Menjadi ”Anjing Penjaga” di Tengah Pusaran Politik
Setidaknya, ”gonggongan” selama lebih dari enam bulan ini berhasil menjadi pengingat bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu agar dapat menyelenggarakan pilkada secara lebih matang dibandingkan biasanya.
Serangkaian liputan Pemilihan Kepala Daerah 2020 mengingatkan penulis pada tugas jurnalis sebagai ”anjing penjaga”. Jika melihat ada ketidakberesan dalam pengambilan sebuah kebijakan, jurnalis wajib mengkritisinya. Harapannya, kebijakan yang muncul tetap berorientasi pada kebaikan bersama.
”Sekarang mau pilih penyakit atau pilih pemimpin? Enggak usah buru-burulah kayak gini-gini, malah bikin rumit. Covid masih tinggi,” ujar Achmad Yurianto saat masih menjabat juru bicara Gugus Tugas Penanganan Covid-19, pertengahan Mei 2020.
Begitu jawaban Yuri saat saya melontarkan satu pertanyaan kunci, apa dampak terburuk jika Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tetap dilanjutkan di 270 daerah saat kasus Covid-19 melonjak di Indonesia. Meski hanya mengobrol singkat melalui sambungan telepon, saya bisa membayangkan kegeramannya saat itu.
Pertanyaan itu saya ajukan karena ada gelagat pemerintah dan DPR ingin tetap Pilkada 2020 digelar pada Desember 2020 di tengah pandemi yang masih mengintai.
Sampai pertengahan September 2020, desakan penundaan pilkada semakin kuat.
Tak cukup kepada Yuri, saya juga minta tanggapan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai garda terdepan melawan pandemi. Secara garis besar, perwakilan IDI yang saya hubungi juga menyarankan penundaan pilkada.
Alasannya, Jakarta yang memiliki layanan rumah sakit dan tenaga kesehatan saja sudah kewalahan. Situasi bakal lebih mengkhawatirkan jika penularan meluas ke daerah-daerah yang semula minim kasus, cuma gara-gara penyelenggaraan pilkada.
Sampai pertengahan September 2020, desakan penundaan pilkada semakin kuat. Bukan hanya disuarakan oleh sebagian besar masyarakat sipil, tetapi juga oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla turut menyuarakan penundaan tersebut.
Baca juga : Yang Saya Petik dari Papua
Peringatan diabaikan
Namun, kesepakatan politik berbicara lain. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu, dalam rapat kerja 21 September 2020, memutuskan Pilkada 2020 tetap digelar pada 9 Desember 2020.
Selama empat jam saya mengikuti rapat itu, boro-boro ada paparan data tentang penularan Covid-19. Desakan publik soal penundaan pilkada pun sama sekali tidak dibahas.
Kesepakatan politik tersebut tentu sangat ironis. Sebab, di waktu yang sama, semua kegiatan masyarakat sedang dibatasi: siswa tidak bisa belajar di sekolah, kerja harus dari rumah, hingga konser yang harus daring. Namun, pilkada tetap bisa tancap gas.
Sehari setelahnya, Kompas menerbitkan tulisan berita utama (headline) berjudul ”Suara Publik Diabaikan”. Saya ingat betul, beberapa hari setelah tulisan itu keluar, Doni Monardo yang kala itu menjabat Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19, mulai diundang dalam rapat-rapat di DPR serta Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Dalam rapat-rapat tersebut, data jumlah kasus harian dan proyeksi situasi beberapa bulan ke depan mulai didiskusikan.
Seiring dengan itu, Kompas terus mengingatkan pentingnya pengetatan protokol kesehatan dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada. Ini penting karena pemerintah, DPR, penyelenggara pemilu, serta Gugus Tugas Penanganan Covid-19 tengah menggodok aturan mengenai pelaksanaan pilkada dalam kondisi pandemi.
Namun, yang terjadi di lapangan memang sulit diprediksi. Yang dikhawatirkan publik benar-benar terjadi. Pada tahapan awal Pilkada 2020, banyak pasangan calon yang tidak mematuhi protokol kesehatan.
Baca juga : Kabut Pagi di Punthuk Setumbu
Pada hari pertama pendaftaran pasangan calon, misalnya, pengerahan massa terjadi di 141 daerah. Berlanjut, di hari kedua, pengerahan massa ditemukan di 102 daerah.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) saat itu mencatat, setidaknya 16 bakal calon kepala daerah terindikasi positif Covid-19. Kompas pun mengeluarkan tulisan yang berisi pentingnya ketegasan dan sanksi bagi mereka yang melanggar aturan protokol kesehatan.
Selang sehari, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegur 51 kepala daerah petahana yang tak patuh protokol kesehatan. Tito tak bisa menegur di luar petahana karena menurut undang-undang tidak masuk ranah kewenangannya.
Di bulan-bulan itu, saya membuat tulisan agak panjang berjudul ”Pilkada 2020, Covid-19, dan Pertaruhan Memori Kolektif”. Saya tuangkan kegelisahan saya di atas ke dalam tulisan. Saya juga mengingatkan kembali pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu pada memori kelam Pemilu 2019.
Pemilu 2019 yang semestinya menjadi pesta demokrasi justru memakan korban jiwa banyak sekali. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, lebih dari 400 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal akibat kombinasi ”mematikan” berupa kelelahan dan penyakit penyerta.
Itu bukan sekadar angka, melainkan nyawa manusia. Oleh karena itu, jika pemerintah tetap ingin melanjutkan pilkada dan tak ingin pengalaman Pemilu 2019 terulang, pengetatan protokol kesehatan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Tulisan tersebut kemudian saya kirimkan ke kompetisi Excellence in Election Reporting in Southeast Asia (Excel Award) 2021. Beberapa minggu setelahnya, datang kabar tulisan saya menjadi pemenang kedua untuk kategori feature. Alhamdulillah.
Baca juga : Emosi Publik Bulu Tangkis yang Tak Lagi Sehangat Dulu
Pembelajaran
Dalam sebuah kesempatan, Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas Antony Lee mengatakan, Pilkada 2020 berhasil terselenggara, dengan indikator partisipasi hampir 76,09 persen dan tidak terjadi kluster Covid-19, sedikit banyak karena Kompas berkali-kali mengingatkan para pemangku kepentingan akan bahaya pandemi.
Hasilnya, pengawasan menjadi lebih baik, aturan pun menjadi lebih ketat, bahkan muncul instruksi Mendagri yang memuat teguran kepada beberapa kepala daerah petahana pelanggar protokol kesehatan.
”Kita bukan terlalu membesar-besarkan masalah, bukan begitu. Justru, karena kita ingatin terus, makanya semua proses berjalan lebih ketat. Kalau kita lepaskan, tidak ada isu penundaan, bukan tidak mungkin hal berbeda yang akan terjadi,” ujar Antony.
Saya pikir, ada benarnya juga. Toh, tugas saya sebagai wartawan, salah satunya, berperan sebagai anjing penjaga atau pengawas pemerintahan demi kepentingan publik.
Setidaknya, ”gonggongan” selama lebih dari enam bulan ini berhasil menjadi pengingat bagi pemerintah dan penyelenggara pemilu agar menyelenggarakan pilkada lebih matang dibandingkan biasanya.
Bisa dibilang Indonesia beruntung karena saat penyelenggaraan rangkaian Pilkada 2020, varian Delta virus penyebab Covid-19 belum masuk. Apalagi kalau kemudian masuk varian baru Delta Plus yang belakangan ramai diperbincangkan di tengah masyarakat.
Baca juga : Begini Rasanya Jadi ”Debt Collector”
Untuk itu, pengetatan protokol kesehatan tentu tidak boleh sampai dilupakan dalam penyelenggaraan pemilu selanjutnya, yakni Pemilu 2024.
Apalagi, tantangannya akan lebih kompleks. Sebab, pemilu nanti merupakan penggabungan situasi antara Pemilu 2019 (pemilu lima kotak suara) dan Pilkada 2020 (penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi).
Berbagai tahapan perlu diantisipasi agar tidak menjadi kluster penyebaran virus baru. Jika perlu, untuk tahapan kampanye, semua peserta harus didorong untuk berinovasi menggunakan media daring.
Ini penting karena data Pilkada 2020 menunjukkan, metode kampanye tatap muka masih menjadi primadona. Selain itu, sanksi bagi pelanggar tentu harus diatur lebih tegas.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, khususnya oleh pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu. Dengan waktu yang masih cukup panjang, diharapkan Pemilu 2024 dapat dipersiapkan secara lebih matang, demokratis, serta terjamin dalam hal keamanan, kesehatan, dan kepercayaan para pemilih. Semoga....