Pasar barter Wulandoni di Lembata, NTT, sudah eksis sejak 1837. Keunikannya, tiupan peluit panjang yang menandai dimulainya tukar-menukar barang. Pecah ban dan pegal badan tak dirasa setelah menyambangi pasar ini.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Pengunjung berdatangan ke pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/1/2023). Proses barter dimulai setelah terdengar peluit panjang dari mandor atau petugas pasar. Waktu dimulainya pasar sekitar pukul 09.30 Wita.
Waktu belum menunjukkan pukul 06.00 Wita saat saya bersama Ricko Wawo menembus batas kota Lewoloba dengan sepeda motor, Sabtu (28/1/2023) pagi. Kami bergerak ke arah selatan, menjauhi ibu kota Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, itu.
Saat berangkat, kami belum sempat sarapan karena makanan di hotel baru siap sekitar pukul 07.00. Berharap bertemu jajanan kue atau nasi kuning di pinggir jalan, tetapi tiada kami dapati. Pintu rumah penduduk dan warung pun sepanjang jalan masih tertutup.
Di Desa Wulandoni yang berjarak lebih kurang 40 kilometer dari Lewoloba itu, pada setiap hari Sabtu berlangsung pasar barter yang kabarnya sudah ada sejak tahun 1837. Menariknya, tukar-menukar barang akan dimulai setelah peluit panjang berbunyi.
Dalam bayangan saya, peluit panjang menjadi titik awal cerita yang akan saya tulis nanti. Dari penjelasan Ricko mengenai tata letak pasar barter, saya sudah merancang posisi pengambilan gambar dan video pada saat peluit dibunyikan. Momen itu harus saya dapat.
Ricko sehari-hari bertugas sebagai wartawan Pos Kupang, media berbasis di NTT yang juga bagian dari grup Kompas Gramedia. Sudah lima tahun ia bertugas di Lembata sehingga cukup memahami daerah itu, termasuk menghafal rute jalan strategis.
Hasil laut yang ditawarkan di pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/1/2023). Jumlah pengunjung pasar itu mencapai 300 orang.
Ia menyarankan kami berangkat ke Wulandoni lebih pagi lantaran ada penggal jalan yang kondisinya bakal menghambat laju sepeda motor. Setelah melewati 28 kilometer jalanan mulus, kami akan disambut jalanan rusak parah sejauh 12 kilometer. Kecepatan tidak bisa lebih dari 20 kilometer per jam.
Pada beberapa ruas tanjakan tajam dan turunan curam, berjejer jalanan berlubang hingga kedalaman 1,5 meter dengan batu-batu lepas berhamburan. ”Kalau musim hujan, jalur ini disebut jalur neraka,” kata Ricko sambil menahan setang motor.
Saya lalu membayangkan jika ada pasien gawat darurat yang harus dibawa ke Lewoleba, penderitaannya pastilah berlipat ganda. ”Pokoknya keluarga pasien kuat doa saja. Banyak pasien yang meninggal di tengah jalan,” ujarnya lagi.
Matahari semakin tinggi pertanda sebentar lagi pasar barter segera dimulai. Saya kian gelisah, jangan-jangan saya tidak akan mendapat momentum peluit panjang itu. Kepada Ricko, saya beberapa kali menanyakan berapa lama lagi kami akan tiba di pasar.
Menjelang 3 kilometer mencapai pasar, kami mendapati sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut beberapa perempuan beserta barang bawaan mereka, seperti pisang, ubi, jagung, dan buah-buahan. Melihat itu, Ricko pun bereaksi.
Hasil kebun menanti ditukar dengan hasil laut di pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/1/2023). Sebelum ditukar, nilai barang ditakar untuk mendapatkan titik temu.
”Pasar belum mulai. Lihat itu orang-orang dari gunung yang bawa hasil kebun untuk ditukar di pasar. Kalau mereka belum tiba, pasar belum bisa mulai,” penjelasan Ricko membuat saya lega.
Menjelang pukul 08.00 kami tiba di pasar barter Wulandoni. Satu per satu pengunjung berdatangan. Pengunjung dari gunung membawa hasil kebun, sedangkan mereka yang dari pesisir membawa hasil laut. Pasar barter bak belanga yang mempertemukan hasil kebun dan hasil laut.
Para pedagang menggelar barang dagangan di tempat yang terbuat dari beton berbentuk lingkaran. Satu pedagang berhak mengisi satu tempat yang berdiameter sekitar 1 meter tersebut. Jarak antartempat sekitar satu langkah kaki.
Pasar barter juga menjadi titik simpul yang mengeratkan tali persaudaraan antar-pengunjung. Mereka yang datang dari pesisir didominasi umat Islam, sedangkan yang dari gunung mayoritas penganut Katolik.
Lebih dari 200 orang sudah memenuhi pasar itu. Mereka berasal dari belasan kampung yang tersebar di empat kecamatan di sisi selatan Pulau Lembata. Seminggu sekali mereka bertemu di pasar itu.
Pasar barter juga menjadi titik simpul yang mengeratkan tali persaudaraan antar-pengunjung. Mereka yang datang dari pesisir didominasi umat Islam, sedangkan yang dari gunung mayoritas penganut Katolik. Mereka sudah saling mengenal.
Warga daerah pesisir yang kebanyakan beragama Islam datang membawa hasil laut, sedangkan warga yang tinggal di pegunungan mayoritas beragama Katolik. Mereka datang membawa hasil kebun untuk ditukar di pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/1/2023).
Berdasarkan penuturan warga setempat, pasar barter yang sudah ada sejak tahun 1837 itu diawali dengan pertemuan antara orang gunung dan orang pesisir. Semula hanya satu-dua keluarga, lama-lama melibatkan warga dari sejumlah kampung.
Dulu, pasar barter digelar setiap hari Jumat, namun kemudian digeser ke Sabtu sebagai penghargaan terhadap umat Islam yang melaksanakan shalat Jumat.
Sekitar pukul 08.30, muncul seorang pria lanjut usia yang kemudian diketahui bernama Kosmas Dua. Usianya 64 tahun. Ia dijuluki mandor atau petugas peniup peluit. Ia lalu memantau setiap sudut pasar untuk memastikan pedagang dari gunung dan pantai sudah tiba.
Selanjutnya, Kosmas yang didampingi seorang perempuan berpakaian hansip memungut retribusi dari semua pedagang. Retribusi tidak berupa uang, melainkan barang jualan yang tidak dipatok jumlah ataupun ukurannya. ”Seikhlasnya mereka. Berapa pun kami terima,” ujar Kosmas.
Kosmas kemudian kembali ke tengah pasar. Ia menyapu pandangan ke sekeliling. Tampak setiap pedagang telah siap siaga menunggu aba-aba darinya. Saya juga standby di samping Kosmas dengan kamera video serta foto yang menyorot ke wajahnya.
Mandor, sebutan bagi petugas pasar, meniup peluit sebagai tanda dimulainya proses tukar-menukar barang di pasar barter Desa Wulandoni, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu (28/1/2023). Menurut sejarah lokal, pasar barter itu sudah ada sejak 1837.
Sekitar pukul 09.00, ia mengeluarkan peluit dari saku dan meniupnya tidak sampai lima detik. Bunyi peluit bak tiupan wasit sepak bola yang menandakan kick-off pertandingan. Momen yang saya kejar sejak pagi tadi berhasil terekam dengan sempurna.
Bagi saya, momen itu memberi nyawa pada tulisan yang akan saya garap. Bunyi peluit, ekspresi wajah pengunjung, dan suasana dimulainya tukar-menukar akan menjadi drama paling menarik. Emosi pasar barter yang sudah berusia 187 tahun itu pun berhasil saya tangkap.
Kendati saat perjalanan pulang ban motor kami pecah di tanjakan akibat kondisi jalan yang rusak berat, saya merasa sangat puas dengan liputan kali ini. Namun, sekarang giliran memikirkan cara pulang. Jarak dengan kampung terdekat masih sekitar 6 kilometer lagi. Untunglah, berkat bantuan warga setempat, kami bisa tiba di bengkel yang ada di Kampung Boto.
Liputan mengejar peluit pasar barter dengan segala drama sepanjang perjalanan pergi dan pulang menunjukkan betapa lapangan menjadi kekuatan dalam menghasilkan sebuah karya jurnalistik yang bernyawa.
Meski harus menunggu perbaikan ban motor, saya tidak merasa kecewa. Justru menikmati karena sembari menunggu saya bisa mendapat bahan liputan menarik tentang potensi kemiri di Boto.
Tulisan saya tentang kemiri yang menjadi tabungan kekal masyarakat Boto itu menghiasi halaman depan Kompas seminggu kemudian. Tulisan itu melengkapi tulisan tentang pasar barter yang terbit beberapa hari sebelumnya.
Liputan mengejar peluit pasar barter dengan segala drama sepanjang perjalanan pergi dan pulang menunjukkan betapa lapangan menjadi kekuatan dalam menghasilkan sebuah karya jurnalistik yang bernyawa. Datang, lihat, rasakan, lalu beri makna.
KOMPAS
Pasar barter Wulandoni di Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur.