Mobil Listrik, dari Meragukan sampai Akhirnya Jatuh Cinta
Mendengar kata mobil listrik yang muncul di pikiran adalah ”bom bom car” atau mobil golf. Apa enaknya naik mobil tanpa sensasi suara knalpot dan bau asap pembakaran yang khas itu? Itu sebelum saya mengendarainya sendiri.
Mobil listrik adalah masa depan. Itu sebabnya, sejak awal Kompas menaruh perhatian penuh pada teknologi baru ini. Saat waktunya tiba mobil tanpa polusi ini menggantikan mobil konvensional berbahan bakar fosil, kita semua pun akan siap dan tak ketinggalan lagi.
Seperti semua orang yang belum pernah merasakan sendiri mengemudikan mobil listrik, pada awalnya yang ada hanyalah keraguan. Maklum, selama ini yang muncul di pikiran saat mendengar mobil listrik adalah mobil mainan anak-anak, mobil bom-bom car di taman hiburan, atau paling banter mobil golf.
Bayangan akan akselerasi yang lambat dan baterai yang tak bisa menempuh jarak yang jauh langsung muncul. Sebagai wartawan otomotif yang salah satu tugasnya menjajal mobil-mobil sport berperforma tinggi, saya sempat tak bisa membayangkan, bahkan setengahnya tak rela, apabila masa depan dunia otomotif diambil alih mobil listrik.
Apa enaknya mengemudikan mobil tanpa sensasi suara menderu dari knalpot dan tanpa aroma hasil pembakaran yang khas itu? Memang betul, udara akan lebih bersih dan lingkungan jadi lebih baik dengan mobil listrik, tetapi yang terbayang adalah masa depan yang membosankan. Apalagi, saat mobil listrik ini dipadukan dengan sistem swakemudi. Hilanglah sudah semua sensasi dunia otomotif!
Bahkan, saat BMW secara resmi meluncurkan BMW i8 pada 2016, mobil berteknologi plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) pertama di Indonesia yang bertampang mobil sport, keraguan itu masih tetap bercokol. Selain motor listrik, mobil sport itu hanya dibekali mesin bensin 3 silinder berkapasitas 1.5 liter. Tak mengesankan, pikir saya.
Sampai suatu hari di bulan Februari 2017, saya mewawancarai Presiden Direktur PT Mercedes-Benz Distribution Indonesia (MBDI) Roelof Lamberts, di kantornya di Bundaran HI, Jakarta Pusat. Saat obrolan masuk ke soal mobil listrik, dia tampak begitu bersemangat dan yakin mobil listrik adalah masa depan.
”Sudahkah Anda mencoba sendiri mobil listrik? Anda akan merasakan sensasi yang berbeda! Tidak ada suara berisik dan akselerasinya spontan. Anda akan menyukainya!” demikian katanya ketika itu.
Memang harus diakui, di lingkungan Kompas, saya terhitung ”terlambat” mencoba mobil listrik ini secara langsung. Beberapa teman sudah lebih dulu mencoba mobil-mobil listrik dalam beberapa kali kesempatan undangan uji kendara di luar negeri oleh sejumlah pabrikan mobil listrik.
Namun, sejak pertemuan dengan Roelof Lamberts itu, rasa penasaran saya makin memuncak untuk menguji coba sebuah mobil listrik. Sampai akhirnya kesempatan pertama itu datang pada Juli 2017.
Kesempatan pertama
Waktu itu, saya mendapat kesempatan mencoba dua mobil Toyota yang sudah menerapkan teknologi hybrid electric vehicle (HEV), yakni Toyota Alphard Hybrid dan Toyota Camry Hybrid. Sebagai catatan, Toyota adalah pabrikan pertama yang mengenalkan mobil berteknologi ini di Indonesia, yakni pada 2009 dengan peluncuran Toyota Prius generasi ketiga waktu itu. Pada tahun itu, saya belum mendapat tugas sebagai wartawan otomotif, jadi belum merasakan sendiri rasanya mengendarai Prius.
Beberapa tahun kemudian, Toyota memasukkan versi hybrid pada dua model massalnya, yakni Alphard dan Camry. Akhir Juli 2017, menjelang tengah malam seusai deadline berita harian, PR Department Manager PT Toyota-Astra Motor waktu itu, Rouli Sijabat, menjemput saya di kantor Kompas di Palmerah menggunakan Toyota Alphard Hybrid warna putih.
Karena ada dua mobil yang menurut rencana akan dicoba, saya tidak sendirian, tetapi bersama rekan saya, Stefanus Osa Triyatna. Mas Osa waktu itu kami jemput di tempat istirahat KM 19 dalam perjalanan uji coba ke Bandung.
Untuk pertama kalinya, saya merasakan sensasi mobil listrik pada mobil MPV mewah ini. Pada kecepatan di bawah 60 km per jam, mobil murni digerakkan oleh tenaga baterai. Terasa bagaimana mobil bergerak tanpa suara apa pun dan akselerasi juga terasa spontan begitu pedal gas diinjak. Memang, bagaimana pun ini adalah sebuah MPV berukuran besar yang tidak didesain untuk menjadi lincah dengan akselerasi galak.
Sudahkah Anda mencoba sendiri mobil listrik? Anda akan merasakan sensasi yang berbeda!
Di jalan tol, saat kecepatan terus kita tambah dan melewati 60 km per jam, mesin konvensional mobil pun aktif dengan sendirinya. Tenaga mesin tersalur ke roda depan, sekaligus menjadi generator untuk mengisi (cas) baterai pada mobil. Saat pedal gas dilepas atau mobil direm (deselerasi), sistem regenerative braking juga aktif untuk mengecas baterai.
”Cara kerjanya secara umum seperti dinamo lampu pada sepeda zaman dulu. Jadi, gerakan berputar roda dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik,” tutur Gandhi Ahimsaputra, Head of Product Knowledge Section PT TAM waktu itu. Semua alur energi itu bisa dipantau pada tampilan layar informasi mobil.
Sensasi mengemudikan mobil listrik itu semakin terasa pada keesokan harinya saat kami berpindah menggunakan Camry Hybrid. Bentuk mobil sedan yang lebih menyenangkan untuk dikendarai dan bobot yang lebih ringan dibanding Alphard membuat akselerasi elektrik mobil semakin bisa dinikmati.
Baca juga: Konsistensi Pelopor ”Hybrid” di Indonesia
Apalagi saat di tol Purbaleunyi dalam perjalanan pulang ke Jakarta, saya mencoba memasukkan tongkat persneling ke posisi B yang hanya ada di mobil-mobil hibrida Toyota. Dalam mode ini, regenerative braking bekerja maksimal sehingga muncul efek seperti pengereman mesin (engine brake).
Di turunan-turunan panjang Tol Purbaleunyi, kita cukup melepas pedal gas dan mobil terasa sudah mengerem dengan sendirinya. Pada saat bersamaan, pengisian ulang baterai berjalan lebih cepat, bahkan hingga kapasitas penuh. Efeknya, konsumsi bensin makin bisa ditekan karena mobil jadi lebih banyak digerakkan oleh baterai daripada oleh mesin konvensional.
Sesampai di Jakarta, pihak TAM meminjamkan Camry Hybrid itu untuk dipakai selama beberapa hari. Semakin terasa bagaimana teknologi hybrid ini begitu menyenangkan untuk dipakai sehari-hari. Dalam perjalanan di kompleks rumah, misalnya, yang bekerja murni tenaga baterai sehingga mobil bergerak tanpa suara. Itu membuat banyak orang bertanya heran.
Sejak pengalaman pertama bersama Toyota itu, saya sama sekali tak melewatkan setiap kesempatan menjajal mobil berteknologi elektrifikasi yang masuk ke pasar Indonesia.
Mobil sport listrik
Sebulan setelah perjalanan ke Bandung dengan Toyota hibrida itu, saya kembali mendapat kesempatan mencoba mobil berteknologi elektrifikasi. Kali ini, BMW Group Indonesia meminjamkan BMW i8, mobil sport berteknologi PHEV yang sudah diluncurkan sejak setahun sebelumnya.
Saya memang agak terlambat menjajal mobil ini karena sebelumnya rekan saya Heru Sri Kumoro dari Desk Foto sudah lebih dulu menjajal BMW i8 di Singapura pada Agustus 2016 dan laporannya juga sudah diturunkan lengkap. Saya akhirnya baru mencoba mobil ini di Indonesia dalam rangka menyusun tulisan tentang mobil-mobil listrik menjelang GIIAS 2017.
Inilah momen untuk menjawab keraguan saya sebelumnya, sekaligus mencoba teknologi baru PHEV. Berbeda dengan mobil-mobil HEV seperti yang dimiliki Toyota, mobil PHEV ini memungkinkan pengguna mengecas mobil dari sumber listrik di luar mobil. Jadi, kita bisa mengecas mobil dengan charger portabel bawaan mobil dengan mencolokkan ke stop kontak di mana saja.
Inilah teknologi jembatan, dari hybrid menuju pengalaman mobil listrik murni, di mana kita harus selalu mengecas baterai mobil kapan saja memungkinkan.
Setelah mencoba mengecas BMW i8 ini dengan stop kontak di pos satpam parkiran kantor, saya penasaran dengan kemampuan pengecasan menggunakan listrik rumah tangga biasa. Saya pun nekat membawa mobil sport eksotis ini pulang ke rumah.
Kontan saja, saat melewati pos satpam di kompleks rumah, tempat bapak-bapak tetangga tengah berkumpul, saya dihentikan oleh mereka. Tak lain dan tak bukan agar mereka bisa berfoto-foto di depan mobil yang seperti datang dari masa depan ini. Mereka pun menanyakan tentang teknologi yang dibawa i8 ini.
”Apa bisa dicas listriknya pakai colokan listrik biasa di rumah?” tanya seorang di antara mereka.
”Itu yang akan saya coba, Pak!” kata saya sambil tersenyum lebar dan penasaran.
Baca juga: Masa Depan Adalah Sekarang
Benar saja, begitu sampai di rumah, saya pun langsung menyiapkan charger portabel bawaan mobil dan mencolokkannya ke stop kontak di ruang tamu dekat garasi. Untuk berjaga-jaga, lampu-lampu rumah saya matikan. Maklum, waktu itu daya listrik di rumah masih 2.200 VA. Saya takut listrik anjlok tidak kuat untuk mengecas mobil listrik ini.
Semalam berlalu tanpa insiden apa pun. Namun, menjelang pagi, saat istri saya menyiapkan anak-anak untuk sekolah dan harus menyalakan pemanas air, penanak nasi, dan pompa air, terjadilah yang saya khawatirkan. Listrik anjlok!
Namun, paling tidak, uji coba itu telah membuktikan bahwa tak perlu infrastruktur listrik yang terlalu rumit untuk mengecas sebuah mobil listrik. Colokan biasa di rumah pun sudah cukup untuk mengecas mobil masa depan ini.
Dengan BMW i8 pula saya membuktikan omongan Roelof Lamberts. Bagaimana sebuah mobil listrik bisa sangat menyenangkan dan membawa sensasi sebuah mobil sport tulen walau hanya berbekal mesin bensin 3 silinder 1.500 cc. Itu karena pada akselerasi penuh, baik tenaga listrik dari baterai maupun dari mesin, bahu-membahu menggerakkan mobil menuju kecepatan maksimum.
Mercedes-Benz sendiri tak lama kemudian juga meminjamkan salah satu mobil berteknologi PHEV-nya. Mercedes-Benz C 350e itu diboyong khusus dari Malaysia untuk dipamerkan di GIIAS 2017 meski belum diluncurkan resmi di pasar Indonesia. Maklum, mobil-mobil Mercedes berteknologi PHEV ini sudah lebih dulu dipasarkan di negeri jiran itu.
Ini menjadi pengalaman pertama mencoba mobil PHEV yang menggunakan basis model produk massal Mercedes, yakni Mercedes-Benz C-Class. Selama tiga hari saya merasakan sensasi berkendara C-Class elektrifikasi ini di Jakarta dan sekitarnya, termasuk mencoba mengecasnya di rumah.
Pada Oktober 2017, satu lagi teknologi elektrifikasi mobil saya coba. Kali ini PT Nissan Motor Indonesia (NMI) yang mengajak untuk merasakan Nissan Note e-Power di sirkuit mini Bridgestone Proving Ground Indonesia di Karawang, Jawa Barat.
Teknologi Nissan e-Power sebenarnya sama dengan teknologi hibrida, hanya saja dia berasal dari tipe seri hibrida (series hybrid). Jadi, mobil masih membawa mesin pembakaran internal konvensional, tetapi tenaganya tidak langsung disalurkan ke roda. Alih-alih, mesin ini berperan sebagai generator untuk mengecas baterai. Listrik dari baterai itulah yang menggerakkan motor listrik untuk memutar roda.
Dengan e-Power ini, pengendara akan merasakan sensasi mengendarai mobil listrik murni karena seluruh tenaga yang tersalur adalah tenaga listrik.
Untuk merasakan sensasi dan kemampuannya, Nissan sengaja mengajak menjajal mobil hatchback mungil itu di sirkuit. Seperti pada pengujian-pengujian sebelumnya, akselerasi terasa spontan di trek lurus. Bahkan, di atas kertas, torsi puncak Note e-Power ini lebih besar dari Nissan X-Trail bermesin 2.500 cc!
Mengubah persepsi
Sampai di sini, beberapa pengujian langsung mobil elektrifikasi ini sudah mengubah persepsi saya terkait sensasi berkendara mobil listrik. Benar adanya bahwa akselerasi mobil listrik ini begitu ringan dan membuat pengalaman berkendaranya lebih menyenangkan daripada membawa mobil konvensional.
Baca juga: Masa Depan yang Kian Dekat
Ketiadaan bunyi mesin justru menjadi sensasi tersendiri karena bisa mengundang orang berdecak kagum dan heran. Selain kita juga bisa lebih menikmati sistem audio mobil atau pembicaraan dengan rekan semobil.
Namun, masih tersisa satu pertanyaan mengganjal, yakni terkait performa dan karakteristik kendaraan berteknologi listrik ini dalam perjalanan jarak jauh. Jarak tempuh mobil dengan listrik yang tersisa di baterai selalu menjadi salah satu pertanyaan yang diajukan.
Pertanyaan ini baru mulai terjawab pada Agustus 2019 ketika PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) mengajak mencoba teknologi HEV dan PHEV terbaru pada Toyota Prius generasi keempat. Dua mobil Prius, satu menggunakan teknologi HEV dan satu lagi mengusung teknologi PHEV, digunakan dalam perjalanan menuju Semarang dan Solo di Jawa Tengah.
Ini adalah perjalanan yang banyak membuka mata tentang performa sebuah mobil EV di trek jarak jauh. Yang pertama adalah pembuktian bahwa mobil hybrid (baik HEV maupun PHEV) tak menemukan kendala apa pun untuk perjalanan jarak jauh. Masih adanya mesin konvensional di dalam mobil menjamin perjalanan bisa dilakukan sejauh mungkin tanpa khawatir ada tidaknya infrastruktur pengecasan baterai mobil di jalan.
Baca juga: Menjajal Teknologi HEV dan PHEV di Medan Sesungguhnya
Pembuktian kedua adalah, walaupun mobil masih menggunakan mesin konvensional, sistem hibridanya membuat konsumsi bensin mobil sangat irit. Ini karena di perjalanan, mesin pembakaran internal ini tidak bekerja terus-menerus, tetapi bergantian dengan motor listrik. Konsumsi BBM pada perjalanan ini tercatat 25 km per liter untuk Prius PHEV dan sekitar 22 km per liter untuk Prius HEV. Sebuah angka yang sangat irit untuk mobil di kelas tersebut.
Selain itu, perjalanan ini makin membuka mata tentang cara penghitungan biaya pengecasan baterai menggunakan listrik PLN. Sederhananya, kita lihat saja berapa kapasitas baterai bawaan mobil dalam kWh (kilowatt-hour). Kemudian tinggal dikalikan dengan tarif listrik PLN yang saat ini berkisar Rp 1.400-1.500 per kWh.
Keyakinan akan kemampuan mobil hibrida di trek jarak jauh semakin tinggi saat membawa Mitsubishi Outlander PHEV dari Jakarta ke Magelang, Jawa Tengah, pada November 2019. Bahkan, saat itu Outlander PHEV juga membuktikan mampu menjadi mobil pemandu (lead car) Borobudur Marathon 2019 di nomor Full Marathon sejauh 42 kilometer tanpa sekalipun dinyalakan mesin konvensionalnya. Dalam mode berkendara EV Mode, Outlander PHEV bisa menempuh jarak hingga 50 km hanya dengan mengandalkan tenaga baterai.
Baca juga: Penuh Debar Mengemudikan ”Lead Car”
Pulang dari dua tes jarak jauh ini membuat saya akhirnya jatuh cinta pada mobil berteknologi EV. Sungguh tidak ada kesulitan berarti saat membawa mobil-mobil ini di jalur luar kota. Kalaupun kita ingin mengecas baterai mobil-mobil PHEV, tinggal cari sumber listrik dengan kapasitas tegangan yang cukup, seperti di hotel-hotel, lalu tinggal mencolokkan charger bawaan mobil ke stop kontak yang tersedia.
Kendalanya, paling kita harus meminta izin dan menjelaskan sedikit soal kebutuhan listrik mobil ini kepada petugas keamanan hotel. Maklum, ini teknologi baru yang belum dipahami semua orang. Jadi, kita harus mengambil waktu ekstra untuk menjelaskannya kepada khalayak awam.
Akan tetapi, dalam kondisi terdesak sekalipun, kita tidak mendapat izin untuk mengecas baterai, mobil tetap bisa digunakan untuk perjalanan jarak jauh ke mana pun kita ingin pergi dengan sensasi dan efisiensi yang sama.
Mobil listrik murni
Puas menjajal mobil hybrid, rasa penasaran kembali muncul akan pengalaman berkendara mobil listrik murni (battery electric vehicle/BEV). Karena pada BEV ini, tak ada lagi mesin bensin yang akan membantu saat listrik di baterai habis. Tenaga mobil murni mengandalkan listrik dari baterai.
Selain itu, hanya mobil listrik murni ini yang nantinya mendapat manfaat maksimal dari berbagai insentif yang diberikan pemerintah, seperti bebas bea balik nama dan bebas melintasi jalur ganjil-genap di Jakarta.
Baca juga: Memandu Lari Tanpa Polusi
Kesempatan menjajal sebuah BEV muncul pada akhir tahun 2019. Tidak tanggung-tanggung, Kompas langsung merasakan berkendara dengan BMW i3S. Ini adalah mobil listrik murni kebanggaan BMW. Huruf S di belakangnya menunjukkan mobil ini adalah varian sport dari BMW i3.
Seperti yang saya paparkan dalam laporan uji kendara BMW i3S ini, akselerasi ringan sebuah mobil listrik dibawa ke level yang lebih tinggi lagi. Bahkan, pada mode berkendara Comfort, tarikan mobil terasa begitu galak. Apalagi, pada mode Sport, yang membuat perilaku mobil kecil ini benar-benar bagaikan mobil sport.
Namun, menjajal BMW i3S ini masih dipenuhi berbagai kekhawatiran, terutama saat sisa listrik dalam baterai terus menipis. Setiap perjalanan harus diperhitungkan jarak dan kemungkinan kondisi lalu lintasnya, apakah macet atau tidak. Karena semua akan berpengaruh pada konsumsi listrik. Dan, sekali lagi, saat listrik habis di tengah jalan, tak ada yang bisa membantu mobil bergerak kembali kecuali dengan diderek.
Jujur, waktu itu saya belum berani membawa i3S terlalu jauh walau di atas kertas jarak tempuhnya dalam kondisi baterai penuh bisa mencapai 250 kilometer. Salah satu pertimbangannya adalah masih sangat langkanya infrastruktur SPKLU, apalagi di luar Jakarta. Selain itu, pengisian dengan charger bawaan mobil memakan waktu sangat lama.
Baca juga: Sensasi Listrik Murni BMW i3S
Kepercayaan diri untuk menjajal sebuah BEV untuk perjalanan luar kota baru didapat saat PT Hyundai Motor Indonesia (HMID) pada awal Agustus 2020 memperkenalkan Hyundai Ioniq. Mobil berbentuk sedan liftback ini menjadi mobil listrik pertama yang akan diluncurkan Hyundai ke pasar Indonesia.
Di atas kertas, jarak tempuh mobil pada kondisi baterai penuh adalah 373 km. Saya berpikir, jarak tempuh itu lebih dari cukup untuk dibawa ke Bandung yang hanya berjarak sekitar 150 km dari Jakarta. Bahkan, secara teori, cukup untuk dibawa pergi pulang. Paling tidak, mobil akan aman sampai ke Bandung dan di sana bisa dilakukan pengecasan lagi untuk persiapan perjalanan pulang.
Maka, tantangan pun saya lontarkan kepada General Manager PT HIMD Astrid Ariani Wijana untuk menguji mobil ini ke Bandung pergi pulang. Di luar dugaan, ternyata Astrid menerima tantangan itu dan mempersilakan Kompas menguji Hyundai Ioniq ini ke Bandung. Padahal, ini adalah momen uji kendara eksternal pertama mobil ini karena Kompas menjadi media pertama di Indonesia yang mendapat kesempatan uji kendara Ioniq.
Dalam perjalanan selama dua hari itu, terbuktilah bagaimana sebuah mobil listrik murni (BEV) ternyata aman digunakan untuk perjalanan ke luar kota. Di jalan, rasa berkendaranya tak jauh beda dengan mobil konvensional, bahkan akselerasi terasa lebih ringan, termasuk saat melibas tanjakan-tanjakan panjang di Tol Purbaleunyi.
Hilangnya sama sekali aroma pembakaran bensin dari knalpot (karena mobil ini bahkan tidak lagi dilengkapi knalpot), tidak mengurangi sensasi berkendara. Sensasi itu berganti dengan rasa gembira karena bisa berkendara tanpa mengeluarkan sedikit pun polusi gas beracun ke alam sekitar.
Baca juga: Gebrakan Elektrik Hyundai Ioniq
Mobil listrik murni seperti ini pun tak lagi membutuhkan perawatan rutin mesin seperti mobil biasa. Tak ada lagi kebutuhan ganti oli mesin, ganti oli transmisi, ganti filter oli, ganti filter udara, dan berbagai kebutuhan rutin terkait mesin lainnya. Termasuk tentu saja, tak ada lagi kebutuhan untuk beli bensin. Selamat tinggal antrean di SPBU!
Semua pengalaman ini, kembali membuka mata akan masa depan yang terbentang di balik eksistensi mobil listrik. Mimpi membuat mobil nasional, atau bagaimana Indonesia bisa ikut berperan dalam pengembangan mobil listrik dunia, menjadi terbuka lebar.
Pasalnya, hingga detik ini belum ada teknologi final pada mobil listrik. Berbagai peluang untuk meningkatkan kapasitas baterai, mencari material yang lebih baik untuk baterai, menambah efisiensi motor listrik, memperpanjang jarak tempuh mobil, menyediakan fasilitas charger yang lebih baik dan mudah, merancang sistem kontrol yang lebih baik, dan berbagai hal lainnya masih terbuka untuk diteliti dan ditingkatkan kualitasnya. Inilah peluang anak bangsa untuk turut berperan di dalamnya!
Saya pun berubah. Dari awalnya meragukan kemampuan mobil listrik, saya kini akhirnya malah jatuh cinta pada pengalaman mengendarainya serta luasnya masa depan yang dia janjikan…!