G20 dan Restorasi Ekologis
Langkah awal untuk restorasi ekologis adalah memahami nilai intrinsik dalam tiap ciptaan. Secara moral tanaman dan hewan masuk dalam komunitas hidup yang memiliki nilai intrinsik, sama seperti manusia.
Perhelatan G20 semakin mendekat. Kurang lebih enam bulan lagi, Indonesia sebagai ”pemegang stir” dan tuan rumah G20 di 2022 akan tampil untuk mempresentasikan sekaligus menjabarkan usaha apa saja yang telah dioptimalkan di hadapan pemimpin negara lainnya.
Salah satu ”pekerjaan rumah” yang diagendakan oleh Indonesia adalah memberi perhatian khusus kepada krisis iklim global (global climate change). Perhatian tersebut merupakan satu dari tiga isu prioritas Presidensi G20 dengan tajuk transisi energi berkelanjutan; anak dari agenda G20 dalam arus isu Sherpa Track.
Dengan mengelaborasi laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) Sixth Assesment Report dan pidato Antonio Guterres, Sekjen PBB, pada Februari 2022, diperoleh dasar urgensi agenda penanganan krisis iklim.
Baca juga: Darurat Iklim dan Alarm bagi Kemanusiaan
Sejak revolusi industri, polusi yang beracun dan penuh emisi karbon meningkat. Hal ini mengganggu ekosistem di alam, sehingga efek rumah kaca meningkat. Bumi kesulitan mengontrolnya. Sehingga, suhu di muka bumi turut meningkat.
Pada tahun-tahun terakhir ini suhu muka bumi naik hingga 1,5 derajat Celcius. Keadaan tersebut berpengaruh kepada pelbagai sisi kehidupan manusia dan siklus alam serta makhluk lainnya.
Antonio Gutteres menegaskan bahwa krisis tersebut menjadi satu peringatan keras dan berbahaya. IPCC pun turut mengingatkan agar setiap manusia menaruh perhatian serius untuk menangani situasi tersebut. Manusia juga harus melakukan restorasi besar-besaran agar tidak merasakan dampak yang sungguh mengerikan dari krisis tersebut.
Menelaah sampai ke akar
Memang, Indonesia – bekerja sama dengan negara lain – telah mencoba ragam cara mengatasi krisis global tersebut. Judul besar usaha yang dimaksud adalah menuju transisi hijau. Walau terkesan mengarah kepada hal ekologis, namun transisi menuju hijau mencakup aspek ekonomi, sosial-politik, dan moral.
Sekarang, muncul dua pertanyaan yang membutuhkan analisa yang tajam: apakah agenda untuk transisi energi, krisis iklim, dan ekologis dapat teratasi dengan baik? Dan, apakah sesungguhnya masih ada hal lain yang perlu dilakukan untuk mendukung transisi hijau demi restorasi bumi yang signifikan?
Sejatinya, apa yang diagendakan baik oleh negara Indonesia maupun forum G20 baik dan sungguh mulia secara moral dan ekologis. Namun, agenda itu masih ibarat obat yang memberikan ”efek tenang” agar bumi tidak memberi rasa sakit yang lebih parah.
Agenda itu masih ibarat obat yang memberikan ”efek tenang” agar bumi tidak memberi rasa sakit yang lebih parah.
Masih ada hal-hal penting yang harus ditinjau, agar restorasi terhadap bumi dapat berjalan dengan baik, berakselerasi, dan komprehensif. Restorasi tersebut harus sedapat mungkin sampai pada ”akar terselubung” yang pada satu sisi disadari, tetapi di sisi lain dianggap tidak ada.
Dalam tulisannya Environmental Ethics (1995), Robert Elliot memaparkan bahwa manusia telah lama hidup dalam teori bahwa segala sesuatunya terpusat pada manusia (human-centered ethic). Manusia dipandang sebagai jantung peradaban dunia.
Peningkatan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia adalah tujuan yang penting dan terutama di muka bumi. Sehingga, bumi dan segala isinya dipandang sebagai sarana atau fasilitas pendukung. Apa yang dianggap koheren dengan tujuan tersebut harus diupayakan, bahkan jika harus melakukan eksploitasi alam.
Baca juga: Gerakan Lingkungan untuk Selamatkan Bumi
Sejalan dengan fenomena tersebut, bertumbuh pulalah egoisme untuk berkuasa atas alam yang ditengarai oleh kemajuan teknologi. Pada akhirnya, manusia melupakan norma-norma ekologis, sosio-politis, dan moral dalam memakai kekayaan alam hari demi hari.
Hal inilah yang menjadi akar terselubung pertama yang harus direstorasi dan perlu dicabut. Agar, manusia tidak merasa menjadi penguasa tunggal dan tuan atas alam dan organisme di dalamnya. Sehingga krisis dan kerusakan ekologis yang sejatinya merembes kepada krisis manusiawi dapat diatasi dengan baik dan dari akar (sanatio in radice).
Memahami nilai intrinsik
Untuk itu, langkah awal dalam mengoptimalkan restorasi ekologis adalah memahami nilai intrinsik dalam tiap ciptaan. Tim Hayward dalam Ecological Thought: An Introduction menyatakan bahwa secara moral tanaman dan hewan masuk dalam komunitas hidup yang memiliki nilai intrinsik, sama seperti manusia.
Pandangan tersebut mengandung dua hal penting. Pertama, tiap makhluk hidup memiliki kebaikan dalam dirinya (bonum in se). Manusia dapat memanfaatkannya seturut kehendak dan kebutuhannya.
Kedua, organisme non manusia menjadi tampak dan sekaligus ditentukan oleh perkembangan yang penuh dari kekuatan biologis, hak untuk mewahyukan diri, dan keterlibatan yang esensial dalam siklus kehidupan. Efek logisnya adalah diperlukan perlakuan yang mengenal batas moral dan ekologis. Maka, kaca mata antroposentrisme tunggal dianggap tidak memadai dan diganti dengan sistem biosentris (life-centered ethic).
Tiap makhluk hidup memiliki kebaikan dalam dirinya ( bonum in se). Manusia dapat memanfaatkannya seturut kehendak dan kebutuhannya.
Jika paham tersebut mengakar dan tumbuh, koeksistensi di tengah bumi akan turut berkembang. Hal ini akan memberikan warna kepada toleransi dan sikap solider terhadap nilai intrinsik dalam relasi harmonis di antara sesama manusia maupun dengan non manusia. Toleransi itu sampai kepada nilai ”satu dalam keberagaman” (ones within diversity).
Peradaban baru
Langkah kedua adalah manusia merestorasi adab dan memulihkan peradaban yang telah digerogoti oleh egoisme untuk berkuasa. Hal ini harus dimulai dari merevisi falsafah hidup manusia terhadap alam ciptaan dan organisme di dalamnya.
Thomas Berry dalam Evening Thoughts (2006) melihat bahwa manusia kelihatannya tidak menghargai keajaiban yang mempesona atau dimensi kudus yang terwujud di alam. Manusia dalam abad-abad pasca revolusi industri kurang menyadari atau bahkan mengabaikan kekudusan dan keberadaan nilai luhur alam semesta.
Baca juga: Spiritualitas Peka Lingkungan Hidup
Berkembanglah falsafah hidup yang terarah kepada utilitarianisme dan pragmatisme yang sekadar mengincar keuntungan yang dapat digarap dari alam semesta. Tidak sedikit manusia yang terlibat aktif dalam cara pikir dan pola hidup demikian.
Untuk itu, diperlukan pembaruan falsafah hidup. Menurut Berry, filsafat hidup yang menghargai serta menghormati alam dan segala isinya perlu ditanamkan dan dikembangkan dalam hidup sebagai satu komunitas ciptaan Tuhan.
Prinsip ekologis
Setelah merevisi falsafah hidup, diperlukan prinsip-prinsip etis yang mendukung perhatian kepada krisis ekologis. Robert E Goodin dalam Ethical Principles for Environmental Protection (1983) membagi prinsip tersebut dalam beberapa uraian.
Prinsip pertama adalah mengkaji ulang sikap utilitarianisme demi mendahulukan kepentingan dan kesejahteraan umum yang memandang batasan dalam pememuhan kebutuhan. Prinsip kedua adalah memperjuangkan pengawetan dan perlindungan terhadap alam dan organisme di dalamnya.
Pengawetan yang dimaksud bukan suntikan formalin. Melainkan, menjaga agar perusakan global dan berbahaya terhadap lingkungan tidak terjadi. Hal ini juga perlu diwujudkan dalam komunitas manusia yang mengalami ancaman perang dan genosida.
Prinsip ketiga adalah melakukan pertimbangan untung-rugi dalam suatu pemilihan yang terjadi dalam konteks ekonomi, sosial-politik, dan ekologis.
Prinsip keempat adalah menaruh perhatian untuk melindungi kelompok lemah (option for the weak). Prinsip ini hendak memberi perhatian kepada jenis atau kelompok tetumbuhan dan hewan yang sungguh lemah namun berpengaruh dalam menjaga kestabilan ekosistem di bumi secara global. Selain itu perlu juga memberi perhatian pada kelompok manusia yang lemah.
Prinsip keempat adalah menaruh perhatian untuk melindungi kelompok lemah ( option for the weak).
Kemauan mendengarkan
Langkah terakhir dalam restorasi ekologis adalah manusia harus membuka mata dan telinga untuk melihat dan mendengarkan jeritan alam yang sudah porak-poranda. Sebab, sudah cukup lama manusia terbuai dan terlena dalam kebutaan dan kebisuan ekologis.
Kemauan untuk mendengarkan menjadi kunci untuk merestorasi komunikasi ekologis. Apa yang tengah terjadi di alam dengan pelbagai krisis adalah bahasa nonverbal alam untuk didengarkan oleh manusia. Sekaligus, alam meminta agar manusia bertindak dengan segera.
Selain terhadap alam, manusia juga harus mendengarkan suara dari sesamanya. Sebab, krisis ekologis tidak hanya terjadi dalam tatanan kelas manusia dengan organisme non manusia, tetapi manusia dengan sesamanya.
Paus Fransiskus dalam Pesan pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia Ke-56 yang jatuh pada 29 Mei 2022 menyerukan agar manusia ”mendengarkan dengan telinga hati”. Diksi yang digunakan oleh Paus Fransiskus tersebut sungguh kuat dan mendalam.
Manusia saat ini tidak memiliki pendengaran sempurna untuk mendengarkan orang lain, walau memiliki telinga yang lengkap. Karena, telinga hati (batin) sudah tuli.
Manusia lebih senang mencari konsensus daripada menemukan komunikasi yang benar, tulus, empati, dan jujur. Sehingga, komunikasi tidak berbobot dan kacau.
Agar manusia tergerak untuk melakukan pembaruan, baik telinga fisik dan hati harus sehat dan mampu mendengarkan. Sehingga, tidak ada lagi invasi, perang, dan penghancuran.
Invasi, perang, dan penghancuran bukan hanya menghancurkan relasi manusia dengan manusia, tetapi manusia dengan alam. Sebab, mau tak mau serangan demi serangan pasti akan merusak alam sekitar yang dalam dirinya tidak bersalah atau berdosa.
Baca juga: Relasi Manusia dengan Alam Tertuang dalam Semua Ajaran Agama
Kita perlu menyadari, bahwa telah lama kita menjadi ”anak hilang” yang meninggalkan ibu bumi serta menghambur-hamburkan kekayaannya demi kepuasan ekonomi, teknologi, dan nafsu tak terkendali (Lukas 15). Kita juga telah lama melepaskan polusi dan sampah beracun ke bumi tanpa rasa salah atau dosa sehingga bumi rusak dan mengalami krisis.
Saatnya, kita sebagai masyarakat Indonesia dan para pionir transisi hijau kembali ke ibu bumi dan melepaskan diri dari belenggu kenikmatan (hedonisme). Saatnya kita kembali merajut relasi yang restoratif dengan bumi dan organisme di dalamnya.
Perhatian dan harapan serta ajakan di atas sungguh menjadi agenda fundamental yang mendukung percepatan restorasi ekologis berdimensi sosial, politik, dan moral. Hal ini menjadi semangat bersama lewat tema G20 yang disampaikan Indonesia, yakni ”Recover Together, Recover Stronger”. Semoga cita-cita luhur bersama di atas makin terwujud. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan - Divisi Keutuhan Ciptaan; Biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM)