Kenaikan HPP gula tidak akan berdampak signifikan terhadap kebangkitan industri gula nasional berbasis tebu rakyat tanpa dibarengi upaya pembenahan regulasi dan tata kelola industri gula nasional.
Oleh
TOTO SUBANDRIYO
·5 menit baca
HERYUNANTO
Memasuki musim giling tebu 2021/2022 yang dimulai pada Mei ini, wajah para petani gula tebu Tanah Air sedikit semringah. Setelah sekitar enam tahun mereka berjuang dalam ketidakpastian, akhirnya pemerintah mengabulkan tuntutan mereka untuk menaikkan harga patokan petani atau HPP gula kristal menjadi Rp 10.500 per kilogram. Mereka tidak pernah letih berjuang agar HPP yang ditetapkan sejak tahun 2017 sebesar Rp 9.700 per kg tersebut dinaikkan karena sudah tidak realistis lagi.
Menurut survei Kementerian Pertanian pada Maret 2018, HPP gula kristal mencapai Rp 10.500 per kg. Jadi, selama ini kondisi industri gula berbasis tebu rakyat ibarat ”hidup segan mati tak hendak”. Kondisi itu, antara lain, ditandai oleh perebutan bahan baku tebu oleh pabrik gula, masa giling yang makin pendek, serta banyaknya pabrik gula milik pemerintah yang tutup.
Akibatnya, semua kemudahan yang telah diberikan pemerintah tidak mampu meningkatkan produksi gula. Yang terjadi justru sebaliknya, angka defisit antara produksi dan konsumsi gula dalam negeri semakin besar. Defisit kebutuhan konsumsi tersebut harus ditutup dari impor yang angkanya terus membengkak dari 1 juta ton pada tahun 2008 menjadi 5,62 juta ton pada tahun 2020.
Menurut hemat penulis, kenaikan HPP gula ini tidak akan berdampak signifikan terhadap kebangkitan industri gula nasional berbasis tebu rakyat tanpa dibarengi upaya pembenahan regulasi dan tata kelola industri gula nasional. Salah satunya adalah peninjauan kembali Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3/2021 tentang Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Gula dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Gula Nasional.
Pasal 3 Ayat (1) peraturan ini membolehkan industri gula berbasis tebu mengimpor gula mentah (raw sugar) untuk memproduksi gula konsumsi. Kondisi ini akan membuat industri gula berbasis tebu rakyat sulit bangkit dari keterpurukan. Ketiadaan insentif yang memadai membuat petani tebu mengalami demotivasi budidaya tebu. Otoritas pemerintah bidang perkebunan di daerah sangat kesulitan mencari lahan budidaya tebu rakyat. Dampak lebih jauh, terjadi penurunan secara signifikan pasokan tebu ke pabrik gula sehingga banyak pabrik gula milik pemerintah gulung tikar.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Suasana dalam Pabrik Gula Tersana Baru, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (14/5/2019). Pabrik yang berdiri sejak 1937 ini merupakan satu dari tiga pabrik gula milik PG Rajawali II yang masih beroperasi di Jabar. Sebelum 1995, terdapat delapan pabrik gula di Jabar.
Tegas menegakkan aturan
Saat ini para petani tebu masih dibayangi trauma dari pengalaman empiris beberapa tahun sebelumnya. Hingga awal tahun 2021 masih terdapat puluhan ribu ton gula milik petani hasil giling tahun 2020 yang belum laku terjual. Di sisi lain, pemerintah telah menyetujui impor raw sugar yang sangat besar. Untuk diketahui saja, pada tahun 2022 ini pemerintah telah mengeluarkan rekomendasi izin impor gula rafinasi sebesar 3,4 juta ton.
Selain pembatasan impor, pemerintah dituntut tegas dalam menegakkan aturan yang telah dikeluarkan. Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan telah menegaskan bahwa usaha pengolahan hasil perkebunan harus memenuhi sekurangnya 20 persen bahan baku dari kebun yang diusahakan sendiri. Ketentuan itu dikuatkan Permenperin Nomor 10/2017 tentang Fasilitas Memperoleh Bahan Baku dalam Rangka Pembangunan Industri Gula. Pada Pasal 4 Ayat (1) dan (2) ditegaskan, perusahaan industri gula baru yang mendapatkan izin usaha setelah 25 Mei 2010 wajib memenuhi minimal 20 persen kebutuhan bahan baku.
Selain pembatasan impor, pemerintah dituntut tegas dalam menegakkan aturan yang telah dikeluarkan.
Namun, praktik di lapangan, tidak banyak pabrik gula yang menaati ketentuan tersebut. Berdasarkan informasi dari Kementerian Pertanian, hanya 30 persen pabrik gula yang menjalankan kewajiban sesuai amanat Undang-Undang Nomor 39/2014. Jika amanat undang-undang dan peraturan itu ditepati, logikanya luas tanaman tebu dan produksi gula dalam negeri semakin besar sehingga impor gula semakin kecil.
Mari kita cermati data berikut. Kementerian Perindustrian mencatat produksi gula dalam negeri pada 2015-2020 menurun dari 2,5 juta ton menjadi 2,1 juta ton. Padahal, pada periode yang sama telah berdiri tujuh pabrik gula berbasis tebu dengan kapasitas terpasang 8.000–12.000 ton tebu per hari (TCD). Hingga saat ini terdapat 62 pabrik gula (43 BUMN dan 19 swasta) dengan kapasitas terpasang 316.950 TCD.
Jika semua dapat berproduksi secara optimal dan efisien, gula yang dapat diproduksi setiap tahun sekitar 3,5 juta ton. Dengan jumlah nominal sebesar itu, berarti swasembada gula konsumsi sudah tercapai. Namun, pada kenyataannya kehadiran 62 pabrik gula tersebut tidak mampu mendongkrak produksi gula nasional secara signifikan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Buruh tani mengikat batang tebu sebelum diangkut dengan truk di Desa Merbuh, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Jumat (28/6/2019). Produktivitas perkebunan tebu terus ditingkatkan agar dapat memenuhi kebutuhan pabrik gula yang sebagian telah direvitalisasi. Diperkirakan produksi gula nasional pada tahun 2019 mencapai 2,25 juta ton.
Audit luas lahan
Menurut para petani tebu yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), kehadiran Permenperin Nomor 3/2021 justru akan memperparah kondisi pergulaan nasional. Pabrik gula akan semakin terpacu untuk bisa panen gula mentah di pelabuhan (baca: impor). Pabrik gula baru pada umumnya melakukan kemitraan dengan petani tebu sehingga bisa memiliki utilisasi pabrik sangat tinggi.
Utilisasi pabrik yang sangat tinggi tersebut dijadikan alasan untuk mengajukan kuota impor gula mentah ke pemerintah dalam jumlah besar untuk memenuhi kapasitas terpasang. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah tegas menangani permasalahan ini. Pemerintah harus segera melakukan audit luas lahan tanaman tebu nasional. Langkah tegas itu utamanya ditujukan bagi pabrik gula-pabrik gula baru yang data luas lahannya tidak sinkron dengan peningkatan produksinya, tetapi justru impor gula mentah yang semakin bertambah.
Regulasi di bidang importasi perlu segera dilbenahi. Salah satu di antaranya, untuk mengantisipasi distorsi harga gula internasional dan gula domestik, bea masuk impor gula harus diatur secara progresif. Apabila harga gula di pasar internasional sedang turun, bea masuk dinaikkan secara signifikan. Sebaliknya, jika harga gula di pasar internasional sedang naik, bea masuk impor gula diturunkan pada tingkat yang moderat. Cara ini dapat menjaga stabilitas harga dan pasokan gula nasional.
Meski kebijakan impor bukan merupakan hal yang haram dilakukan, untuk melindungi petani gula, kebijakan impor harus didasarkan pada pertimbangan yang transparan dan terukur. Selama ini Badan Pusat Statistik telah menyajikan data angka ramalan produksi berbagai komoditas pangan. Data tersebut ditujukan sebagai sistem peringatan dini (early warning system), perlu atau tidak dilakukan impor, berapa jumlahnya, serta kapan waktu yang tepat dilakukan impor.
Saatnya Presiden Jokowi selaku dirigen dari orkestrasi kebijakan pangan di negeri ini bertindak tegas agar orkestrasi berjalan harmonis. Upaya wewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan negeri ini adalah upaya yang sangat kompleks sehingga membutuhkan kolaborasi semua pemangku kepentingan yang solid. Tanpa political will dari semua pemangku kepentingan, percayalah kenaikan HPP gula tidak akan berdampak secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani tebu. Industri gula berbasis tebu rakyat tetap akan sulit bangkit dari keterpurukan.
Toto Subandriyo, Peneliti pada Lembaga Pengkaijan Pangan, Pertanian, dan Lingkungan (LP3L)