Beberapa Organisasi Pendidikan Mempertanyakan Transparansi Pembahasan RUU Sisdiknas
Revisi UU Sisdiknas sedang disiapkan pemerintah. Publik menuntut pembahasan yang transparan dan pelibatan beragam pemangku kepentingan pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diinisiasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi diminta untuk ditunda. Sejumlah kalangan menilai pembahasan RUU yang akan menjadi rujukan penting bagi pendidikan nasional tersebut dilakukan tergesa-gesa, tidak transparan, dan minim pelibatan publik.
Pernyataan keberatan dan desakan penundaan pembahasaan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), Rabu (23/2/2022), disampaikan Konsorsium Pendidikan Indonesia (KoPI) yang terdiri dari perkumpulan organisasi profesi, akademisi, dan organisasi kemasyarakatan yang peduli pendidikan, seperti Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia, Lembaga Pendidikan Ma’arif, Majelis Pendidikan Kristen, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, Perguruan Taman Siswa, Forum Komunikasi Penyelenggara Kursus dan Pelatihan, dan Perkumpulan Perguruan Tinggi Kependidikan Negeri. Selain itu, Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Publik juga menyerukan hal serupa, seperti Jaringan Pendidikan Alternatif, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik, Perkumpulan Homeschooler Indonesia, Sanggar Anak Akar, serta sejumlah akademisi perguruan tinggi, juga dari Yayasan Cahaya Guru (YCG).
Manajer Advokasi YCG Muhammad Mukhlisin mengatakan, YCG meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk mengulang dari awal proses penyiapan dan pembahasan RUU Sisdiknas dengan memegang asas keterbukaan, membuka ruang partisipasi masyarakat, taat prosedur, dan tidak tergesa-gesa mengingat pentingnya peraturan perundang-undangan ini. Selain itu, harus dipastikan pula keselarasan tujuan, fungsi, prinsip, dan pengaturannya.
”Masyarakat juga berhak menyampaikan argumen terkait arah kebijakan pendidikan ke depan. Pendidikan adalah kepentingan kita bersama, bukan monopoli pemerintah,” kata Mukhlisin.
UU Sisdiknas tidak boleh dibangun seolah-olah Indonesia adalah ruang kosong yang boleh didirikan bangunan apa saja di atasnya. Filsafat Pancasila yang sosialis harus menjadi landasan utama pemikiran yang dituangkan dalam setiap pasal dan ayat dalam UU Sisdiknas.
Secara terpisah, Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Nasional, Kemendikbudristek, Anindito Aditomo mengatakan, RUU Sisdiknas adalah salah satu RUU yang masuk Program Legislasi Nasional 2020-2024. RUU ini diarahkan menjadi UU pengganti dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Norma-norma pokok diintegrasikan ke dalam satu UU tersebut, sedangkan norma-norma turunannya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Menurut Anindito, prinsipnya, Undang-Undang Dasar memandatkan untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. ”Integrasi tiga UU yang sama-sama mengatur sistem pendidikan akan membuat tata kelolanya menjadi lebih harmonis,” ujar Anindito.
Saat ini, Indonesia memiliki tiga UU yang secara langsung mengatur sistem pendidikan nasional. Penyusunan RUU Sisdiknas dilakukan untuk menyelaraskan tata kelola sistem pendidikan nasional. Selain itu, penyusunan ini dilakukan untuk mendorong terjadinya pembaruan yang sejalan dengan perkembangan sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Secara lebih spesifik, terdapat empat hal pokok yang diformulasikan dalam draf RUU Sisdiknas, yaitu kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antardaerah dan inovasi, kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar, kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional, serta kebijakan peningkatan otonomi dan perbaikan tata kelola pendidikan tinggi.
”Ini baru tahap awal penyusunan. Posisinya sekarang adalah draf. Akan ada tahap draf dibuka untuk mendapat masukan publik secara luas serta tentu dibahas bersama DPR,” jelas Anindito.
Anindo menambahkan, pihaknya percaya bahwa pelibatan publik dalam perancangan kebijakan merupakan faktor penting kesuksesan pelaksanaan suatu kebijakan. Masyarakat adalah pihak yang sangat memahami kondisi nyata dan akan menghadapi dampak pelaksanaan suatu peraturan.
Sejak awal penyusunan RUU Sisdiknas, Kemendikbudristek telah merangkul berbagai pihak sebagai bagian keterlibatan publik demi mewujudkan keterbukaan informasi dan menampung aspirasi dan umpan balik yang konstruktif. Saat ini, RUU Sisdiknas dan naskah akademik yang mendasarinya masih berupa draf awal.
Untuk menjaring masukan terkait draf awal RUU dan naskah akademik tersebut, Kemendikbudristek sedang melalui tahap pembahasan Panitia Antar Kementerian. ”Kami juga telah melakukan empat diskusi kelompok terpumpun dengan mengundang pakar pendidikan dan pakar hukum dari berbagai perguruan tingg serta 42 organisasi mulai dari organisasi kemasyarakatan, seperti PP Muhammadiyah dan PBNU; organisasi profesi guru, seperti PGRI, FSGI, dan IGI; penyelenggara pendidikan, seperti Tamansiswa dan Yayasan Kanisius; serta pemerintah daerah. Kemendikbudristek sedang menyintesis dan memformulasikan berbagai masukan yang sudah diterima, baik tertulis maupun lisan, sebagai bahan penyempurnaan berkelanjutan naskah akademik dan rancangan undang-undang,” kata Anindito.
Selanjutnya, draf hasil revisi akan dibahas bersama kementerian lain. Saat draf RUU dan naskah akademik yang sudah disempurnakan telah siap, Kemendikbudristek akan segera menyebarluaskan draf RUU dan naskah akademik tersebut untuk menjaring masukan dan aspirasi dari masyarakat luas.
Anindito mengatakan, Kemendikbudristek sudah melibatkan puluhan pemangku kepentingan untuk memberikan masukan pada draf awal yang telah disusun.
”Kami sedang merevisi drafnya berdasarkan masukan dari berbagai pihak yang sudah terlibat di tahap awal ini. Di tahap-tahap selanjutnya, pelibatan publik akan menjadi lebih luas. Jadi, tidak benar bahwa prosesnya tergesa-gesa dan tertutup,” kata Anindito.
Menuntut keterbukaan
Sementara itu, Ibe Karyanto dari Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Publik mengatakan, pihaknya mengirimkan surat terbuka yang meminta Komisi X DPR dan Kemendikbudristek untuk menunda pembahasan RUU Sisdiknas dalam Program Legislasi Nasional 2022 yang dikirimkan secara resmi pada Selasa kemarin. ”Kami mengharapkan lebih banyak keterbukaan proses dan partisipasi publik yang bermakna dalam penyusunan RUU Sisdiknas,” kata Ibe.
Dalam surat terbuka, Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Publik menyatakan, sejak terdengarnya kabar revisi UU Sisdiknas hingga awal 2022, nyaris tidak terdengar lagi informasi tentang perkembangan pengerjaan RUU Sisdiknas yang baru, baik naskah akademik maupun drafnya. Uji publik hanya mengundang kelompok-kelompok tertentu dan dengan waktu uji publik yang pendek.
Sebagai contoh pada 10 Februari 2022, uji publik dilaksanakan secara daring dalam waktu dua jam, dengan sebagian waktu uji publik digunakan untuk mendengarkan paparan Kemendikbudristek tentang RUU Sisdiknas yang baru. ”Hingga kami membuat surat terbuka, naskah akademik yang seharusnya menjadi dasar penyusunan draf RUU Sisdiknas tidak disosialisasikan secara terbuka. Padahal, dari nasakah itulah publik dapat menilai urgensi pembuatan RUU Sisdiknas,” kata Ibe.
Secara terpisah, Ketua KoPI Sunaryo Kartadinata menyampaikan, pembahasan RUU Sisdiknas perlu ditunda. Sebab, pembahasan dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga prosesnya patut dipertanyakan. Apalagi pembuatan draf RUU Sisdiknas dibuat mendahului peta jalan pendidikan nasional.
Pembahasan yang tergesa-gesa terhadap sebuah produk hukum utama yang akan menjadi rujukan penting akan berisiko menghasilkan hukum yang cacat proses dan kurang legitimasi masyarakat. Apalagi dibuat tanpa menyepakati arah yang jelas akan dibawa ke mana pendidikan Indonesia.
”Pembahasan RUU Sisdiknas yang sedang berlangsung perlu ditunda agar tidak menghasilkan produk hukum yang cacat prosedur dan berpotensi menghasilkan produk hukum yang problematik,” kata Sunaryo.
Menurut Sunaryo, pembahasan yang dilakukan tidak terbuka penuh. Tidak setiap pemangku kepentingan mendapatkan akses yang penuh terhadap dokumen dan diberikan waktu yang terlalu singkat untuk mempelajari serta memberikan umpan balik terhadap substansi dokumen penting ini.
Padahal, kompleksitas pendidikan nasional, terutama terkait tata kelola guru, sangatlah luas dan dalam. Akibatnya, sangat riskan ketika dibahas dan diputuskan dalam waktu yang terlalu singkat.
”UU Sisdiknas nanti harus visioner, tetapi tidak meninggalkan sejarah dan praktik baik antropologi pendidikan masyarakat Indonesia. Jadi, UU Sisdiknas tidak boleh dibangun seolah-olah Indonesia adalah ruang kosong yang boleh didirikan bangunan apa saja di atasnya. Filsafat Pancasila yang sosialis harus menjadi landasan utama pemikiran yang dituangkan dalam setiap pasal dan ayat dalam UU Sisdiknas,” katanya.