Seiring penurunan kasus Covid-19, semua sektor lapangan usaha mulai tumbuh positif, kecuali jasa administrasi pemerintahan dan jasa pendidikan. Meskioun begitu, ancaman inflasi yang belum menurun masih menghadang.
Oleh
TITA ROSY
·5 menit baca
HERYUNANTO
Memasuki tahun 2022, terdapat serangkaian peristiwa global ataupun domestik yang sangat dinamis dan berpengaruh pada performa ekonomi dunia. Kinerja perekonomian global triwulan I-2022 melambat dibandingkan proyeksi pada awal tahun.
Pada Januari 2022, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi global tahun 2022 akan tumbuh sekitar 4,4 persen. Proyeksi ini pada bulan April 2022 direvisi ke bawah menjadi 3,6 persen. Pada Januari 2022, pemulihan global diproyeksikan akan menguat karena dampak Omicron hanya bersifat jangka pendek. Namun, pada bulan Februari terjadi invasi Rusia-Ukraina sehingga pemulihan global berpotensi terhambat.
Peristiwa ekonomi
Peningkatan permintaan dan dampak konflik geopolitik (perang Rusia-Ukraina) yang terjadi mendorong peningkatan inflasi. Harga bahan bakar dan makanan meningkat pesat dan menghambat pemulihan ekonomi negara-negara berkembang. Di beberapa negara, tekanan inflasi telah terjadi sebelum invasi Rusia ke Ukraina karena melonjaknya beberapa harga komoditas dan ketidakseimbangan penawaran-permintaan. Di negara lain, dampak kenaikan harga bahan bakar memengaruhi harga komoditas lain sehingga menyebabkan tekanan harga yang lebih luas.
Di dalam negeri, terdapat beberapa catatan peristiwa perekonomian domestik, di antaranya realisasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) telah mencapai 6,4 persen atau setara dengan Rp 29,3 triliun dari pagu sebesar Rp 455,62 triliun pada triwulan I-2022. Turunan dari 6,4 persen ini terbagi ke dalam tiga jenis alokasi, yaitu untuk kesehatan (insentif perpajakan atas vaksin dan alat kesehatan, penanganan Covid-19 melalui dana desa), perlindungan sosial (PKH, kartu sembako, prakerja, BLT dana desa, bantuan tunai pedagang kaki lima, pemilik warung, dan nelayan), dan pemulihan ekonomi (program pariwisata, pangan, subsidi UMKM).
Munculnya varian Covid-19 Omicron memang sempat memicu kekhawatiran dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Meskipun penyebarannya jauh lebih masif dibandingkan varian sebelumnya, efeknya tidak sekuat varian Delta. Kasus harian terkonfirmasi positif tertinggi 64.718 di bulan Februari 2022. Setelah melewati titik tersebut, kurvanya berangsur-angsur menurun.
Efek perang Rusia-Ukraina mulai mengintai proses pemulihan ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Terdapat ancaman krisis energi mengingat gas alam Rusia menyumbang sekitar 40 persen pasar Uni Eropa. Akibatnya, terjadi kompetisi pemenuhan permintaandunia karena pembeli tidak dapat lagi membeli produk energi dari Rusia.
Efek perang Rusia-Ukraina mulai mengintai proses pemulihan ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
Terjadinya kenaikan harga pangan, salah satunya gandum, adalah karena Ukraina merupakan negara terbesar kedua pemasok gandum bagi Indonesia dengan kontribusi 24 persen dari total nilai impor gandum tahun 2021. Jika perang berlangsung lama, terdapat potensi turunnya volume perdagangan dunia, termasuk pada mitra-mitra dagang utama Indonesia. Pada kuartal I-2022, Indonesia berhasil membukukan neraca perdagangan sebesar 9,33 miliar dollar AS. Surplus neraca perdagangan ini berpotensi terganggu dengan adanya ketegangan geopolitik yang belum usai.
Capaian ekonomi domestik
Berbagai peristiwa ekonomi yang terjadi baik di dalam negeri maupun di dunia internasional memberikan dampak besar pada pemulihan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis ekonomi Indonesia pada kuartal I-2022 tumbuh sebesar 5,01 persen. Pertumbuhan ini bertanda positif dan hampir menyamai performa pada tahun-tahun sebelum pandemi terjadi. Setidaknya selama lima tahun terakhir sebelum pandemi, secara rata-rata Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen.
Apabila ditelusuri menurut sektor lapangan usaha, dapat dilihat bahwa sektor-sektor jasa yang sempat kontraksi akibat pendemi Covid-19 sejak tahun 2020 telah menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Sektor yang paling merespons berkurangnya dampak pandemi adalah sektor transportasi. Sektor transportasi menunjukkan tanda pertumbuhan yang positif dengan tumbuh sebesar 15,79 persen.
Sektor transportasi merupakan satu-satunya sektor yang tumbuh dua digit. Sektor ini telah merespons penghapusan tes PCR dan antigen sebagai syarat bepergian (dengan beberapa ketentuan) sejak 7 Maret 2022. Pelonggaran syarat ini menjadi stimulus ekonomi. Geliat sektor transportasi juga ditunjukkan oleh peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang meningkat 228,24 persen selama triwulan I-2022.
Sektor transportasi merupakan satu-satunya sektor yang tumbuh dua digit.
Semua sektor lapangan usaha tumbuh positif kecuali jasa administrasi pemerintahan dan jasa pendidikan. Tingginya angka pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2022, selain disebabkan oleh pulihnya aktivitas masyarakat, ditambah lagi dengan adanya low base effect dari triwulan I-2022 (pertumbuhan ekonomi triwulan I-2022 terkontraksi 0,70 persen).
Tantangan ke depan
Capaian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen dihadapkan lagi dengan ancaman inflasi yang belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Inflasi April 2022 yang notabene merupakan bulan Ramadhan mencapai 0,95 persen secara month to month dan 3,47 persen secara year on year.
Harapan semua pihak bahwa pemerintah melalui Tim Pengendalian Inflasi dapat mengawal besaran inflasi ini agar secara grafis tidak menanjak ke atas. Hal ini harus dilakukan mengingat inflasi dapat mengungkit atau sebaliknya menahan daya beli masyarakat. Lebih jauh lagi, inflasi yang meningkat juga dapat menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang terjaring di bawah garis kemiskinan mengingat penghitungan garis kemiskinan meng-input inflasi secara linier dalam formula penghitungannya.
Berita bagusnya, dari sisi ketenagakerjaan, angka pengangguran menurun. Badan Pusat Statistik telah merilis tingkat pengangguran terbuka (TPT) periode Februari 2021 yang sempat mencapai 8,75 juta orang atau setara dengan 6,26 persen dari angkatan kerja menurun menjadi 8,4 juta orang atau 5,83 persen dari angkatan kerja periode Februari 2022.
Tantangannya adalah struktur tenaga kerja informal yang semakin meningkat persentasenya. Pada periode Februari 2022, BPS mencatat terdapat 59,97 persen tenaga kerja yang merupakan tenaga kerja informal. Persentase tenaga kerja informal ini meningkat setidaknya sejak Februari 2020 yang hanya mencapai 56,64 persen.
Tenaga kerja yang bergelut di sektor informal harus diberikan proteksi oleh pemerintah karena sangat rentan terdampak shock mengingat rata-rata permodalan yang dimiliki oleh usaha-usaha informal berada pada skala UMKM. Mendorong kegiatan usaha ekonomi pada skala UMKM dapat menjadi motor penggerak bagi 61,97 persen kue ekonomi Indonesia yang dirangkum dalam produk domestik bruto (PDB).
Tita Rosy, Fungsional Statistisi Ahli Madya di BPS Provinsi Kalimantan Selatan