Suatu Hari Bersama Yayuk Basuki...
Meski tidak sempat menjuarai turnamen Grand Slam seperti Emma Raducanu, Yayuk Basuki (50) saat ini satu-satunya petenis Indonesia yang di masa tuanya mendapat uang pensiun dari WTA karena menjadi anggota "Eight Club".
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FFC-00924-X-34-MTF026_1632306308.jpg)
Pasangan ganda Indonesia, Suzanna Anggarkusuma dan Yayuk Basuki, pada pertandingan babak pertama turnamen seri Grand Slam Australia Terbuka di Stadion Flinders Park, Rabu (16/1/1991).
Meski tidak sempat menjuarai turnamen seri Grand Slam seperti petenis Inggris, Emma Raducanu, Yayuk Basuki (50) adalah satu-satunya petenis Indonesia yang mendapat uang pensiun dari Persatuan Tenis Putri Dunia (WTA). Lantaran Yayuk termasuk ”The Final Eight Club Members” seumur hidup.
Untuk menjadi ”member” Klub Delapan tidaklah mudah. Tidak setiap petenis dunia mendapatkan privilese seperti itu.
”Syaratnya, pernah masuk delapan besar (perempat final) turnamen Grand Slam, atau kalau untuk petenis ganda sekurangnya pernah sampai semifinal ganda Grand Slam. Selain itu, harus pernah bertahan di 40 besar dunia selama sedikitnya empat tahun,” kata Yayuk Basuki, dalam sebuah obrolan khusus dengan saya di sebuah mal di Jakarta Selatan, Jumat (17/9/2021) siang.
Saat itu, Yayuk bercerita panjang lebar. Mulai dari dana pensiun-nya berkat menjadi anggota ”Final Eight Club” WTA seumur hidup, kegirangannya akan kemunculan petenis muda seperti Emma Raducanu, harapan akan munculnya ”Raducanu-raducanu” Indonesia, hingga kegiatannya termutakhir.
Secara kebetulan, saya beruntung mengikuti kiprah tenis Yayuk Basuki, bahkan sejak petenis kelahiran Yogyakarta, 30 November 1970, ini masih usia sekolah dasar.
Saya pertama kali menulis berita Yayuk di harian Kompas edisi Kamis, 26 Agustus 1982, ketika Yayuk masih berusia 12 tahun. Memakai celana pendek laki-laki dan bukan rok seperti petenis yunior putri lainnya, Yayuk mengayunkan raketnya yang terkesan ”kegedean”.
Saat itu, di lapangan tenis Mugas, Semarang, Yayuk yang masih pelajar di SD Bhayangkara Yogyakarta menarik perhatian penonton turnamen tenis Green Sands Shandy. Ia berhasil merepotkan petenis-petenis seniornya, termasuk nyaris mengalahkan juara nasional Suzanna Anggarkusuma.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FFC-19900925-75-ADP073_1632306547.jpg)
Tim tenis Indonesia, Jumat (5/10/1990), kembali mempersembahkan medali emas dan perunggu Asian Games 1990. Dari kiri, Yayuk Basuki yang berpasangan dengan Suharyadi meraih medali emas, sedangkan Suzanna/Bonit Wiryawan meraih perunggu.
Juga ketika Yayuk pindah ke Jakarta dan menjadi siswa SMP-SMA Ragunan. Saya rutin meliput tenisnya, termasuk saat ia main di Piala Federasi (Kejuaraan Beregu Putri Tenis Dunia) di Atlanta, AS. Saya juga menonton langsung permainan Yayuk Basuki ketika bertanding di Australia Terbuka (1991) serta Perancis Terbuka (1992), Eastbourne Inggris (1992) dan Wimbledon (1992).
Di turnamen Grand Slam, prestasi tertinggi Yayuk mencapai babak perempat final atau delapan besar tunggal Wimbledon pada tahun 1997.
Kiprah ini mengingatkan akan Emma Raducanu. Dua bulan sebelum menjuarai AS Terbuka 2021, Raducanu tersingkir di 16 besar atau perdelapan final di Wimbledon 2021.
Baca juga: Duel Dua Keajaiban
Di Grand Slam AS Terbuka (1993), Yayuk bersama pasangan Jepang-nya, Nana Miyagi, pernah lolos semifinal partai ganda. Di partai tunggal, Yayuk bahkan sempat bertahan di peringkat 30 besar dunia dalam kurun lebih dari lima tahun. Maka prasyarat sebagai petenis The Final Eight Club Members dunia terpenuhi sudah oleh Yayuk.
Peringkat dunia terbaik Yayuk Basuki adalah ketika berhasil menembus peringkat 19 (WTA) pada 6 Oktober 1997. Namun, yang juga menjadi pertimbangan WTA memasukkan Yayuk ke dalam The Final Eight Club Members yang berlaku seumur hidup itu adalah konsistensinya.
Menurut Yayuk Basuki, ia memang konsisten berada di peringkat 21-26 dalam rentang waktu empat tahun 1994-1998. Konsisten berada di posisi ini sungguh tak mudah, lantaran Yayuk Basuki harus terus bertanding guna meraih poin baru agar peringkatnya tidak merosot. Ibaratnya, hidupnya dari turnamen ke turnamen.
”Pada tahun-tahun puncak itu, saya bahkan bisa bertanding di luar negeri selama 9-10 bulan. Kalau perlu enggak pulang..,” katanya.

Mantan petenis Yayuk Basuki saat berbincang dengan penulis, Jumat (17/9/2021).
Ia bahkan harus mengorbankan kesempatan, tidak ikut memperkuat tim Indonesia di pesta olahraga Asia Tenggara atau SEA Games karena harus melanglang buana.
Dalam pengembaraannya di turnamen-turnamen dunia, Yayuk waktu itu didampingi pelatih asal Ceko, Jiri Waters, selain sering ditemani Suharyadi, suaminya yang juga mantan petenis nomor satu Indonesia 1990-an.
Privilese atau hak khusus yang didapatkan Yayuk sebagai The Final Eight Club Members dari WTA sungguh tidak main-main. Salah satunya bebas menonton Grand Slam. Padahal, untuk mendapatkan tiket biasa nonton seri turnamen itu tidak mudah. Orang mesti pesan jauh-jauh hari melalui berbagai penjual tiket internasional.
Baca juga: Fenomena ”Burn Out” di Tenis Putri Dunia
”Apalagi sekarang. Munculnya dua petenis teenagers Emma Raducanu (18) dan Leylah Fernandez (19) pasti membuat lebih sulit lagi untuk mendapatkan tiketnya. Bisa-bisa setahun sebelumnya tiket sudah habis dipesan orang,” kata Yayuk pula.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FBW-09134-II-34-IDN020_1632303788.jpg)
Petenis Yayuk Basuki pada tahun 1999.
Dapat pensiun miliaran
Selain boleh menyaksikan turnamen seri Grand Slam, sebagai member Klub Delapan, Yayuk juga mendapat privilese khusus kumpul di klub itu dengan petenis-petenis dunia lain, termasuk ikut jamuan-jamuan di ruangan khusus untuk mereka. Dan, tentu saja mendapat fasilitas antar-jemput dari dan ke hotel tempat ia menginap selama menonton turnamen Grand Slam.
Setiap tahun Yayuk mengaku selalu dihubungi panitia penyelenggara Wimbledon ataupun AS Terbuka untuk memastikan apakah ia akan datang menonton atau tidak.
Sebagai petenis yang memiliki reputasi pernah di 20 besar dunia, Yayuk juga pernah diminta menjadi salah satu anggota komite pelatih internasional (Coach Commission) oleh Federasi Tenis Internasional (ITF) untuk mendampingi tim petenis Asia Afrika di bawah usia 16 tahun (2004-2006). Ini terjadi di era Menpora RI Adhyaksa Dault.
Baca juga: Menjaga Bintang Remaja di Jalur yang Tepat
Dana pensiun yang menjadi hak Yayuk Basuki dan saat ini masih dikelola WTA setidaknya berjumlah lebih dari 310.000 dollar AS atau Rp 4,4 miliar lebih. Jumlah itu sebenarnya berasal dari hadiah uang Yayuk sendiri ketika aktif bermain di berbagai turnamen.
Setiap kali penghasilan tahunan (yearly earning) akan dipotong 1 persen untuk dikelola sebagai dana pensiun oleh WTA. Pengelola keuangan WTA menginvestasikan dana tersebut ke berbagai instrumen investasi. Nantinya, saat Yayuk mencapai usia pensiun 55 tahun, WTA akan menerimakan uang itu secara bulanan.
”Sempat anjlok dana saya, sekitar 140.000 dollar AS saat terjadi peristiwa 9/11 tahun 2001,” tutur Yayuk.
Peristiwa 9/11 adalah serangan teror yang mengakibatkan runtuhnya Menara Kembar di New York akibat ditabrak dua pesawat yang dibajak.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2FFC-19930908-I-117-FRS062_1632303951.jpg)
Yayuk Basuki menunjukkan kartu keanggotaan Asosiasi Tenis Wanita (WTA). Ia berhak masuk The Club of Eight, sebuah keanggotaan eksklusif bagi petenis yang berhasil masuk perempat final di tunggal atau semifinal di ganda dalam salah satu dari empat turnamen Grand Slam.
Jumlah uang di kas WTA selalu dipantau Yayuk secara online melalui ponselnya. Tahun depan, Yayuk mengaku masih harus memperbarui rekeningnya itu saat berlangsung turnamen AS Terbuka.
”Sekalian nonton Grand Slam. Mumpung muncul petenis-petenis remaja yang hebat, seperti Emma Raducanu dan Leylah Fernandez,” katanya.
Di luar profesinya di tenis, Yayuk Basuki juga politisi parlemen yang pernah satu periode menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari sebuah partai.
Baca juga: Persembahan Rekor dari Emma Raducanu
Ia aktif di Komisi X yang membidangi olahraga, pendidikan, dan sejarah. Partner baiknya waktu itu anggota parlemen dari partai lain, tetapi sesama olahragawan, yakni Utut Adianto. Utut yang Grand Master catur Indonesia itu memang sudah lama terjun di politik.
Hanya sayang, ketika draf olahraga sudah matang disusun dan tinggal realisasi, Yayuk tak lolos pada periode kedua pemilu legislatif berikutnya.
”Saya menjual satu rumah yang saya peroleh dari main tenis. Sekarang malah hidup di rumah yang saya kredit,” kata Yayuk, menuturkan perjalanannya untuk merebut kursi di DPR.
Tetapi lumayan juga, dapat pensiun tidak penuh dari parlemen karena hanya satu periode. Kalau saja dua periode, ia memperoleh uang pensiun penuh.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F09%2F20190802DIT02_1632304231.jpg)
Yayuk Basuki saat bertugas sebagai anggota Komisi X DPR. Ia hadir dalam pembukaan Fasilitasi Sertifikasi Profesi Barista di Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (2/8/2019).
Aktivitas Yayuk saat ini juga masih seputar olahraga. Meski boleh dikata ia tanpa gaji, Yayuk Basuki adalah Wakil Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) yang membidangi Mobilisasi Sumber Daya untuk Kesejahteraan Pelaku Olahraga.
Sudah barang tentu, untuk Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua September-Oktober 2021 ini, Yayuk ikut dibuat sibuk bersiap ke Papua.
Tidak asal bum! bum!
Munculnya Emma Raducanu ditambah keberadaan finalis Leylah Fernandez (19) membuat Yayuk Basuki kembali bersemangat nonton tenis putri dunia. Raducanu yang masih berusia 18 tahun ini langsung menjuarai turnamen tenis seri Grand Slam AS Terbuka, meski harus merangkak dari babak kualifikasi.
”Tadinya sudah males. Melihat petenis-petenis putri semuanya seperti robot. Berotot, Bum! Bum! Pukulan keras.... Semata-mata mengandalkan power. Lihat (Aryna) Sabalenka, lihat (Maria) Sakkari. Padahal, tenis menurut saya bukan semata-mata ’power game’, tetapi 75-90 persen mental battle, pertarungan mental,” kata Yayuk Basuki.
”Yang saya suka dari Raducanu, anak ini 18 tahun, tapi isi kepalanya sangat mature, dewasa. Saya lihat dari cara dia bicara. Baik saat menghadapi media waktu press conference maupun usai bertanding ketika ditanya pewawancara di lapangan,” lanjut Yayuk.

Emma Raducanu (kiri) memeluk Leylah Fernandez setelah partai final berakhir. Raducanu tidak pernah kehilangan satu set pun selama menjalani turnamen AS Terbuka 2021, yang ia lakoni dari babak kualifikasi.
”Coba bandingkan dengan finalis yang cowok itu, malah kalah dewasa. Raducanu menunjukkan sikap respek kepada lawan, bahwa seorang Leylah Fernandez enggak pernah menyerah. Kualitas tenisnya bagus. Raducanu juga bilang, kami (Raducanu-Fernandez) akan lebih sering bertemu di banyak turnamen masa datang. Dia respek timnya, respek pelatih. Respek legend yang menginspirasinya, ’Saya ingin mengikuti foot step mereka’. Dia apresiasi penonton. Dari jawabannya, terlihat Emma ini educated. Bicaranya terstruktur. Saya kagum itu,” tambah Yayuk tentang Raducanu.
Melihat perkembangan tenis putri dunia sebelum ini, mula-mula Yayuk senang dengan kemunculan Venus Williams. Venus masih oke. Tetapi, lama-lama, kata Yayuk, membosankan karena tenis menjadi pertarungan kekuatan fisik atau kekuatan pukulan semata dan bukan keterampilan otak memainkan strategi, yang justru ditampilkan dua petenis remaja saat ini, Emma Raducanu dan Leylah Fernandez.
Selama ini menjadi semacam pola, bahwa petenis putri dicetak dengan sports science, termasuk pola dan porsi latihan fisiknya, sehingga menurut Yayuk, yang tercipta justru robot-robot petenis yang kurang alami, seperti Sabalenka, Sakkari, Pliskova, dan banyak lainnya yang sejenis.
Fenomena melejitnya petenis remaja Emma Raducanu dan Leylah Fernandez, sebagai juara dan runner-up AS Terbuka 2021, harapannya akan menginspirasi pula remaja-remaja kita untuk bermain tenis.
”Memang di AS Terbuka kali ini masih ada yang bisa dinikmati permainannya, seperti Belinda Bencic atau Asleigh Barty, meski chubby, tetapi permainannya bagus. Awal-awal Serena Williams dulu masih ada yang bisa ditonton permainannya karena masih ada Martina Hingis, Kim Clijsters, Justine Henin, Amelie Mauresmo. Semakin ke sini, semakin kayak robot,” kata Yayuk.
Belinda Bencic adalah juara Olimpide Tokyo 2020 yang dikalahkan Emma Raducanu di semifinal AS Terbuka. Sementara Asleigh Barty adalah juara Wimbledon 2021 yang dikalahkan Leylah Fernandez di AS Terbuka.
Fenomena melejitnya petenis remaja Emma Raducanu dan Leylah Fernandez, sebagai juara dan runner-up AS Terbuka 2021, harapannya akan menginspirasi remaja-remaja kita untuk bermain tenis.
Dalam istilah Yayuk, banyak di antara remaja kita saat ini lebih suka pencapaian yang serba instan, seperti ingin jadi Youtuber yang bisa instan terkenal dan cepat kaya.

Emma Raducanu mencium trofi AS Terbuka setelah mengalahkan Leylah Fernandez pada babak final. Berkat keberhasilannya menjuarai AS Terbuka, peringkat Raducanu, yang sebelum turnamen AS Terbuka berada pada 150 dunia, kemungkinan akan melonjak di posisi ke-24.
Tampilnya remaja kelahiran Toronto, Kanada, tetapi tinggal di Kent, Inggris, ini tentu akan menjadi daya tarik. Apalagi dengan keberhasilannya menjuarai Grand Slam AS Terbuka dengan catatan sejarah yang belum pernah dilakukan orang.
Emma Raducanu adalah orang pertama di dunia yang berhasil juara turnamen Grand Slam meski harus merangkak dari babak kualifikasi. Raducanu masuk AS Terbuka sebagai petenis peringkat ke-150 dunia. Kini peringkat ke-23 dunia setelah juara AS Terbuka.
Tenis tambang uang
Bagaimana jika dibandingkan dengan Youtuber? Jika bisa melejit seperti Emma Raducanu, tentu Youtuber-Youtuber itu terlewat jauh. Lihat saja apa yang diraih Raducanu dengan keberhasilannya menjuarai AS Terbuka. Berbagai surat kabar dunia, seperti The Guardian dan The Telegraph, memperkirakan dalam waktu dekat Emma Raducanu akan menjadi bilyuner.
Coba runut satu-satu perjalanan Raducanu yang baru terjun ke dunia tenis profesional pada 2018 ini. Memasuki turnamen AS Terbuka di Flushing Meadows akhir Agustus 2021, penghasilan petenis berdarah campuran Romania-China ini baru sebesar 303.376 dollar AS atau sekitar Rp 4,3 miliar. Jumlah ini ternyata hanya seperdelapan saja dari pendapatannya sebagai juara AS Terbuka sebesar 2,5 juta dollar AS atau senilai Rp 35,6 miliar.
Empat turnamen seri Grand Slam, yakni Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, dan AS Terbuka, menyediakan hadiah uang senilai triliunan rupiah. AS Terbuka, yang terbesar di antara empat turnamen itu, menyediakan hadiah total 57,5 juta dollar AS atau senilai hampir Rp 820 miliar!
Jangankan jadi juara. Kalah di babak pertama AS Terbuka, di deretan 128 pemain dunia saja, sudah dapat hadiah uang 75.000 dollar AS atau senilai semiliar rupiah lebih, atau tepatnya Rp 1.066.650.000.

Petenis Emma Raducanu berpose dengan trofi juara yang diraihnya setelah menundukkan Leylah Annie Fernandez dalam final AS Terbuka, Sabtu (11/9/2021).
Artinya, jika Anda sebagai petenis memiliki peringkat 100 dunia, tidak perlu melalui kualifikasi, Anda bisa langsung masuk main draw babak utama Grand Slam. Kalah menang di babak pertama Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, ataupun AS Terbuka sudah mengantongi semiliar rupiah!
Mengapa media Inggris meramalkan Emma Raducanu bakal melejit menjadi atlet terkaya dunia? Setelah juara di AS Terbuka, Raducanu juga tidak ketinggalan menyapa dalam bahasa China aksen Fujian, daerah asal ibunya.
Sapaan ucapan terima kasihnya langsung disambar media China, yang membangga-banggakan Raducanu. Juga dari ucapan bahasa Inggris-nya, terlihat bahwa Raducanu ini terpelajar, tertata kata-katanya. Ia mengapresiasi tim, lingkungan, bahkan juga lawan yang dikalahkannya, selain para penontonnya.
Raducanu kemudian langsung disambar manajemen top dunia, agen super dunia Max Eisenbud (49) dari IMG, yakni manajemen raksasa yang mengorbitkan petenis kaya raya, seperti Maria Sharapova yang menjadi juara termuda Wimbledon saat masih 17 tahun, maupun Naomi Osaka, juara Grand Slam yang kini 23 tahun.
Dalam sebuah jamuan makan malam usai bertanding, berbagai merek top dunia seperti Chanel, Aston Martin, dan Uniqlo mengontraknya senilai miliaran dollar!
Mau menjadi miliuner? Menjadi petenis dunia! Meski untuk sukses, menurut Yayuk Basuki, tidak bisa dicapai secara instan karena harus berlatih dan bertanding sejak usia dini.

Tenis tidak hanya olah fisik. Akan tetapi, jika sudah mencapai tahap bertanding di turnamen Grand Slam, tenis itu pertempuran mental, seperti kata Yayuk Basuki. Bisa juara Grand Slam? Dijamin cukup kuat mental untuk mendadak jadi kaya raya....
JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas 1975-2012