Pemerintah China sangat ketat dalam aturan peliputan. Bertanya tidak bisa sembarangan, apalagi dalam konferensi pers pejabat tinggi. Jangankan ”doorstop”, pertanyaan yang akan diajukan pun harus dikumpulkan jauh hari.
Oleh
AGNES THEODORA dari Beijing, China
·6 menit baca
Duh, kangen doorstop. Pikir saya sembari memandang Perdana Menteri China Li Qiang yang berjalan turun dari panggung konferensi pers di Ruang Emas Gedung Aula Besar Rakyat di Lapangan Tiananmen, Beijing, China. Sang perdana menteri melenggang tanpa dicegat dan dikerubungi satu wartawan pun.
Masih ada beberapa pertanyaan yang tersisa di kepala. Namun, saya tak dibolehkan bergerak ke mana-mana. Dari kursi yang saya duduki, saya pun menyibukkan diri memotret setiap gerak-gerik Li Qiang. Bersama saya ada ratusan jurnalis lain, baik lokal maupun asing, yang pada Senin (13/3/2023) siang itu mengabadikan momen konferensi pers (konpers) perdana Li Qiang setelah ia dipilih sebagai orang nomor dua di China.
Beruntung, hari itu, saya berhasil mendapat kursi di barisan kedua dari depan, dengan posisi tepat di tengah. Setelah mengikuti dua kali konpers pejabat tinggi di China, saya jadi tahu bakal tidak bisa bebas berjalan-jalan atau berpindah tempat untuk memilih sudut pengambilan gambar yang lebih mantap.
Setelah merasa sudah cukup memotret, saya memutar pandangan. Di sekeliling saya, semua wartawan masih duduk atau berdiri dengan rapi. Tidak ada yang bergeser dari posisi semula, apalagi berlari mengejar Li Qiang untuk menanyakan pertanyaan susulan lewat wawancara doorstop alias ”menodong” atau ”mencegat” narasumber untuk wawancara.
Untuk beberapa waktu, hanya terdengar suara jepretan kamera bertubi-tubi. Tidak ada wartawan yang bersuara, apalagi berteriak ”Lihat ke sini, Pak Li!”, ”Kiri, Pak Li!” untuk mengarahkan Li Qiang berpose di depan kamera, sebagaimana sering terdengar seusai konpers pejabat di Indonesia.
Setelah Li Qiang dan rombongan pejabat tinggi lain meninggalkan ruangan, barulah terdengar dengung suara wartawan yang sibuk membereskan peralatan dan bercakap-cakap. Wawancara doorstop pun dilakukan, bukan dengan pejabat, melainkan hanya antarjurnalis. Biasanya, wartawan lokal mendatangi wartawan asing untuk menanyakan kesan mereka menghadiri ajang politik akbar China, alias The Two Sessions.
Pada dua pekan pertama saya di China mengikuti program China International Press Communication Center (CIPCC) 2023, ”Negeri Tirai Bambu” memang sedang menggelar rangkaian sidang legislatif tahunan.
Kami, 69 jurnalis peserta dari 51 negara, secara bergantian diberi kesempatan meliput beberapa agenda, seperti sesi pembukaan dan penutupan sidang Kongres Rakyat Nasional (NPC), serta tiga agenda konpers penting oleh PM Li Qiang, Menteri Luar Negeri Qin Gang, dan juru bicara NPC.
Bisa menghadiri rangkaian agenda di atas adalah sebuah privilese, mengingat Pemerintah China sangat ketat dalam aturan peliputan.
Bisa menghadiri rangkaian agenda di atas adalah sebuah privilese, mengingat Pemerintah China sangat ketat dalam aturan peliputan. Untuk konpers perdana Li Qiang, misalnya, hanya wartawan tertentu dengan surat undangan yang bisa masuk. Berbekal kartu pers atau kartu kredensial peliput sidang saja tidak cukup.
Urusan bertanya juga tidak bisa sembarangan, apalagi untuk konpers pejabat tinggi. Jangankan doorstop, pertanyaan yang akan diajukan pun telah dikumpulkan dan disisir terlebih dahulu. Wartawan Antara yang bertugas di China bercerita, ia bahkan sudah mendaftarkan diri untuk bertanya satu bulan sebelum konpers digelar.
Sejauh pantauan saya, topik sensitif tetap bisa ditanyakan. Dalam tiga konpers yang saya hadiri, beberapa isu mengemuka, seperti relasi China-Amerika Serikat, meningkatnya kegiatan militer China di Selat Taiwan, kenaikan anggaran militer China, serta kontroversi kebijakan nihil Covid dan masa depan ekonomi China di tengah menurunnya kepercayaan dunia usaha.
Namun, umumnya, pertanyaan itu diajukan dengan halus, dalam bentuk pertanyaan terbuka, atau sekadar meminta komentar. Nyaris tidak ada pertanyaan kritis nyelekit yang sifatnya menggugat.
Ini tentu berbeda dengan di Indonesia, di mana jurnalis bisa mengajukan pertanyaan mendadak di tempat. Pejabat, bahkan presiden, harus siap sedia dengan pertanyaan sekeras apa pun yang dilempar wartawan.
Tidak ditunjuk
”Kamu bisa coba angkat tangan, tapi saya tidak jamin kamu bakal dipilih,” kata Direktur China Asia Pacific Press Center (CAPCC) Zou Benshuo lewat pesan singkat. Ben, panggilan akrabnya, adalah penanggung jawab peserta program, khususnya untuk wartawan yang berasal dari kawasan Asia Pasifik.
Malam itu, Senin (6/3/2023), saya mengirim pesan kepada Ben untuk bertanya apakah saya bisa mengajukan pertanyaan on the spot pada konpers Menlu China yang akan digelar keesokan harinya.
Ada tiga pertanyaan yang sudah saya siapkan, semua berkaitan dengan isu ketegangan di Selat Taiwan. Sebagai wartawan ekonomi yang tidak terbiasa meliput isu internasional, saya memilih fokus pada satu isu yang paling ”panas” dan dekat dengan Indonesia sebagai sesama negara Asia.
”Atau kirim pertanyaanmu ke salah satu asisten kami. Nanti kami coba atur sesi wawancara terpisah,” kata Ben, lalu mengirim emotikon tertawa. Sepertinya, hari itu ia sudah meladeni terlalu banyak pertanyaan serupa dari peserta program yang lain.
Kamu bisa coba angkat tangan, tapi saya tidak jamin kamu bakal dipilih.
Benar saja, keesokan harinya, meski saya duduk di barisan pertama, mengangkat tangan tinggi-tinggi, dan berkali-kali bertatapan dengan staf humas yang mengatur alur tanya-jawab, saya tidak ditunjuk. Nama, wajah, dan asal media wartawan yang ditunjuk sudah diketahui staf. Mayoritas yang dipilih adalah media lokal. Pertanyaan yang diajukan pun hanya boleh satu per orang, tidak boleh nambah.
Sekilas, saya jadi rindu kebiasaan meliput di Tanah Air, yang meski tak sempurna, masih lebih leluasa. ”Kalau ini terjadi di negara saya, wartawan bakal turun ke jalan untuk protes,” celetuk seorang jurnalis asing yang bernasib sama dengan saya.
Bisa fleksibel
Lepas dari bermacam aturan itu, para anggota staf CIPCC berusaha keras memenuhi tuntutan peserta. Wawancara terbatas dengan pejabat lain, misalnya, dijadwalkan untuk wartawan yang butuh sesi ekstra, setelah gagal bertanya di konpers.
Saya sendiri mendapat kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, sehari setelah konpers Menlu China, ke seorang deputi NPC yang mengurus isu Taiwan. Tentu, pertanyaan tetap harus dikumpulkan sehari sebelumnya. Ada yang dikirimkan lewat anggota staf CIPCC, ada pula yang secara daring melalui sistem khusus.
Meski demikian, tidak semua prosedur meliput seketat itu. Dalam beberapa kesempatan yang tidak melibatkan pejabat tinggi, aturan bertanya lebih fleksibel.
Dalam beberapa kesempatan yang tidak melibatkan pejabat tinggi, aturan bertanya lebih fleksibel.
Misalnya, saat konpers pejabat dari Kemenlu China terkait peran China dalam mendamaikan relasi Iran-Arab Saudi. Meski tidak mengirim pertanyaan sebelumnya, saya masih bisa bertanya mendadak di tempat. Atau, saat sesi dialog dengan para pemimpin Sekolah Partai Pusat Partai Komunis China, wartawan diberi kesempatan untuk bertanya on the spot.
Sesi kelas juga berlangsung hidup, di mana peserta bisa menanyakan isu sensitif. Tentu, ada beberapa pakar yang memilih tidak dikutip dalam pemberitaan agar bisa lebih bebas saat menjawab. Tetapi, secara umum, kesempatan berdiskusi dan berdebat tetap terbuka. Kami juga bisa bertukar akun Wechat dan mengajukan pertanyaan lewat pesan singkat, seperti di Indonesia.
Kesan yang muncul dalam waktu singkat ini, pers di China memang tidak benar-benar bebas, tetapi juga tidak terkungkung total. Media China, yang semuanya milik negara, tidak selalu menjadi corong pemerintah. Dalam beberapa kasus besar, seperti saat kontroversi restriksi pandemi memuncak tahun lalu, media tetap menyuarakan kritik, meski harus secara halus dan ekstra hati-hati.
Wartawan lain juga menangkap kesan itu. ”Menurut saya, kebebasan pers tetap ada di China sesuai aturan yang berlaku di sini. Masih banyak anak muda terjun ke media. Ini pertanda baik, karena kalau sama sekali tidak ada kebebasan pers, apakah mereka masih mau jadi wartawan?” ujar jurnalis Sri Lanka, Navodhya Pawani.
Tentu, masih banyak kritik penting yang perlu diangkat tentang jurnalisme di China. Butuh waktu lebih lama pula untuk meliput di China demi bisa benar-benar mengalami dan memahami derajat kebebasan pers di sana. Satu hal yang jelas, untuk saat ini, China ternyata sukses bikin saya kangen dengan doorstop.