Pergolakan cuaca dan iklim di Indonesia dipicu kegiatan yang meningkat di permukaan matahari dan perubahan permukaan bumi akibat ulah manusia dan bencana alam.
Oleh
PAULUS AGUS WINARSO
·6 menit baca
HERYUNANTO
Cuaca dan iklim bumi terus bergolak dan menunjukkan penyimpangan terhadap rerata atau kondisi normal suatu periode waktu iklim. Situasi dan perkembangan cuaca dan iklim yang menyimpang atau berpola tidak beraturan (cuaca dan iklim yang rancu) ini terjadi seiring bergaungnya isu pemanasan dan perubahan iklim global sekitar akhir abad ke-20. Sekitar satu hingga dua dekade akhir abad ke-20 diwarnai giatnya gejala alam El Nino yang berdampak serius di seluruh penjuru muka bumi pada 1982/1983.
Situasi dan perkembangan cuaca dan iklim sebelumnya boleh disebut kondusif, juga saat giat gejala El Nino terkuat pertama dengan simpangan suhu muka laut di atas normal di kawasan perairan ekuator bagian timur Samudra Pasifik. Tonggak gejala El Nino terkuat pertama dalam sejarah ini masih belum mengganggu kegiatan swasembada pangan nasional kala jelang akhir abad ke-20 hingga di tahun 1990. Pemerintah Indonesia berhasil dengan upaya swasembada pangan, didukung situasi dan kondisi yang kondusif bagi kegiatan pertanian walau diguncang dan diganggu El Nino tahun 1982/1983 dan tahun 1987/1988.
Keberhasilan Pemerintah Indonesia dengan pencapaian penghargaan internasional ini terkoyakkan dengan keseringan gejala El Nino yang merupakan tonggak kelanjutan penyimpangan cuaca dan iklim. Dan, ini sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan mulainya pergolakan cuaca dan iklim bumi yang mulai dengan pola keragaman atau variabilitas dengan selang-seling antara kondisi kering dan kondisi basah.
Seiring El Nino yang giat di dekade akhir abad ke-20 ini, tercatat terpanjang pada 1990-1994 dan kembali menguat pada 1997/1998 yang memunculkan bencana nasional kebakaran lahan dan hutan pada 1997, lahir pula lawan dari kondisi tersebut dengan terbentuknya awan badai yang terus marak dan meluas. Awan badai ini menimbulkan hujan badai dengan curahan hujan minimal 100 milimeter dalam satu kali kejadian.
Hujan badai yang didahului awan kumulonimbus (Cb) semula perkembangannya juga sporadik. Awan badai yang berkembang meluas dengan sebutan awan konveksi skala meso yang kompleks (meso-scale convective complex/MCC) ini menyimpan bermiliar liter air dan tercurah di Jakarta untuk pertama kali pada Februari 1996. Curah hujan saat itu sekitar 350 milimeter, yang artinya volume air hujan tercurah 350 liter dalam areal seluas 1 meter persegi. Apabila luas wilayah 1 hektar, volume air hujan pada awal tahun 1996 ada 3,5 juta liter yang tercurah dalam durasi sekitar enam jam. Seperti air terjun yang besar dan berdampak tenggelamnya sebagian ibu kota Indonesia kala itu.
Contoh kejadian di akhir abad ke-20 yang didominasi kondisi kering dan kondisi awan badai tersebut sepertinya kian berkembang seiring dengan terbukanya tutupan lahan hijau secara permanen seperti kawasan hutan perawan kian habis di muka bumi ini. Situasi dan perkembangan yang terjadi antara kering yang mendominasi dan diiringi dengan perkembangan awan badai, khususnya awan badai jenis MCC yang secara lambat berkembang. Dapat diperhatikan selingan sebelum kekeringan terjadi diawali oleh giatnya awan badai yang mengakibatkan bencana banjir di awal dekade pertama abad ke-21.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Anak-anak berjalan melewati banjir di Jalan Karet Pasar Baru Timur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Minggu (23/2/2020). Sejumlah kawasan di Jakarta kembali dilanda banjir setelah hujan deras mengguyur Jakarta.
Singkat cerita periode El Nino mulai melemah dan menyusut kegiatan dan periodenya, tetapi sebaliknya, La Nina dengan periode basahnya mulai giat sejak 2010 hingga kini. Dominasi gejala La Nina dengan perkembangan awan hujan yang cukup giat plus didukung dengan jenis awan badai lebih dominan ini seiring proses alami yang terjadi di alam, yaitu perubahan alam yang terjadi baik oleh ulah kita maupun oleh ulah alam dengan bencana alam dan gunung berapi yang mengubah lahan.
Apabila dikaitkan dengan kegiatan matahari, dominasi kuantitas bintik hitam matahari (sunspot) diakhir abad ke-20 yang giat mengakibatkan gejala El Nino mendominasi. El Nino juga disebut sebagai episode hangatnya (warming episode) muka air laut kawasan tropis global Samudra Pasifik terkait dengan matahari yang giat.
Sebaliknya La Nina, terkait dengan episode dingin atau turunnya suhu muka laut global (cooling episode) kawasan ekuator Samudra Pasifik. Untuk episode dingin yang terjadi saat ini sepertinya juga seiring dengan matahari yang istirahat alias tidak tercatat adanya bintik sekitar periode 2019-2021 atau dengan kata lain terukur bintik kurang dari 10 bintik (sunspot) dalam sebulan.
El Nino mulai melemah dan menyusut kegiatan dan periodenya, tetapi sebaliknya, La Nina dengan periode basahnya mulai giat sejak 2010.
Namun semenjak awal tahun 2022, pemantauan Badan Penerbangan dan Ruang Angkasa Amerika Serikat (NASA) menunjukkan ada kegiatan yang sedikit meningkat di permukaan matahari. Mungkinkah hal ini kita rasakan semenjak memasuki bulan Mei yang notabene garis edar matahari kian jauh dari kawasan Indonesia yang berada di ekuator hingga belahan selatan. Artinya, meski kian jauh dari matahari yang beredar di belahan utara, suhu udara terasa hangat.
Di sisi lain, suhu hangat yang terasa selama Mei 2022 ini juga berasal dari pola tekanan udara. Berdasarkan data peta tekanan udara dari Biro Meteorologi Australia, tekanan udara kurang dari 1.010 milibar, normalnya 1.012-1.014 milibar. Tekanan rendah dalam hukum fisika terkait dengan suhu hangat dan udara mengumpul sehingga terasa gerah. Sebaliknya, suhu udara tinggi ada indikasi udara dari lapisan atas turun yang berkaitan dengan suhu udara dingin. Dan, suhu udara hangat di awal Mei 2022 juga kontribusi matahari yang sangat giat di atas proyeksi yang diprakirakan oleh para ahli matahari dari NASA.
Pergolakan lain yang terjadi dengan tekanan udara tinggi di Samudra Pasifik Utara meski matahari telah berada di belahan utara telah pula mengganggu perkembangan badai tropsi yang giat di kawasan Filipina. Sempat muncul dua badai tropis, tetapi setelah itu perkembangan badai tropis belum muncul.
Ketidakhadiran badai tropis di kawasan tertinggi pertumbuhan badai tropsi di muka bumi ini memberi sinyal bahwa kerancuan cuaca dan iklim belum berhenti. Ketidakhadiran ini ada peluang memberi pola yang menyimpang di tempat lain seperti di kawasan Indonesia, yaitu seperti kawasan Maluku Tengah yang mengalami periode puncak hujan sekitar pertengahan tahun.
Beruntung kawasan Nusa Tenggara yang mulai akhir Maret umumnya hujan berhenti, hingga pertengahan Mei kondisi curah hujan masih turun, menyambung pula di kawasan baratnya, seperti di Pulau Bali dan Pulau Jawa, yang sampai bulan Mei 2022 masih berkembang awan badai dengan hujan badai yang membawa konsekuensi bencana hidrometeorologi yang belum berkesudahan. Secara normal, bulan April merupakan akhir kegiatan awan badai yang berlanjut dengan memasuki musim kering, tetapi saat ini La Nina masih giat dan didukung dengan giatnya gelombang tropis MJO pada Mei 2022.
Ini semua merupakan sekilas perjalanan pergolakan cuaca dan iklim di wilayah Indonesia yang semua berasal dari kegiatan matahari yang mengalami pergolakan. Di lain pihak, perubahan muka bumi akibat ulah alam, yaitu gempa bumi dan aktivitas gunung berapi, atau ulah kita umat manusia yang menghilangkan hutan perawan telah melahirkan awan badai yang menyebabkan bencana hidrometeorologi basah yang tidak berkesudahan. Sebab, belum ada teknologi buatan manusia yang mampu meniadakan dan mentralisasi, seperti hujan badai yang terjadi di saat kegiatan lomba balap motor di Mandalika yang tidak lepas dari amukan sang awan badai kala itu. Itulah situasi dan kondisi pergolakan cuaca dan iklim tiada hentinya.