Makanan yang terbuang jadi sampah merupakan dilema pelik yang memicu pemanasan global. Indonesia penghasil sampah makanan terbanyak ketiga di dunia. Penting pemanfaatan pangan lokal terarah pada ”eco”-konsumsi pangan.
Oleh
POSMAN SIBUEA
·5 menit baca
Laporan liputan jurnalisme data ”Sampah Makanan” di Kompas (19-20/5/2022) menjadi kontemplasi bersama saat perayaan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni 2022. Makanan yang terbuang jadi sampah merupakan dilema pelik yang memicu pemanasan global. Indonesia penghasil sampah makanan terbanyak ketiga di dunia.
Sejak digelar pertama kali 1972, perayaan Hari Lingkungan Hidup menjadi melodi yang didendangkan PBB untuk mengingatkan setiap orang akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup. Menyadarkan semua pihak untuk ikut bertanggung jawab merawat bumi dengan mengerem pemanasan global. Namun, pembangunan ekonomi yang semakin baik memberi dampak buruk bagi kualitas lingkungan hidup.
Sembilan miliar manusia di pertengahan abad ini dengan berbagai keinginan dan kebutuhannya kian membebani bumi. Sampah makanan yang sudah jadi masalah global, sebagai dampak pola konsumsi pangan yang tak berkeadilan, berkontribusi menjadikan ekosistem bumi mendekati titik kritis.
Sampah makanan yang sudah jadi masalah global, sebagai dampak pola konsumsi pangan yang tak berkeadilan, berkontribusi menjadikan ekosistem bumi mendekati titik kritis.
Mengutip FAO (2018), makanan yang tersia-siakan, khususnya buah dan sayur-mayur, mencapai sekitar 53 persen dari total produksi. Kehilangan dimulai dari saat pemanenan, penyimpanan dan pengiriman, hingga proses pengolahan, masa simpan kedaluwarsa di supermarket, dan sisa rumah tangga.
Mencederai ozon
Makanan yang terbuang dan kemudian tertimbun menjadi sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) akan melepaskan gas metana (CH4) ke atmosfer. Gas rumah kaca (GRK) ini 25 kali lebih ganas daripada karbon dioksida (CO2) mencederai ozon dan berkontribusi mempercepat pemanasan global.
CH4 yang dihasilkan 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi CO2 yang dihasilkan 5,45 juta mobil dalam setahun. Jumlah mobil di Jakarta tahun 2020 sebanyak 3,3 juta unit. Sampah makanan yang tidak dikelola dengan baik akan menyumbang peningkatan suhu bumi.
Sampah makanan menjadi persoalan serius di tengah degradasi SDA di Indonesia. Model pembangunan ekonomi yang dikembangkan selama ini cenderung bersifat ekstraktif terhadap SDA dan berjangka pendek. Upaya mempertahankan fungsi lingkungan dan pemanfaatan SDA secara berkelanjutan masih jauh dari harapan.
Padahal, pekerjaan rumah yang diagendakan Indonesia dalam perhelatan G20 pada November 2022 adalah membahas krisis iklim global yang terkait arsitektur kesehatan global. Keduanya dua dari tiga isu prioritas presidensi G20 yang menuntut setiap negara berperan dan bahu-membahu mengatasi pandemi Covid-19 dan mengerem pemanasan global.
Pemanfaatan SDA yang mengatasnamakan kesejahteraan hidup rakyat, tetapi tak diimbangi upaya konservasi, mulai menampilkan dampak negatif terhadap kehidupan manusia. Fenomena pemanasan global dan perubahan iklim menjadi isu lingkungan yang pelik untuk diperhatikan, baik secara lokal maupun global.
Menarik ucapan Greta Thunberg (2019), aktivis remaja perubahan iklim asal Swedia, pada pertemuan Puncak Aksi untuk Iklim di PBB. Para pemimpin dunia enggan mengambil langkah drastis di bidang ekologi, menjadikan mereka pengkhianat impian-impian generasi mendatang.
Pemanasan global yang makin masif merusak bumi, antara lain, bermetamorfosis menjadi monster yang setiap saat dapat memangsa hidup dan kehidupan manusia melalui banjir bandang dan kemarau panjang.
Gagal panen di sejumlah negara, termasuk di Indonesia, tak terhindarkan. Dampak perubahan iklim menyengsarakan dan memiskinkan jutaan petani lokal. Pangan impor menjadi pilihan praktis bagi pemerintah untuk mengatasi defisit gizi warganya. Permintaan pangan impor kian meningkat. Proses pengangkutannya dari negara asal ke negara tujuan memboroskan bahan bakar yang memproduksi GRK di atmosfer dan mendorong percepatan pemanasan global.
Di sisi lain, masyarakat dunia telah membuang sekitar 30 persen atau 1,3 miliar ton bahan pangan per tahun karena perubahan gaya hidup yang makin boros energi.
Di sisi lain, masyarakat dunia telah membuang sekitar 30 persen atau 1,3 miliar ton bahan pangan per tahun karena perubahan gaya hidup yang makin boros energi. Jumlah ini setara total produksi pangan yang dihasilkan di seluruh negara Sub-Sahara Afrika. Pada saat yang sama, satu dari setiap tujuh orang di dunia tak bisa tidur nyenyak pada malam hari karena perut lapar dan lebih dari 20.000 anak meninggal setiap hari karena kelaparan.
Konsumsi hijau
Negeri agraris ini dipastikan masih mampu menyediakan bahan pangan untuk 273 juta penduduknya. Sayangnya, dalam keseharian, kita acap membuang-buang makanan dan belum bijak menyikapi proses panjang penyediaan makanan dari hulu ke hilir. Perilaku boros konsumsi pangan ini meningkatkan jumlah makanan yang terbuang sia-sia senilai sekitar Rp 330 triliun.
Kondisi ini seharusnya membuka kesadaran baru bagi masyarakat untuk mengubah pola konsumsi pangannya, menjaga pola konsumsi pangan yang berimbang, berkeadilan, dan berkelanjutan. Pemanfaatan pangan lokal secara lebih serius dapat mereduksi biaya ini lewat penggunaan energi transportasi yang lebih efisien dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Berbeda dengan pangan impor yang membutuhkan energi transportasi yang mahal dari negara asal ke negara yang membutuhkan. Proses pendinginan yang dilakukan guna memperpanjang masa simpan juga sangat boros energi.
Makanan yang membusuk dalam jumlah besar sebelum sampai di negara tujuan juga mengatrol suhu bumi lantaran menghasilkan gas metana.
Peringatan Hari Lingkungan tahun ini mengingatkan pentingnya mengutamakan penggunaan pangan lokal untuk konsumsi masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan upaya penyelamatan pangan lokal untuk kemandirian bangsa dan kedaulatan petani. Optimalisasi pemanfaatan pangan lokal harus terus dilakukan dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan dan menggerakkan ekonomi rakyat guna mengatasi kemiskinan petani lokal dan mengerem pemanasan global.
Selama ini pertumbuhan ekonomi nasional masih bertumpu pada industri ekstraktif dengan watak yang rakus pada SDA dan menafikan pertanian lokal. Secara perlahan tetapi pasti, SDA dan ekosistemnya menuju kehancuran yang tak dapat dipulihkan. Pemerintah yang bijaksana harus mulai mengedukasi masyarakatnya untuk memikirkan masa depan pangan lokal. Dengan mengurangi ketergantungan pada pangan impor, kita sudah melakukan persahabatan dengan lingkungan.
Ke depan, derivatisasi ekonomi hijau patut didorong ke arah green konsumsi pangan untuk meningkatkan penggunaan pangan berkearifan lokal.
Pemanfaatan pangan lokal akan mendorong mesin percepatan pembangunan bioindustri pangan ke arah eco-konsumsi pangan yang sejatinya membentuk atmosfer dan ruang ”inkubator” ekonomi ramah lingkungan (ekonomi hijau).
Di sana ada penghargaan terhadap lokalitas, kearifan lokal, dan solidaritas sosial yang lepas dari urusan profit perusahaan kapitalistik, tetapi mengutamakan arus pembangunan berbasis kerakyatan.
Ke depan, derivatisasi ekonomi hijau patut didorong ke arah green konsumsi pangan untuk meningkatkan penggunaan pangan berkearifan lokal. Untuk mencapai ini perlu perubahan pola pikir dari ekonomi kapitalistik ke konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan. Yakni pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan SDA dan eco-konsumsi pangan (konsumsi pangan yang berkelanjutan) dengan memasukkan biaya lingkungan dan perubahan sosial.
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan Unika Santo Thomas, Medan; Pengurus Pusat PATPI; Anggota Pokja Ahli Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian