Generasi Muda Bisa Optimalkan Media Sosial untuk Aktualisasi Diri
Pemanfaatan media sosial secara bijaksana dapat membantu seseorang, terutama generasi muda, dalam aktualisasi diri untuk menegaskan kemampuan atau kompetensi guna memasuki dunia profesi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Generasi muda terkesan berlomba memperlihatkan diri kepada dunia melalui media sosial. Pemanfaatan media sosial yang tidak bijaksana dapat membawa bencana bagi kehidupan. Untuk itu, media sosial sebaiknya dioptimalkan sebagai jalan aktualisasi diri secara positif untuk berprofesi atau berkarya.
Demikian benang merah dalam Seminar Literasi Digital bertajuk ”Labirin Informasi, Tersesat atau Melesat?” di Gedung Rektorat Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Kampus Lidah Wetan, Jawa Timur, Rabu (11/1/2023).
Seminar merupakan kerja sama PT Pertamina (Persero) dan harian Kompas. Acara diisi pula dengan penyerahan 750 langganan Kompas.id selama setahun dari Pertamina kepada mahasiswa mahasiswi Unesa.
Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik Prof Bambang Yulianto, masyarakat telah mampu mengoperasikan sabak dan gawai berupa telepon seluler dan tablet untuk mengakses informasi tanpa batas di internet. Namun, ancaman bahaya membesar ketika masyarakat tidak mampu memilah, memahami, mengolah, dan atau memanfaatkan informasi untuk keberlangsungan kehidupan.
”Akhirnya terpapar dan tersesat oleh informasi tidak benar karena literasi digital rendah,” kata Bambang. Literasi digital mendorong masyarakat secara bijaksana mencari, mendapatkan, memilah, memahami, mengolah, dan memanfaatkan informasi sehingga menjadi individu kritis, kreatif, adaptif, dan inovatif. Pemanfaatan informasi yang tanpa batas terutama melalui media sosial menuntut seseorang selalu cermat dan kritis.
Alim Sumarno dari Pusat Studi Literasi Digital Unesa menambahkan, situasi pasca-kebenaran atau post truth bahwa masyarakat kurang peduli dengan kebenaran kian mewujud karena konsumsi informasi yang tidak dibarengi dengan daya nalar yang kritis. Fakta obyektif dianggap tidak penting untuk pembentukan opini yang komprehensif dan bertanggung jawab.
Alim yang juga dosen senior Teknologi Pendidikan Unesa mengatakan, dari sejumlah survei, pemakai media sosial terbanyak berusia 25-34 tahun diikuti kelompok 18-24 tahun, lalu 13-17 tahun, dan 35-44 tahun. Platform yang sementara ini terbanyak digunakan untuk menyebarkan informasi hoaks ialah Facebook, Twitter, Youtube, dan Tiktok. ”Whatsapp juga, tetapi belum terukur angkanya,” katanya.
Alim melanjutkan, suatu survei oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan bahwa kemampuan seseorang memahami informasi hoaks atau benar ternyata tidak berhubungan dengan usia dan status pendidikan. ”Artinya, seorang yang pintar atau cerdas bisa juga terpapar dan tersesat oleh hoaks. Justru generasi muda tampaknya lebih aware atau waspada,” ujarnya.
Manager Communication, Relations, Community Involvement & Development (CID) Pertamina EP Cepu Agus Sudaryanto mengatakan, dalam ketenagakerjaan saat ini, kian banyak perusahaan yang menelisik latar belakang calon karyawan atau pegawai melalui akun media sosial. ”Saya rasa sulit bagi suatu perusahaan menerima seseorang yang tidak diketahui latar belakangnya, tidak punya media sosial,” katanya.
Untuk itu, generasi muda diharapkan lebih bijak memanfaatkan media sosial. Meskipun akun bisa menjadi saluran ekspresi diri, tetapi manfaatkan dengan hati-hati. Agus mencontohkan, jika seseorang di akun terlihat sering berujar kebencian atau memperlihatkan aktivitas tidak simpatik akan kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan di perusahaan bonafide.
Saya rasa sulit bagi suatu perusahaan menerima seseorang yang tidak diketahui latar belakangnya, tidak punya media sosial. (Agus Sudaryanto)
Menurut Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Haryo Damardono, media sosial bisa menjadi portofolio seseorang untuk masuk dalam dunia profesi. Misalnya, mahasiswa yang hobi kegiatan alam terbuka, unggahlah aktivitas tersebut di media sosial secara baik sebagai keunggulan dan pernyataan kompeten dalam bidang tertentu. Ini memperbesar peluang diterima bekerja di perusahaan atau organisasi yang salah satunya melihat latar belakang seseorang melalui media sosial.
”Masyarakat Indonesia dikenal sebagai pemakai internet dan media sosial terlama, tetapi pemanfaatannya tidak produktif untuk kehidupan ekonomi dan sosial. Situasi ini bisa diubah dengan peningkatan literasi digital,” kata Haryo. Sikap kritis bisa dibangun dengan selalu mempertanyakan validitas dan mengecek informasi. Selain itu, mengonsumsi dan berlangganan informasi dari media massa tepercaya.