Sebuah foto tentang tempat wisata di sebuah dusun tidak terkenal di Jawa Tengah memenangi penghargaan emas. Warna pelangi yang menyimbolkan harapan membuat foto itu terlihat fotogenik dan berhasil mencuri perhatian juri.
Oleh
RADITYA MAHENDRA YASA
·4 menit baca
Harian Kompas mendapat tujuh penghargaan Gold Winner dalam Indonesia Print Media Awards (IPMA) tahun 2022 dari Serikat Perusahaan Pers. Penghargaan diperoleh, antara lain, dari kategori Surat Kabar Harian Nasional Terbaik, Infografis Terbaik, Laporan Investigasi Surat Kabar Terbaik, Editorial Surat Kabar Terbaik, dan General News Online Terbaik untuk Kompas.id.
Dua penghargaan lainnya dari kategori Fotografi Traveling Terbaik dan Fotografi Olahraga Terbaik. Masing-masing berjudul ”Tempat Wisata Jelang Libur Akhir Tahun” dan ”Semangat Kebangkitan Manusia Laba-laba”.
Penghargaan diterima oleh Redaktur Pelaksana Harian Kompas Adi Prinantyo di Jogja National Museum, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (29/3/2022) malam.
Kabar kemenangan dari Kota Yogyakarta itu bagi saya pribadi sangat menggembirakan sekaligus mengejutkan karena keikutsertaan foto itu hasil dari kurasi editor foto dan bukan dari kiriman saya pribadi.
Foto itu diperoleh pada Desember 2021 ketika diberlakukan pelonggaran pembatasan sosial di tengah pandemi Covid-19. Visualnya menampilkan pengunjung yang tengah menikmati bermain seluncuran di Dusun Semilir, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Foto ini menunjukkan aktivitas wisata yang kembali bergeliat setelah lama terhenti akibat pandemi. Kegembiraan dapat kembali mengunjungi tempat-tempat wisata dan antusiasme pengunjung saat itu terlihat menarik untuk dijadikan materi berita foto karena menggambarkan fenomena wisata yang kembali ramai di tengah kondisi normal baru dengan adanya penerapan protokol kesehatan. Sektor wisata dan usaha kecil menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh pandemi.
Dari segi teknik fotografi, foto itu effortless alias tidak perlu usaha keras tetapi hasilnya menurut saya cukup mencuri perhatian. Ini berkat warna pelangi pada wahana wisata tersebut yang menciptakan visual fotogenik. Proses memotret pun relatif lancar.
Kendala yang muncul pada waktu itu justru soal keterbatasan lensa untuk menghasilkan foto yang lebih dekat. Kebetulan saat itu saya hanya membawa lensa 24-70 milimeter yang biasa digunakan untuk pemotretan sudut lebar.
Kondisi itu membuat lensa tidak bisa menjangkau obyek jauh sehingga saya harus memilih-milih target gambar demi menyesuaikan dengan lensa yang ada.
Salah satu dari serangkaian foto yang dihasilkan lewat pemotretan ini kemudian dipilih editor menjadi foto utama di halaman depan harian Kompas edisi 12 Desember 2021.
Sebelum pemuatannya, salah satu editor Desk Foto Kompas, Yuniadhi Agung, sempat menanyakan apakah ada foto lain dengan obyek yang sama, tetapi gambarnya lebih dekat. Tak lama, dia mengirimkan pesan singkat berisi salah satu foto saya yang telah dipotong untuk menggambarkan seberapa dekat yang dia maksudkan.
Diskusi semacam ini sering terjadi di kantor kami dalam proses memilih foto-foto yang akan ditayangkan. Terutama dalam menentukan bagian mana yang akan dipotong.
”Kalau saya cropping begini bagaimana menurutmu, masuk atau tidak?” tanya Yuniadhi. Akhirnya kami pun bersepakat bahwa pemotongan foto menjadi jalan terbaik untuk menguatkan visual yang ingin dihasilkan.
Bagi sebagian pewarta foto, barangkali teknik pemotongan ini menjadi pilihan terakhir. Kebanyakan akan menghidari cropping atau memotong foto karena berpotensi menghilangkan elemen penting yang secara sengaja dimasukkan ke dalam visual foto.
Dalam kasus ini, bagi saya pribadi, cropping tidak bisa dihindari karena keterbatasan lensa yang saya gunakan membuat foto-foto yang saya hasilkan tidak banyak menawarkan variasi gambar.
Memang idealnya tugas pewarta foto adalah mengaplikasikan metode terbaik dalam memotret untuk menggambarkan suasana secara utuh dan detail dari berbagai sudut pandang, selain pintar-pintar memanfaatkan momentum untuk menghasilkan foto terbaik. Namun, kondisi di lapangan terkadang berkata lain.
Kemenangan editor
Menghasilkan karya foto jurnalistik sebaik-baiknya kemudian menjadi kepuasan yang tak tergantikan oleh materi, apalagi jika foto tersebut terpilih menghiasi halaman sampul surat kabar.
Kemenangan di ajang kompetisi kali ini, bagi saya, bukan sekadar usaha fotografer saja, melainkan juga hasil kejelian editor foto. Kecermatan editor dalam memilih foto yang akan diikutkan dalam ajang lomba bergengsi, baik tingkat nasional maupun internasional, sangat berperan. Dalam hal ini untuk mengikuti IPMA 2022.
Selain dari sisi visual, alasan pemilihan biasanya juga atas pertimbangan soal kesesuaian antara isu yang diangkat foto dengan isu yang diusung lomba.
Bagi saya pribadi, kemenangan foto wisata seluncuran ini benar-benar di luar dugaan karena lokasinya bukan merupakan destinasi utama wisata, seperti Bali, Pulau Komodo, Borobudur, dan lainnya.
Keunggulan foto ini, kalau boleh menebak-nebak, barangkali karena berhasil menyimbolkan geliat, kegembiraan, dan harapan melalui warna pelangi wahana wisata.
Soal kurasi foto oleh editor ini mengingatkan saya pada pengalaman tahun 2012. Pada saat itu, almarhum Julian Sihombing yang menjadi wakil kepala Desk Foto mengajukan karya foto saya di kompetisi Asosiasi Surat Kabar dan Penerbitan Berita Dunia (WAN-IFRA) 2012.
Foto itu menampilkan dua atlet renang berkebutuhan khusus yang saling membantu sebelum berlomba di ajang ASEAN Para Games VI/2011. Foto tersebut berhasil menggondol medali emas. Lagi-lagi ini peran kejelian editor dalam mengurasi foto.
Bagi saya, ketika karya foto kita memenangi sebuah ajang kompetisi, sesungguhnya itu semacam bonus atau wujud apresiasi yang harus disyukuri. Pada akhirnya, tugas utama kami para fotografer adalah melahirkan karya.