Mudik, Kangen-kangenan sembari Mengakrabi Kota Asal
Mudik menuntaskan kangen makin lengkap dengan mengenal lapis demi lapis sejarah kota asal. Ditempa berbagai dinamika era prakolonial, kolonial, hingga pasca-kemerdekaan, kota-kota selalu memiliki kesamaan juga perbedaan.

Mudik ke mana Lebaran tahun ini? Daerah mana pun tujuan mudik, selain bersua keluarga besar, banyak rasa, aroma, juga visual masa lalu dari kota asal yang menggumpal menjadi kenangan dan selalu memantik keinginan untuk kembali.
Setelah berkumpul bersama orangtua dan keluarga besar sambil menyantap makanan favorit masa kecil, mengunjungi sudut-sudut kampung halaman biasanya menjadi agenda selanjutnya. Wisata alam yang diramu dengan pelbagai permainan dan lokasi foto kekinian, kafe-kafe, mal, hingga taman rekreasi ala Ancol¡—yang kini bermunculan menjamur di banyak daerah di luar Jakarta—menjadi pilihan utama.
Tren perkembangan kota-kota itu memicu kritik dari para pemerhati maupun ahli. Kota-kota kita disebut menuju ke keseragaman dan menjemukan. Sedemikian buruk dan tidak otentikkah kota-kota kita?
Mari mencoba menjelajah dan menggali sisi-sisi kota kita. Salah satunya bisa dengan menelisik adakah peninggalan masjid kuno, gereja tua, candi, bekas benteng peninggalan Belanda dan jejak kerajaan di era dominasi pengaruh Hindu-Buddha hingga Islam di Indonesia. Peninggalan-peninggalan tersebut bak permata tersembunyi yang membantu mengenal akar sosial budaya suatu daerah.
Baca juga: Kisah Lebaran Rasdullah Si Tukang Becak Calon Gubernur
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2017%2F11%2F22%2Ffb9f757a-65bb-4ec4-af9a-8f27a8225fb5_jpg.jpg)
Area Kori Kamandungan Keraton Surakarta di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
Kota Surakarta atau yang lebih akrab disebut Solo di Jawa Tengah, misalnya, selama ini publik mengenalnya sebagai kota ”kaum abangan”, meyakini kepercayaan turun-temurun melebihi agama yang datang kemudian. Kota sejarah hidup di antara dua keratonnya yang terpisah dan masih satu keturunan dari Kerajaan Mataram Islam, seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Namun, Solo tidak hanya itu. Kota ini juga dekat dengan kawasan Gunung Lawu yang sarat dengan peninggalan dari era sebelum pengaruh Islam masuk. Beberapa candi dari masa Hindu-Buddha di lereng Lawu juga disebut ada yang memiliki kemiripan struktur bangunan dengan era sebelumnya.
Pada masa sekarang, kota kecil berusia tua ini menorehkan sejarah sebagai tempat istimewa bagi dua presiden republik ini. Dinasti penguasa negeri ini berikutnya kemungkinan juga lahir di Solo menyusul dinasti-dinasti keluarga penguasa yang lebih dulu mengakar kuat.
Seperti tak terpengaruh oleh pusaran politik di tingkat nasional maupun lokal itu, sebagian warga Solo nyaman lekat dengan ciu, baik sebagai pembuat minuman lokal beralkohol itu maupun pengonsumsinya. Ada kaum pedagang yang cukup mendominasi ekonomi kota, tetapi ada pula tukang becak, tukang parkir, sampai kuli angkut Pasar Klewer atau Pasar Legi yang hidup pas-pasan.
Tradisi dan budaya yang telah lebih dulu terbentuk berkat tempaan dinamika banyak pengaruh di era sebelumnya akan menerima dan mengolah setiap pengaruh baru. Hasilnya adalah pembauran budaya yang akan menjadikannya lebih membumi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F03%2F05%2F684b0740-c255-4e9f-8169-81e28cc6dd29_jpg.jpg)
Warga mengangkut dagangan di Pasar Klewer, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah, Kamis (5/3/2020).
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F05%2F82d374c6-1583-4316-ab6b-5d1a84c0584b_jpg.jpg)
Kawasan Pasar Gede di Kota Surakarta, Jawa Tengah, yang bersolek sambut Idul Fitri, Rabu (3/5/2022).
Di luar itu, kuliner Solo masih dikenal dengan ”Kota Gudeg Basah” yang berbeda dengan gudeg kering yang dominan ditemukan di Yogyakarta. Solo juga dikenal dengan kota nasi liwet yang berbeda pula dengan nasi liwetnya daerah Jawa Barat.
Jika kota diibaratkan sebagai manusia, setiap kota memiliki irisan memori baik maupun buruk warisan pendahulunya yang tertanam di ingatan, dalam bentuk sistem atau keyakinan yang dianut, juga benda-benda yang diturunkan dari generasi ke generasi. Warisan tersebut lantas diperkaya oleh berbagai hal yang dialami sendiri sepanjang persentuhan setiap generasi dengan banyak situasi sejak lahir sampai tumbuh dewasa.
Semua itu menjadikan setiap generasi utuh menjadi dirinya sendiri sepanjang masa hidupnya. Proses serupa melekat pada perjalanan kota-kota. Pada dasarnya, kota ada karena manusia-manusia pendukungnya, penciptanya.
Baca juga: Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Setiap kali pengaruh besar datang menancapkan kuasanya atas suatu daerah, ada sebagian identitas lama yang hilang, tetapi sebagian lagi berbaur. Setiap era atau pengaruh besar dari luar yang merangsek masuk selalu memunculkan keseragaman pada setiap daerah yang tersentuh. Ditemukan kesamaan arsitektur candi, masjid, sampai kota tua masa kolonial di banyak kota di Indonesia. Meskipun ada kesamaan, tidak berarti kawasan-kawasan itu berkembang sama persis.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F07%2F20%2Ff402b225-0770-4d70-8f03-42898d395469_jpg.jpg)
Wisatawan mengunjungi Candi Sukuh di Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (20/7/2020).
Kota-kota juga menjadi saksi bagaimana sekelompok orang, yang jika dilihat dari komposisi masyarakat sebenarnya minoritas, tetapi mampu berkuasa penuh hingga berabad-abad lamanya.
Masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa sampai Jepang di Indonesia membuktikan hal tersebut. Para pendatang itu membawa kekuatan senjata, uang, dan keyakinannya untuk diinfiltrasi secara paksa kepada negara jajahannya. Perlawanan selalu ada, tetapi pembauran pun terjadi bersamaan. Saling memberi pengaruh.
Ada kota-kota yang dikenal gigih menolak berpihak kepada kolonial, seperti Yogyakarta dan Surabaya. Hal tersebut menaikkan harga diri mereka hingga sekarang. Di sisi lain, area kota tua yang sarat pengaruh penjajah pun kini justru turut membentuk identitas di banyak kota yang membanggakan warganya di era modern ini.
Semarang dengan kota tuanya punya rasa, aroma, dan visual yang berbeda dengan Solo beserta Benteng Vastenburg, juga Yogyakarta dan Benteng Vredeburg-nya. Kombinasi Vastenburg, Gladak, Alun-alun, Keraton Surakarta, dan Pasar Klewer membentuk ciri khas lintas era yang hanya ditemukan di Solo. Ini serupa dengan Malioboro, Vredeburg, Gedung Agung, Alun-alun dan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang merupakan satu kesatuan kawasan ikonik yang hanya ada di DIY.
Baca juga: Sejarah Ibu Kota Negara: Simbol Representasi Bangsa yang Cenderung Elitis
Di masa kini, pengaruh lain yang dinilai lebih modern berkat kecanggihan teknologi dan komunikasi, menularkan keseragaman baru. Duplikasi dan modifikasi tulisan ”I Love Amsterdam” di bandara Schipol, Amsterdam, Belanda, menjadi salah satu contohnya. Kini, tulisan dan tanda serupa mudah ditemukan di kota-kota di Indonesia. ”I Love Medan”, ”I Love Solo”, sampai ”I Love Jayapura” dengan lambang hati berwarna merah tercetak di kaus, ada di pernak-pernik buah tangan, di tempat-tempat yang menjadi ikon kota.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F01%2F03%2F84c50457-1bf2-43ec-a9ef-c6b1d5eba733_jpg.jpg)
Fasilitas spot foto di Curug Cipamingkis, Desa Sukamakmur, Jonggol, Kabupaten Bogor, Sabtu (21/12/2019)
Ibaratnya, jika ada tren baru yang muncul di New York, Amerika Serikat, hari ini pun dapat langsung disalin ulang dan muncul esok hari di Jakarta, misalnya. Hubungan memengaruhi-dipengaruhi itu kini makin cair secair arus informasi yang dalam hitungan detik bisa mengalir dari ujung belahan bumi utara ke ujung selatan.
Ini bagian dari pembentukan kota yang memang menjadi proses tanpa akhir. Tradisi dan budaya yang telah lebih dulu terbentuk berkat tempaan dinamika banyak pengaruh di era sebelumnya akan menerima dan mengolah setiap pengaruh baru. Hasilnya adalah pembauran budaya yang akan menjadikannya lebih membumi. Demikian akan seterusnya berulang.
Baca juga: Catatan Urban
Kota-kota akan selalu memiliki rasa serupa sekaligus berbeda dengan daerah lain. Itu yang membuat setiap kota itu khas. Kekhasannya dari generasi ke generasi dan dari satu era ke era lain bisa berubah, tetapi ada benang merah yang menghubungkannya dengan masa lalu.
Hal tersebut membuat kita selalu menemukan sensasi baru dari kota yang telah lama kita kenal. Kenangan itu selalu bisa membuat jatuh cinta kembali, merindu, lantas menarik kita pulang dan pulang berulang kali. Ya, setidaknya sampai kesempatan mudik tiba lagi tahun depan.