heran jika banyak dapur kemudian menerapkan aturan keras terhadap timnya. Ini demi ketepatan, kebersihan, dan ketelitian yang tinggi. Bisa dikatakan, tak boleh sedikit pun bermain-main dalam menyiapkan makanan.
Meski begitu, kata Chef Wayan, dia sangat menentang keras terjadinya perundungan dan pelecehan di dapur, terutama yang dialami oleh rekan yang tingkatannya masih di bawah.
”Semua pasti pernah merasakan dari bawah tetapi tak sepantasnya yang masih baru diperlakukan seenaknya. Saya tidak terima jika ada yang dibegitukan, pasti saya bimbing sampai bisa,” ujarnya bernostalgia.
Baca juga: Mengejar Halaman Depan untuk Yadnya Kasada
Sore itu, Wayan mengajak dua orang dari tim dapur restorannya, Home by Chef Wayan, yakni Ni Kadek Resita Devi Anggreni (20) dan Yoga Kerta Yasa (19). Keduanya pernah mengalami perundungan di tempat kerja sebelumnya. Pengalaman ini membuat mereka trauma dan enggan kembali ke dapur.
Namun, perjumpaan mereka dengan Chef Wayan bagai embusan angin yang memberi harapan. Di dapur Home, keduanya kembali belajar untuk menjadi seorang chef. Semoga terwujud ya, astungkara....
Kembali pada kesibukan di dapur resor Amandari. Setelah Chef Wayan menyampaikan briefing, giliran Ida Bagus Budi Santosa, Food and Beverage Manager resor Amandari, yang menyampaikan ucapan terima kasih atas dedikasi Chef Wayan mengangkat beragam menu masakan Bali yang mungkin jarang diketahui banyak orang.
Ia menekankan pentingnya narasi dalam suatu masakan yang menjadi daya tarik tersendiri. Narasi setiap menu disampaikan oleh Chef Wayan dihadapan tim penyaji.
Menu lokal
Untuk perhelatan malam itu, Chef Wayan menyiapkan berbagai kreasi masakan, seperti pulung-pulung, ledok nusa, dan ayam serosop. Hidangan utamanya cukup berat dan beragam, yakni timbungan be pasih, babi genyol, sate Bali, nasi kuning, lawar klungah, dan sayur labu kuah santan.
Yoga bertanggung jawab untuk menggoreng paha ayam tanpa tulang (boneless) di wajan antilengket. Sesuai arahan Chef Wayan, setiap wajan hanya boleh untuk menggoreng dua potong ayam agar kematangannya merata.
Baca juga: Lewat Aplikasi Kencan, Melacak Turis Asing yang Bekerja Ilegal di Bali
Jika terlalu penuh, dikhawatirkan pemasakannya tidak optimal. Sementara, Devi bertugas memanaskan jagung muda di atas wajan. Mereka diminta fokus pada satu bahan dan menyelesaikannya dengan tepat sehingga meminimalkan kesalahan. Melihat mereka bekerja dan mengolah bahan makanan memberi pengetahuan tambahan bagi saya.
Sore itu, aroma dapur sangat beragam. Ada aroma ayam yang sedang dipanaskan di atas wajan, kuah sup kental, hingga bakaran sate lilit. Aroma ini membuat perut saya meronta penasaran. Seperti apakah rasa masakan yang dihasilkan dari dapur yang demikian sibuk ini?
Selain perut mulai melintir, kepala pun mulai pusing menyaksikan keramaian ini. Mungkin pertanda gula darah saya menurun alias lapar, he-he-he. Salah satu menu yang bikin saya penasaran adalah bulatan berbalut tepung roti yang tampilannya sekilas menyerupai kroket kentang.
”Ini namanya pulung-pulung. Enak banget. Penuh kejutan pada isian di dalamnya,” ujar Chef Wayan tersenyum.
Saya lalu berkeliling dari satu meja preparasi ke meja lainnya. Di sudut kulkas terdapat tumpukan tusukan sate di dalam kulkas, yakni sate lembat babi, sate lilit pusuh ayam, dan sate asem sapi. Ketiganya masih mentah dan sudah dimarinasi dengan berbagai bumbu.
Di bagian kompor, ada yang bertugas memasak sup ledok nusa dan ayam serosop. Di seberangnya, seorang anggota tim kebagian menggoreng pulung-pulung. Ada pula yang harus menyiapkan hidangan penutup black rice pudding atau bubur ketan hitam dengan tambahan es krim vanila di atasnya. Duh, membayangkannya saja bikin air liur mengalir deras. Untung, tidak sampai menetes.
Baca juga: Dilema Liputan Imigran Ilegal
Selain melihat pengolahan bahan makanan, saya juga menyaksikan kedua chef mengawasi betul penataan dekorasi di piring (plating) agar sesuai dengan wadahnya. Misalnya, hidangan ledok nusa menggunakan piring yang cekung tapi bagian tepinya tidak terlalu tinggi.
Ini untuk memudahkan tamu menyendok kuah yang kental tetapi masih bisa melihat elemen apa saja yang ada di dalamnya. Pemilihan warna piring yang kontras dengan makanan juga diperhatikan. Tampilan menu tak boleh luput. Pendek kata, setiap hal diperhatikan dengan detail.
”Memasak hidangan Bali terlihat lebih susah dibandingkan menu western tetapi bukan berarti kita menyerah untuk belajar. Kita bisa mengangkat masakan Bali menjadi lebih modern tanpa menghilangkan karakter rasa aslinya,” kata Wayan.
Kalimat itu begitu terngiang di pikiran. Mungkin karena tanpa saya sadari, saya terus menyangsikannya, ”Ah, apa iya rasa masakannya bakal tetap khas Bali?”
Tak lama setelah saya duduk menghadap meja perjamuan, tim penyaji mengantar sepiring pulung-pulung yang telah digoreng.
Pada gigitan pertama, saya langsung terdiam, tak sanggup berkata-kata. Makanan itu tanpa permisi meleleh begitu saja di lidah saya. Gorengan naik kelas ini mah!
Baca juga: Undangan Rahasia dari Lima Gunung
Pulung-pulung dibuat dari adonan sorghum yang direbus lalu dimasukkan kulkas lebih dari 12 jam dan diberi isian daging nangka yang dimasak dengan bumbu lokal. Ini mengingatkan saya pada comro khas Jawa Barat. Menu sederhana tetapi istimewa itu berasal dari kampung halaman Chef Wayan di Nusa Penida.
Katanya, sorgum biasanya dipanen pada musim panas dan menjadi sumber karbohidrat yang mengenyangkan bagi warga setempat. Adapun isian nangka terasa berserat layaknya daging sapi. Wah, cocok untuk camilan para penikmat makanan nabati ini.
Menu berikutnya yang saya cicipi ayam serosop. Saya merasa seperti sedang jatuh cinta saat mencicipi hidangan ini. Jika di dapur saya hanya melihat proses penggorengan ayam yang dilakukan oleh Yoga, sekarang saya mencicipi wujud keseluruhannya. Kuahnya creamy tetapi tidak ”berat”. Padahal menggunakan elemen santan di dalamnya. Kematangannya pas, dagingnya terasa lembut, dan kulitnya renyah.
Sebelumnya, Chef Wayan sudah mewanti-wanti saya tentang menu ini, ”Ayam serosop itu enak banget loh. Menu comfort food saya, he-he-he. Apalagi saat badan sedang sakit, makan sup ini langsung cepet sembuh.”
Kalimat sugestif itu rupanya merasuk ke dalam diri saya. Seketika badan terasa segar di tengah udara dingin Ubud malam itu.
Malam itu, keberuntungan saya menyantap menu-menu istimewa ini ditutup dengan semangkuk bubur ketan hitam yang diberi topping es krim vanila. Semula saya menduga es krim vanila akan merusak rasa bubur ketan hitam.
Ternyata justru sebaliknya. Es krim vanila melebur apik dengan gurihnya kuah santan dan legitnya bubur ketan hitam. Bubur ketan hitam tidak kehilangan identitasnya, tetapi semakin diperkuat dengan aroma vanila dan pandan.
Begitulah, gara-gara kerap meliput dan menulis tentang makanan, palet lidah saya pun mulai terbuka lebar. Saya jadi lebih bisa mengelaborasi rasa dan tidak sekadar komentar enak atau tidak enak. Demikian pula dengan kisah-kisah di baliknya.
Nikmat apa lagi yang kau dustakan? Jalan-jalan dan makan-makan tetapi tetap digaji. Kalau sudah begini, saya hanya bisa mengucap syukur atas pengalaman yang membuat saya semakin ”kaya”.