Konstruksi Pajak Karbon Kehutanan
Obyek barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang sama tidak dapat dikenai pungutan dua kali sekaligus, yakni pajak karbon dan PNBP pemanfaatan SDA.

Ilustrasi
Meskipun pajak karbon untuk sektor kehutanan belum diterapkan mulai Juli 2022 dan baru akan dikenakan mulai tahun 2025, sektor kehutanan merupakan kunci dalam dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian NDC Indonesia (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan).
NDC atau kontribusi yang ditetapkan secara nasional adalah komitmen nasional bagi penanganan perubahan iklim global dalam rangka mencapai tujuan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim). Pajak karbon semestinya disasarkan kepada sektor-subsektor penyumbang utama emisi karbon.
Dari target NDC, target mayoritas berasal dari sektor kehutanan, sektor energi, dan sektor transportasi yang menyumbang 97 persen dari total target. Sisanya adalah kontribusi dari sektor limbah, pertanian, dan industri. Sementara itu, sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48 persen emisi karbon. Komposisi ini menunjukkan skala prioritas upaya pengendalian krisis iklim, termasuk melalui pajak karbon.
Baca juga : Era Baru Pajak Karbon
Subyek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Adapun pajak karbon yang berlaku adalah barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu.
Pada saat pembelian barang yang mengandung karbon, pada akhir periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu atau pada saat lain. Kendati rincian struktur pajak karbon masih belum jelas karena dalam proses pembahasan, pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon, seperti pulpdan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Pemerintah telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon, seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Mengingat bahwa pajak karbon yang berlaku, yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon juga harus diarahkan pada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu sendiri, yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri), dan pertanian.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan. Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon, seperti pulp dan kertas saja. Menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana konstruksi pajak karbon dari sektor kehutanan yang seharusnya berlaku?

Nilai intrinsik hutan
Dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 35 Ayat (1) menyebutkan bahwa pungutan dalam pemanfaatan hasil hutan ditujukan untuk mengganti nilai intrinsik hutan. Bentuknya provisi sumber daya hutan (PSDH).
Dalam Peraturan Pemerintah tentang PSDH yang terbit sebelum UU Kehutanan, PP No 51/1998, PSDH atau resources royalty provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari hutan negara. PSDH wajib dibayar oleh pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), hak pemungutan hasil hutan (HPHH) atau izin pemanfaatan kayu (IPK), dan izin sah lainnya (ISL) atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara.
Pembayaran PSDH tidak meniadakan kewajiban pengelola HPH, HPHH, IPK, industri pengolahan kayu hulu (IPKH), dan ISL membayar kewajiban lain. Dasar perhitungan dan besarnya PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan harga pasar hasil hutan dan biaya produksi.
Harga pasar hasil hutan ditetapkan dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Tarif PSDH ditetapkan oleh Menteri Kehutanan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Penggunaan PSDH ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri Kehutanan.
Pembayaran PSDH tidak meniadakan kewajiban pengelola HPH, HPHH, IPK, industri pengolahan kayu hulu (IPKH), dan ISL membayar kewajiban lainnya.
PSDH sekarang mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P 64/2017 tentang penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan PSDH dan ganti rugi tegakan (GRT). Pengertian PSDH diperluas menjadi pungutan pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara dan hasil hutan yang berada pada kawasan hutan yang telah statusnya menjadi bukan kawasan hutan atau dicadangkan untuk tujuan selain kehutanan.
Penetapan harga patokan hasil hutan sebagai pedoman dasar perhitungan PSDH dan ganti rugi tegakan untuk hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, ataupun hasil sistem silvopastura dan wanamina.
PSDH hasil hutan kayu dikelompokkan dalam kayu bulat dari hutan alam (kelompok jenis meranti/komersial 1) dan kelompok jenis rimba campuran/komersial 2); kelompok hutan tanaman industri (HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm); kelompok kayu Perum Perhutani dan dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
PSDH hasil hutan bukan kayu dikelompokkan dalam rotan, getah kayu hutan, resin, biji-bijian, daun-daunan dan akar-akaran, biji kopi yang berasal dari kawasan hutan, kulit kayu, bambu hutan, tikar, buah-buahan dan umbi-umbian yang berasal dari hutan negara, dan lain-lain. PSDH dari sistem silvopastura (susu, daging, telur) dan wanamina (ikan, belut, udang, kepiting, sidat).
PSDH tidak berlaku jika hasil hutan bukan kayu berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan, dan hasil hutan kayu dan bukan kayu yang berasal dari hutan negara yang langsung dipakai sendiri maksimal 5 meter kubik oleh penduduk setempat dan tidak diperdagangkan, serta hasil hutan yang berasal dari hutan hak atau hutan rakyat.
Baca juga : Pajak Karbon dan PNBP Kehutanan
Sementara itu, untuk membiayai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan dari hutan alam yang berupa kayu dikenai pungutan berupa dana reboisasi. Dana reboisasi dipungut berdasarkan besarnya jumlah kubikasi kayu yang dikeluarkan dari hutan alam dikalikan tarif setiap kubiknya. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas areal blok tebangan dikenakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku tentang PBB. Dalam sektor kehutanan, PSDH dan dana reboisasi masuk dan menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kehutanan dari obyek PNBP pemanfaatan sumber daya alam (SDA).
Di sisi lain, pajak karbon, termasuk pajak karbon di sektor kehutanan, masuk dan menjadi penerimaan negara dari sektor pajak. Dalam UU No 7/2021, pajak karbon disejajarkan dengan Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), dan cukai. Mungkinkah obyek barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dikenai dua pungutan sekaligus, yakni pungutan pajak dan PNBP?

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Aek Nauli di Sumatera Utara, 2 Mei 2019, menunjukkan cara mendapatkan getah pohon pinus sebagai hasil hutan bukan kayu.
Struktur pajak karbon kehutanan
Menurut UU No 20/1997, PNBP merupakan seluruh penerimaan pemerintah yang bukan berasal dari penerimaan perpajakan negara. PNBP adalah penerimaan dari pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan juga hibah. Subyek PNBP adalah orang pribadi dan badan usaha, baik yang nanti berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Sementara obyek PNBP akan meliputi seluruh aktivitas, hal, dan atau benda yang akan menjadi sumber penerimaan negara di luar pajak dan juga hibah.
Di bidang pemanfaatan sumber daya alam, untuk PNBP akan memanfaatkan bumi, air, udara, ruang angkasa, dan juga kekayaan alam yang dimiliki oleh sebuah negara. Sebagai contoh, minyak dan gas. Peran BUMN di perekonomian nanti sangat besar sebagai salah satu pemasok PNBP yang bisa didapatkan dari pembayaran dividen, pengelolaan ladang migas, dan juga pembayaran lisensi. Sama halnya dengan pengelolaan sumber daya hutan alam dan tanaman yang dimiliki oleh Indonesia, perolehan pendapatan negara dari PNBP PSDH dan dana reboisasi dari hutan alam di era Orde Baru merupakan devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.
Duplikasi pajak seperti ini tidak boleh terjadi dan sebaiknya dibuat konstruksi pajak yang tunggal dari hulu ke hilir.
Jelas sudah bahwa obyek barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon yang sama tidak dapat dikenai dua pungutan kali sekaligus, yakni pajak karbon dan PNBP pemanfaatan SDA.
Kendati rincian struktur pajak karbon belum jelas karena dalam proses pembahasan, pemerintah juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada industri yang mengeluarkan karbon, seperti pulpdan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia. Pengenaan pajak karbon dari industri pulp dan kertas yang bakunya kayu dari hasil hutan mengindikasikan bahwa pungutan ganda (duplikasi) pajak akan terjadi baik dari sisi hulu (PNBP kehutanan) maupun sisi hilir (pajak karbon hasil industri pengolahan kayu berupa pulp atau kertas).
Duplikasi pajak seperti ini tidak boleh terjadi dan sebaiknya dibuat konstruksi pajak yang tunggal dari hulu ke hilir. Pajak karbon dari sumber daya hutan dapat dijadikan satu paket dengan PNBP kehutanan (PSDH dan dana reboisasi) dengan meninjau kembali tarif yang selama ini berlaku untuk disesuaikan kembali secara proporsional.
Peraturan Menteri LHK No P 64/2017 tentang penetapan harga patokan hasil hutan untuk perhitungan PSDH dan ganti rugi tegakan (GRT) sudah harus ditinjau kembali baik dari segi besaran tarif maupun struktur pajak yang akan memasukkan pajak karbon menjadi satu paket. Rincian formula pajak karbon tunggal dari sektor kehutanan, pemerintah dapat berkonsultasi dengan pakar/ahli pajak dan ahli ekonomi kehutanan yang memahami nilai instrinsik hutan/vegetasi kayu baik dari hutan alam maupun hutan tanaman.
Baca juga : Pajak Karbon, dari Indonesia untuk Dunia
Khusus untuk pajak karbon bagi perdagangan karbon yang telah dilakukan pemerintah selama ini dengan pengenaan PNBP kehutanan sebesar 10 persen, tampaknya layak untuk dilanjutkan struktur dan formulasinya. Hanya saja, formatnya adalah pajak perdagangan karbon, bukan PNBP kehutanan lagi. Tidak perlu dipersoalkan lagi apakah skema perdagangan karbon dalam bentuk antarnegara (G to G) ataupun pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon) dengan perusahaan lain di luar negeri yang membutuhkannya (B to B), yang penting pajak karbon perdagangan karbon dikenakan tarif 10 persen (PPn yang sekarang telah disesuaikan sebesar 11 persen).
Dari aspek waktu (hingga tahun 2025), pemerintah masih cukup untuk menyusun konstruksi pajak karbon dari sektor kehutanan yang ideal dan adil. Perlu diingat kembali bahwa sektor kehutanan menyumbang emisi karbon paling besar, yakni 48 persen emisi karbon. Oleh karena itu, bobot pajak karbon kehutanan juga harus mempertimbangkan beban emisi karbon yang harus dipulihkan nanti.
Pramono Dwi Susetyo, Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Pramono Dwi Susetyo