Tahun ini merupakan momentum bagi maskapai penerbangan untuk memulihkan bisnis setelah terpuruk akibat pandemi. Namun, berkurangnya armada penerbangan yang berdampak pada kenaikan harga tiket menjadi kendala.
Oleh
ARISTA ATMADJATI
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 sudah dua tahun berlalu. Saat ini adalah saat maskapai penerbangan untuk memulai meningkatkan kinerja yang pada akhirnya mengembalikan kerugian akibat pandemi, 2020 hingga 2022. Bisnis penerbangan adalah sektor yang paling terkena dampak cukup parah, dan banyak maskapai harus mengurangi sorti penerbangannya.
Tahun 2022 ini adalah saat bagi maskapai penerbangan memperlihatkan geliat ekonomi yang cukup signifikan. Akan tetapi, akibat dari mengembalikan kerugian pada saat pandemi tahun 2019-2022 awal lalu adalah tarif penerbangan yang mahal, masyarakat mulai merasakan tarif yang sedemikian mahal pada masa Lebaran 2022.
Faktor kedua yang menyebabkan mahalnya harga tiket pesawat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Maskapai penerbangan nasional hanya memperkirakan bahwa kenaikan harga BBM sekitar 60 dollar AS per barel. Akan tetapi di luar perkiraan, harga BBM melonjak 90 dollar AS-100 dollar AS per barel. Avtur termasuk dalam turunan BBM yang harganya melonjak tajam.
Selain tekanan harga minyak dunia, banyak juga maskapai yang mengembalikan pesawatnya ke lessor untuk mengurangi biaya operasional yang besar. Sebelum pandemi Covid-19 terjadi, jumlah pesawat niaga di Indonesia sekitar 900 pesawat. Pada saat pandemi, jumlah pesawat berkurang menjadi 300-400 unit saja, drop. Penurunan jumlah pesawat yang sudah mencapai 60 persen adalah keadaan di luar normal.
Penurunan jumlah pesawat niaga di Indonesia saat ini tidak berbanding dengan kenaikan kebutuhan akan pesawat terbang yang meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang pesawat selama periode Januari-Maret 2022 10,7 juta orang atau naik 55 persen daripada periode yang sama tahun sebelumnya dan penumpang internasional naik 200 persen menjadi 373.500 orang.
Garuda Indonesia yang pada 2019 mengoperasikan 142 pesawat kini hanya mengoperasikan 40 pesawat. Begitu juga jumlah pesawat Citilink menurun 31 persen, mengutip laporan keuangannya pada 2020. Pada 2021, Lion Air juga mengembalikan enam pesawat.
Jadi, kini jumlah pesawat yang beroperasi hanya sekitar 350 pesawat dari total 550 pesawat, menurut data dari Kementerian Perhubungan. Hal ini akan menjadi tantangan melihat pulihnya jumlah penumpang penerbangan yang diprediksi mencapai 78 juta orang hingga akhir tahun.
Dampak di lapangan
Akibat yang terjadi karena kenaikan permintaan kebutuhan angkutan udara yang tidak sebanding dengan jumlah pesawat adalah kenaikan harga tiket pesawat. Saat ini tarif yang berlaku menyesuaikan dengan hukum supply and demand. Permintaan naik, jumlah armada berkurang, maka yang terjadi adalah jumlah kursi pesawat yang harus diperebutkan. Faktor tersebut yang memicu terjadinya kenaikan harga tiket pesawat.
Pilihan bahwa pemerintah harus mengintervensi keadaan mahalnya tarif pesawat seperti dua sisi mata uang. Apabila pemerintah melakukan intervensi, pilihannya adalah maskapai akan bangkrut. Di Pulau Jawa mungkin permintaan angkutan udara dapat diatasi. Akan tetapi, di luar Pulau Jawa, seperti di Sulawesi, Kalimantan, Papua, dan NTT, masih sulit untuk dapat dicarikan solusi atas permasalahan saat ini untuk menyediakan tarif promosi lagi.
Ada kecenderungan saat ini maskapai lebih melayani penumpang korporat dan bisnis, penumpang yang saat ini dapat menjangkau harga tiket yang mahal. Seperti diketahui, Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah memprediksi bahwa akan terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 paling tidak selama tahun 2022. Artinya, dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi di atas lima digit, geliat korporat dan bisnis akan terus bertumbuh.
Ada kecenderungan saat ini maskapai lebih melayani penumpang korporat dan bisnis, penumpang yang saat ini dapat menjangkau harga tiket yang mahal.
Kecenderungan pertumbuhan e-commerce yang juga terus bertumbuh adalah peluang yang harus ditangkap oleh maskapai. Memang saat ini yang menjadi trending adalah angkutan logistik. Kecepatan menjadi alasan utama untuk menggunakan jasa transportasi udara. Kecenderungan e-commerce yang mulai meningkat ini terlihat pada masa pandemi, dan terus terjadi hingga kini.
Mahalnya tiket pesawat saat ini menjadi permasalahan yang cukup menghambat pergerakan kenaikan permintaan akan transportasi udara. Apabila diperintahkan untuk menurunkan harga tiket, maskapai akan sulit untuk pulih dari keterpurukan pada saat pandemi lalu. Saat ini adalah saatnya maskapai untuk memulihkan kerugian selama dua tahun pandemi.
Memang untuk memenuhi jumlah pesawat dapat dilakukan dengan menyewa, tetapi proses sewa itu membutuhkan negosiasi yang lama, tidak semudah yang dibayangkan. Permintaan sewa untuk menambah jumlah pesawat terjadi juga di seluruh dunia. Akibatnya, maskapai nasional harus ”berebut” untuk menyewa pesawat.
Konsentrasi ke pasar domestik
Pelayanan internasional memang lebih baik dikurangi. Berfokus ke penerbangan domestik adalah hal yang sangat rasional. Jumlah armada yang terbatas saat ini diperkirakan masih mampu untuk melayani 275 juta penduduk Indonesia. Saat ini kurang ideal bagi maskapai untuk melayani penerbangan internasional dengan jumlah pesawat yang terbatas.
Wisatawan Nusantara saat ini bisa dikatakan menjadi trigger atau pemicu pemulihan penerbangan saat ini. Tidak bisa dipandang sebelah mata wisatawan Nusantara saat ini. Ada kecenderungan bahwa melakukan perjalanan wisata saat ini adalah hal yang baik untuk memulihkan kondisi pasar lokal yang harus bergerak, mengunjungi destinasi domestik dengan terbang memakai maskapai lokal.
Perkiraan say,a mahalnya tarif pesawat ini akan terjadi selama dua tahun. Paling cepat semester kedua tahun 2023 tarif pesawat akan kembali normal menyesuaikan jumlah armada yang pelahan mulai datang lagi. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menanti pulihnya maskapai nasional yang terpuruk pada saat pandemi. Kalaupun pemerintah akan melakukan intervensi, tentu akan mengeluarkan dana yang lebih besar mengingat faktor-faktor yang melatarbelakangi mahalnya tiket pesawat terbang, seperti kenaikan harga avtur dunia.
Solusi jangka pendek
Mengingat negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan destinasi pariwisata natural kelas dunia, seyogianya semua pemangku kepentingan, baik itu Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, semua maskapai, dan perusahaan logistik bersinergi bahu-membahu untuk memprioritaskan menjual paket wisata domestik sambil mendorong memanfaatkan geliat arus penumpang yang mulai percaya diri dan sedang memanfaatkan kemudahan. Syarat melakukan penerbangan tanpa tes antigen dan PCR, juga pelonggaran PPKM di Indonesia, adalah beberapa peluang yang harus dimanfaatkan secara jeli. Sambil juga mendorong arus barang e-commerce yang sedang booming. Dengan demikian, tingkat hunian kursi dan kargo pesawat maskapai domestik bisa mendorong pemulihan revenue maskapai domestik dan industri pariwisata kita.
Arista Atmadjati, Pengamat Penerbangan Indonesia; Dosen IULI University, BSD, Serpong; Founder AIAC Aviation; Chairman Aviation School AIAC