Posisi geologis dan geografis Papua menghasilkan mozaik ekosistem yang kompleks dan unik.
Oleh
RENDRA SANJAYA
·4 menit baca
Papua termasuk wildness area atau area belantara. Beragam flora dan fauna, termasuk ribuan jenis endemis yang menghuninya, tidak ditemukan di daerah lain di planet ini. Hutan hujan perawan, hutan bakau, dan ekosistem daratan tingginya menjadi habitat satwa burung cenderawasih, kanguru pohon, serta jenis-jenis tumbuhan yang tak terhitung jumlahnya.
Selain keanekaragaman hayati, Rusdian Lubis dalam Antara Grasberg dan Arafura (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2024) menyebutkan Papua memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi serta kepercayaan masyarakat setempat yang mendukung pemeliharaan alam dan lingkungan. Pelestarian keanekaragaman hayati meneguhkan cara hidup tradisional dan kearifan lokal tentang etnobotani, mulai dari tanaman pangan, tanaman obat-obatan, sampai tanaman yang berfungsi spiritual.
Namun, di sisi lain, Papua menghadapi berbagai tantangan termasuk deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, dan perubahan iklim. Upaya konservasi serius diperlukan untuk melindungi keanekaragaman hayati yang amat berharga. Langkah ini mendesak dilakukan karena Papua memliki hutan hujan yang dapat menyerap sejumlah besar karbon dioksida serta gas rumah kaca.
Reklamasi tambang
PT Freeport Indonesia (PT FI) mengelola salah satu tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Tambang terbuka Grasberg terletak di pegunungan tinggi di Papua yang telah beroperasi selama 1991-2020 menjadi kasus menarik untuk memahami dampak pertambangan terhadap keanekaragaman hayati flora dan fauna di wilayah kerja izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT FI. Khusus pada lokasi tambang terbuka Grasberg, pengendapan tailling di ModADA dan muara Arafura. Dampaknya mengakibatkan perubahan habitat, ekosistem, dan penurunan keanekaragaman hayati.
Dalam rentang jarak sekitar 110 kilometer dari tambang terbuka Grasberg sampai ke muara Arafura dijumpai lima zona ekologi dari sub-alpin, hutan dataran tinggi, hutan dataran rendah, rawa-estuari, pesisir, sampai muara. Pada setiap zona dijumpai berbagai flora, lumut, tanaman semak, pepohonan hutan, dan pohon mangrove yang menjadi habitat bagi beragam jenis fauna, seperti mamalia, burung, katak, ikan, krustasea, dan moluska.
Sebagian besar wilayah Papua masih terjaga dengan baik dan belum terkena dampak besar aktivitas manusia. Hal ini membuat ekosistem relatif tidak terganggu dan memberi peluang bagi beragam jenis langka dan endemis yang hanya ditemukan di wilayah tersebut untuk bertahan hidup. Wilayah kerja IUPK PT FI adalah habitat anjing penyanyi (Familiaris hallstromi), cenderawasih (Paradisaeidae sp), labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta), kanguru pohon (Dendrolagus sp), katak pohon hijau (Litoria lubisi), pohon purba (Nothofagus sp), semak-semak, serta berjenis-jenis lichen (liken) dan lumut.
Tailing atau sirsat (pasir sisa tambang) mengalir melalui sungai dan diendapkan di dataran rendah yang meskipun sudah disetujui areanya oleh pemerintah telah memberikan dampak pada hutan daratan rendah dan area pasir Arafura. Sendimentasi akibat tailing telah mengubah ekosistem hutan dataran rendah, rawa, dan hutan mangrove. Namun, sendimentasi itu juga memantik suksesi ekologi dan menumbuhkan ekosistem baru, khususnya di hutan dataran rendah, hutan mangrove di pesisir dan muara. Di ModADA (Modified Ajkwa Deposition Area), suksesi berlangsung bertahap dan dinamis.
Divisi Lingkungan PT FI telah menerapkan berbagai upaya untuk mengatasi dampak operasinya, antara lain riset, mitigasi, dan konservasi. Upaya tersebut termasuk mereklamasi batuan penutup, menanam kembali flora endemik di Grasberg, mengelola tailing untuk lahan pertanian produktif di sekitar Mile Post (MP) 21, mempercepat suksesi alami, merepatriasi satwa liar, menanam dan mengonversi mangrove di muara Arafura dengan melibatkan masyarakat lokal dan adat.
Peran masyarakat adat
Pembangunan di Papua berdampak pula pada masyarakat adat (indigenous people) dan tanah leluhur. Kondisi ini akan menjauhkan mereka dari lingkungan alam. Selama beberapa generasi, masyarakat adat bergantung pada hutan dan sungai di sekitarnya sebagai sumber mata pencarian dan praktik budaya mereka. Perusakan habitat berpotensi menimbulkan konsekuensi sosial yang serius.
Mirip dengan ekosistemnya, masyarakat adat Papua mempunyai keberagaman tinggi dengan lebih dari 250 kelompok etnis yang berbeda bahasa, budaya, dan tradisi masing-masing. Banyak dari komunitas ini telah mempertahankan cara hidup tradisional mereka selama berabad-abad, mengandalkan pertanian subsisten dan berkelanjutan, berburu-meramu (hunting and gathering), serta memanfaatkan pengetahuan mendalam mereka tentang alam dan sumber dayanya. Di pesisir, misalnya, suku Kamoro mempunyai pengetahuan luas tentang hutan mangrove, moluska, dan krutasea.
Mengakui dan menghormati hak-hak tanah masyarakat adat sangat penting untuk konservasi keanekaragaman hayati. Masyarakat adat di Papua secara tradisional berperan besar dalam melestarikan dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Mereka memiliki sistem pengelolaan hutan yang menekankan perlindungan dari eksploitasi berlebihan. Suku Amungme, misalnya, mempunyai pengetahuan tentang bunga-bunga cinta di Puncak Jaya dan etnobotani tanaman langka serta farmakologi tanaman obat dari Grasberg sampai Arafura. Dengan demikian, masyarakat harus memelihara sumber daya alam untuk bisa memperoleh manfaat yang berkelanjutan dari alam.
Melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, seperti yang dilakukan Divisi Lingkungan PT FI dalam reklamasi mengrove dan repatriasi satwa liar membuat masyarakat lebih bersemangat mempromosikan pengelolaan lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati. Dengan demikian, jelas masyarakat adat bukan penghuni pasif pada ekosistem yang luar biasa ini, melainkan juga penjaga (guardian). (LITBANG KOMPAS)