Biaya akreditasi perguruan tinggi bisa mencapai Rp 81,7 juta per prodi. Pembiayaan akreditasi bisa tidak berimplikasi kepada biaya tinggi pendidikan jika besarannya dibebankan secara adil dan proporsional.
Oleh
ASYARI
·5 menit baca
Akreditasi perguruan tinggi dan program studi memasuki era baru. Tujuh standar yang menjadi acuan penilaian kelayakan dan kualitas perguruan tinggi dan program studi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) sudah berakhir, dan migrasi ke sembilan kriteria 4.0 yang berorientasi kepada output dan outcome
Kini BAN-PT tidak lagi sebagai lembaga tunggal yang melakukan penilaian akreditasi. Ada tujuh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) menerima limpahan kewenangan BAN-PT dalam mengakreditasi program studi (prodi) menurut rumpun ilmu sesuai amanat UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PP Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Lembaga Akreditasi Mandiri diharapkan semakin memperkuat tata kelola penilaian akreditasi lebih profesional dan akuntabel. Namun di sisi lain, kehadiran Lembaga Akreditasi Mandiri memberikan implikasi biaya akreditasi penuh ditanggung perguruan tinggi.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Surat Nomor 87935/MPK.A/AG/01.00/2021 tertanggal 6 Desember 2021 telah menyetujui besaran biaya akreditasi program studi. Misalnya, setiap program studi bidang pendidikan yang akan diakreditasi Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan (LAMDIK) dan bidang Ekonomi, Manajemen, Bisnis, dan Akuntansi (LAMEMBA) dibandrol sebesar Rp 53 juta. Jika perguruan tinggi banding akan dikenai biaya Rp 29,7 juta. Total biaya akreditasi satu prodi sebesar Rp 81,7 juta. Tarif ini diberlakukan sama setiap perguruan tinggi. Padahal perguruan tinggi memiliki kemampuan finansial yang beragam.
Berdasarkan biaya tersebut, jika diasumsikan satu perguruan tinggi memiliki 10 prodi maka biaya agregat Rp 810 juta. Ada lebih kurang 9.575 prodi dalam cakupan LAMDIK dan LAMEMBA (Statistik PDDikti, 1 April 2022). Maka jumlah uang yang akan mengalir ke pundi-pundi LAM sebesar Rp 810 juta x 9.575 atau sebesar lebih dari Rp 7,755 triliun.
Alhasil, akreditasi menjadi unit cost baru dalam biaya operasional perguruan tinggi dan tentu akan membebani Uang Kuliah Tunggal (UKT) ke penerima jasa layanan pendidikan.
Hakikat akreditasi
Akreditasi perguruan tinggi merupakan kewajiban sesuai amar Undang-Uundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 60 dan 61), Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 47), Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 86,87, dan 88), dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi.
Hasil akreditasi dijadikan syarat bagi alumni atau lulusan untuk akses ke dunia kerja. Bagi pengambil kebijakan, akreditasi djadikan pertimbangan dan afirmasi dalam menditribusikan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP). Proposal-proposal proyek pengembangan dikaitkan dengan jumlah perolehan akreditasi A prodi di perguruan tinggi. Peringkat dan status akreditasi yang rendah menjadi contraint bagi lulusan/alumni berkiprah di dunia kerja.
Oleh karena itu, setiap perguruan tinggi harus memastikan bahwa proses jaminan mutu mulai perencanaan, penetapan, pelaksanaan, dan evaluasi berjalan baik serta berkelanjutan. Setiap nafas layanan pendidikan harus in-line dan tidak boleh menyimpang dari Standar Nasional Pendidikan.
Hasil akreditasi dijadikan syarat bagi alumni atau lulusan untuk akses ke dunia kerja.
Minim akreditasi
Data sampai per Maret 2021 jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang terakreditasi sebanyak 2.712 dari 4.537 perguruan tinggi, dan yang belum terakredtasi ada 1.825 perguruan tinggi. Jumlah prodi yang belum terakreditasi ada 6.893, dari total 23.646 prodi. Sebaran peringkat dan status prodi masih minim A (4.529 atau 15,20 persen) begitu pula perguruan tinggi yang meraih A sebanyak 99 (3,65 persen) (PDDIKTI, Maret 2021).
Secara eksplisit, data tersebut menjelaskan akreditasi menjadi masalah krusial di perguruan tinggi. Penting dilakukan saat ini adalah kebijakan yang pro peningkatan peringkat dan status akreditasi di perguruan tinggi agar hak pendidikan masyarakat terjamin kualitas dan standarnya. Kebijakan pembiayaan akreditasi tak lain akan menjadikan perguruan tinggi memiliki beban berat segulung batu.
Alternatif skema pembiayaan
Perguruan tinggi memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus akreditasi dan siap dengan segala kewajiban biayanya. Sesuai regulasi, perguruan tinggi yang tidak terakreditasi tidak boleh mengeluarkan ijazah dan dikenai sanksi pidana jika tetap mengeluarkan lulusan. Di pihak lain untuk terakredasi, perguruan tinggi harus menyiapkan kebutuhan sesuai tuntutan sembilan krtiteria yang terdiri; 1) visi, misi, tujuan, dan strategi; 2) tata pamong, tata kelola, dan kerja sama; 3) mahasiswa; 4) sumber daya manusia; 5) keuangan, sarana, dan prasarana; 6) pendidikan; 7) penelitian; 8) pengabdian kepada masyarakat; dan 9) luaran dan capaian Tridharma.
Pekerjaan untuk memenuhi tuntutan akreditasi tidaklah mudah dan murah. Infrastruktur perguruan tinggi baik soft maupun hard harus disiapkan, dan itu membutuhkan biaya (cost) yang tidak sedikit.
Kebijakan besaran biaya akreditasi program studi perlu dibuat lebih adil dan proporsional. Status perguruan tinggi bervariasi dan itu memiliki konsekuensi terhadap kemampuan keuangan. perguruan tinggi yang menyandang status PTN-BH dan PTN-BLU memiliki otonomi lebih luas dalam mengelola keuangan dan kemampuan dalam income generating dari sumber daya yang dimiliki. Berbeda dengan PTN Satuan Kerja (Satker) sumber pendapatan lebih bergantung kepada jumlah mahasiswa.
Sangat arif terhadap PTN-BH dan BLU tarif akreditasi dikenakan full karena kemampuan finansial relatif baik dan memiliki tata tamong dan tata kelola sudah established. Berbeda dengan PTN-Satker yang memiliki otonomi dan diversifikasi income sangat terbatas. Mereka perlu diberikan subsidi tarif karena keterbatasan yang dimiliki.
Bagi perguruan tinggi swasta (PTS) perlu dibuat klusterisasi dalam pembebanan biaya. Banyak juga PTS yang memiliki unit bisnis dan mampu meng-cover biaya akreditasi. Kelompok PTS ini dikenai tarif penuh.
Afirmasi perlu diberikan ke PTS yang kecil dan memilki jumlah mahasiswa terbatas. PTS kategori ini diberikan keringan tarif atau bahkan tarif Rp 0.
Pembiayaan akreditasi bisa tidak berimplikasi kepada biaya tinggi pendidikan jika besarannya dibebankan secara adil dan proporsional. Jangan sampai anak bangsa gagal mengapai cita-cita karena biaya pendidikan yang mahal. Semoga.