Biografi Pertama Sejarawan Perempuan, Untuk Bung Karno dan Taman Siswa
Satu lagi biografi menarik seorang penulis sejarah yang produktif dan wartawan handal tersedia bagi publik Indonesia. Selain sebagai ahli sejarah pergerakan, terutama Taman Siswa ia sesungguhnya bagian dari sejarah.
Satu lagi biografi menarik seorang penulis sejarah yang produktif dan wartawan handal tersedia bagi publik Indonesia. Ditulis secara populer oleh sastrawan kondang Eka Budianta, penerbitan ini dimaksudkan sebagai upaya pendokumentasian sosok Irna Hadi Soewito (IHS) secara utuh, mulai dari perjalanan hidupnya sejak lahir hingga kontribusinya yang berarti terhadap sejarah dan historiografi pada ranah diskusi publik di Indonesia.
Pada tahun 2022 ini, sebagai sosok cerdas, multi-talenta, pemberani dan bahkan nekad, IHS merayakan ulangtahunnya yang ke-89. Di usianya yang tidak muda lagi, daya ingat sejarahnya ternyata masih tajam. Semangat nasionalisme dan patriorismenya juga masih menyala-nyala seperti sosok IHS yang dikenal pada era 1980 dan 1990-an.
Hal itu antara lain tampak saat terakhir IHS menjadi narasumber webinar Hari Pendidikan 2 Mei 2021 dengan tajuk ‘Menyambut 100 tahun Taman Siswa’. Dalam kesempatan itu IHS banyak melontarkan anekdot-anekdot sejarah yang menarik, imajinatif dan berharga tentang tokoh-tokoh di antaranya SK Trimuri dan Hartini Soekarno. Antusias dan komentar-komentarnya itu pun dianggap sangat menginspirasi.
Satu lagi biografi menarik seorang penulis sejarah yang produktif dan wartawan handal tersedia bagi publik Indonesia.
Keahlian dalam memunculkan sejarah yang lebih imajinatif tidaklah mengherankan. Selain sebagai ahli sejarah pergerakan, terutama Taman Siswa dan Ki Hadjar Dewantara, ia sesungguhnya bagian dari sejarah Indonesia itu sendiri. Dilahirkan di Kediri di lingkungan keluarga priayi masa kolonial Belanda pada 1933, ia pun tumbuh menjadi perempuan mandiri yang sarat dengan pengalaman-pengalaman hidup karena melewati masa Jepang, Revolusi, Republik, Orde Baru hingga Reformasi. Lingkungan keluarga dan jaringan teman serta kerabatnya yang luas seperti ditunjukkan dalam buku ini juga menjadi sumber yang tak habis-habisnya untuk menciptakan detail sejarah yang lebih hidup dalam tulisan-tulisannya.
Sejak 1980-an, IHS memang dikenal sebagai penulis sejarah dan editor buku yang produktif. Tercatat 26 buku dan artikel sejarah telah dihasilkannya (Lihat Daftar bacaan dan bibliografi karyanya di hlm 166). Disiapkan selama 13 tahun bersama sejarawan Dr Nana Nurliana dan Soedarini Suhartono, buku ‘Awal Kedirgantaraan Indonesia’ menjadi karya terakhirnya pada tahun 2008 yang muncul saat usinya mencapai 75 tahun. Kenyataan ini membuktikan betapa banyak tersebarluasnya tulisan selama karirnya sebagai sejarawan sampai sekarang.
Selain sebagai ahli sejarah pergerakan, terutama Taman Siswa dan Ki Hadjar Dewantara, ia sesungguhnya bagian dari sejarah Indonesia itu sendiri.
Bung Karno dan Taman Siswa
Meskipun hanya ingin mendedikasikan biografinya bagi ayah dan ibundanya yang banyak berjasa bagi kehidupannya, penulisnya menyarankan agar buku ini baiknya diberi judul “Untuk Bung Karno dan Taman Siswa”. Saran itu jelas bukan tanpa alasan. Eka Budianta menulis “sentuhan yang paling saya rasakan adalah kedekatan Ibu Irna dengan Bung Karno. Meskipun dalam perjumpaan yang sederhana membelikan kue ketika kereta api Bung Karno berhenti di stasiun Kediri, Irna sempat berseru ‘Untuk Bung Karno!’. Hal ini telah memberikan semangat kepada masyarakat untuk mencintai pemimpinnya. (hlm x).
Pada bagian lain buku ini, dijelaskan mengenai kedekatan IHS dengan Hartini Soekarno. Dari semula membenci karena kesetujuan Hartini dengan poligami, HIS malah kemudian menjadi salah seorang teman terdekat Hartini selama hidupnya. Di hari tuanya kini, HIS membuka usaha kuliner yang dikelola bersama suaminya. Konon resep rawon yang lezat di restoran itu didapat dari Hartini Soekarno sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi usahanya.
Soal Taman Siswa, bagi IHS lembaga ini memiliki tempat yang khusus karena ia bersekolah di sini. IHS juga hadir dalam upacara penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa kepada Ki Hadjar Dewantara saat ia masih menjadi mahasiswa sejarah di UGM. Skripsi sarjana yang diselesaikannya di jurusan sejarah UI adalah berjudul ‘Soewardi Soerjaningat dalam Pengasingan’(1980). Selain itu, IHS dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan banyak tokoh pergerakan dan revolusi termasuk di antaranya Nyi Dewantara, tokoh pejuang wanita Lasmijah Hardi yang masih kerabatnya, SK Trimurti, Haryati Soebadio dan masih banyak lagi. Ia juga dekat dengan sejarawan-sejarawan terkemuka seperti Sartono Kartodirdjo, Onghokham dan tokoh-tokoh kebudayaan dan politik seperti WS Rendra, Teguh Karya, Ali Sadikin juga tokoh-tokoh kontroversial nasionalnya.
Bukunya menjadi acuan penting bagi penulisan sejarah.
Jelaslah sejarawan dan pemerhati sejarah yang mengkhususkan minat pada sejarah pergerakan dan revolusi sudah lama akrab dengan tulisan-tulisan IHS. Bukunya menjadi acuan penting bagi penulisan sejarah. Tanpa usaha gigih IHS mengumpulkan data-data sejarah yang tercecer, mungkin saja topik-topik tersebut tidak dapat ditulis dan dikembangkan. Karya sejarah IHS menurut penulisnya turut dikoleksi oleh sebanyak 210 perpustakaan di luar negeri (hlm 3), sebagian dalam dwibahasa. Kenyataan ini membuktikan tempat IHS yang cukup istimewa dalam historiografi Indonesia.
Kedudukan HIS dalam Historiografi
Bagaimana sesungguhnya kedudukan IHS sebagai sejarawan Indonesia? Pengantar yang ditulis sejarawan FX Domini BB Hera (hlm xiii - xxxiv), telah dengan panjang lebar menjabarkan hal itu, sehingga menolong pembaca buku ini untuk mudah mengerti mengapa buku ini tidak saja penting namun juga bisa disebut sebagai biografi perdana sejarawan perempuan Indonesia.
Sebenarnya terbitnya biografi IHS ini sesuatu yang tidak biasa sebab Sejarawan di mana saja pada umumnya memang lebih berkutat dengan penelitian dan penulisan sejarah ketimbang tentang dirinya. Namun sebenarnya perlukah seorang sejarawan menyiapkan biografi atau menulis otobiografinya sendiri?
Seperti yang diargumentasikan sejarawan AJP Taylor dalam Personal History (1983), sebenarnya ada bahayanya bila seorang sejarawan memutuskan menulis otobiografi atau biografinya sendiri, bila ia tidak berhati-hati dalam pengontrolan seleksi atas data yang digunakan. Buku biografi bagaimanapun sudah bertendensi subyektif dan cenderung lebih mengungkapkan segi kehebatan tokohnya ketimbang apa yang sesungguhnya terjadi. Bukan rahasia lagi sebuah karya biografi lebih menampilkan episode-episode hebat dalam kehidupan seseorang dan sengaja atau tidak telah menghilangkan atau menutup-nutupi kegagalan mereka.
Jadi sebenarnya menuliskan biografi suatu biograti atau otobiografi khususnya sejarawan amat menantang. Namun hal itu juga sepertinya bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sebagai contoh, ketika menuliskan biografi sejarawan UI Dr Onghokham, Prof David Reeve mengatakan ia tidak akan melupakan pesan almarhum Ong agar tidak segan-segan menuliskan semua aspek tentang dirinya tanpa tedeng aling-aling, demi kebenaran sejarah asal didukung oleh sumber yang sahih. Sesuai dengan semangat mencari obyektivitas setinggi-tingginya, biografi itu rencananya diberi judul “To Remain Myself : A History of Onghokham” (forthcoming, Singapore 2022).
Lebih jauh lagi, sesungguhnya, aspek kehidupan seorang sejarawan tidak harus melulu yang menjadi fokus suatu karya biografi meskipun penting. Prof Jean Taylor dari University of New South Wales pernah menyatakan bahwa selain menghasilkan karya sejarah, seorang sejarawan sesungguhnya patut mempertimbangkan juga untuk menuliskan proses-proses sampai karyanya diterbitkan. Tulisan-tulisan seperti itu, tentu bisa dimanfaatkan oleh sejarawan lain yang ingin memahami secara lebih holistik atas proses, metode dan kesulitan-kesulitan profesional sejarawan lain.
Sebagai model menuliskan biografi?
Buku biografi ini sebenarnya dapat dijadikan model bagi mereka yang ingin menuliskan biografi sejarah dan sejarawan. Sebab, selain mengungkapkan hidup dan perjuangan sosok IHS, juga menampilkan proses-proses di belakang karyanya, Hal ini terutama dijelaskan dari bab VIII yang berjudul ‘Di Balik Samudra Merah Putih’ hingga bab akhir yang berjudul ‘bertemu Jiwa Sejarah’.
Ada banyak hal yang dapat kita pelajari pada bab-bab itu. Sebagai kolega dari di UI yang banyak bekerjasama dengan IHS, Dr Nana Nurliana mengatakan ‘Keistimewaan Bu Irna dalam menulis adalah gaya penulisannya yang populer dan menekankan human interest tanpa meninggalkan kaidah ilmiah metode sejarah’ (hlm 61). Kreativitasnya dan kekayaan imajinasinya terlihat ketika menulis sejarah peristiwa Ikada. Semula buku itu akan diberi judul ‘Peristiwa Ikada, 19 September 1945’, namun Irna menciptakan judul yang lebih tepat dan menarik yaitu ’Samudra Merah Putih’ yang menggambarkan semangat rakayt Jakarta yang menggelora. Buku ini konon begitu popular dan terbit berulang-ulang. Ia menjadi pembicaraan hangat di mana-mana dan untuk waktu yang sangat lama (hlm. 112).
Sejarawan dari generasi yang lebih muda seperti FX Domini BB Hera lebih jauh meng-klaim terdapatnya identitas IHS sebagai sejarawan perempuan yang tidak pernah diungkapkan. Menariknya, tidak ada satu kalimatpun dalam buku ini yang memperlihatkan klaim dari IHS. Namun bila meneliti lebih lanjut karya-karyanya, tema-tema yang ditulisnya memang sarat dengan upaya mengangkat suara pejuang-pejuang perempuan. Hal itu antara lain diperlihatkan dalam buku ‘Lahirnya Kelasykaran Wanita dan Wirawati Catur Panca’ (1992), ‘Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam kancah Revolusi ’45’ dan ‘Wanita pejuang, paguyuban Wanita Pejuang (2005). Lebih jauh lagi, sesudah Reformasi, IHS ternyata ikut memperjuangkan kans yang lebih besar bagi perempuan agar semakin banyak yang bisa dinobatkan menjadi pahlawan nasional (hlm 3).
Sesudah lulus dari UI dan menjadi dosen luar biasa di jurusan Sejarah Universitas Indonesia selama periode 1980-1995, IHS mulai dikenal sebagai satu dari sedikit sejarawan Indonesia perempuan. Karena memiliki kontak-kontak berharga dengan tokoh-tokoh sejarah penting, mahasiswanya, ia mendapat akses mewawancarai mereka guna riset-riset sejarah.
Khususnya bagi mahasiswa tingkat akhir, ia kerap mengundang mereka ke rumahnya di Polonia Jakarta Timur untuk mendalami sejarah pergerakan dan revolusi yang menjadi keahliannya. Menurut penuturan dari mantan mahasiswanya, di rumahnya, setiap bab-bab karya sejarah babon dari Ben Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 dan Nationalism and Revolution Indonesia dari McTurnan Kahin), didiskusikan untuk persiapan menghadapi ujian komprehensif. Lewat cara-cara seperti ini, generasi sejarawan muda Indonesia dipersiapkannya untuk siap di masyarakat.
Tidak sedikit mahasiswanya yang diajaknya mengikuti kegiatan-kegiatan ilmiah dan semi ilmiah yang diselenggarakan Majalah Sarinah atau dalam kegiatan dalam Wirawati Catur Panca, yaitu wadah para wanita pejuang yang berkedudukan di Gedung Juang Menteng Raya. Memang selain mengajar di UI, IHS pada saat yang sama bekerja sebagai wartawan di majalah wanita yang popular itu, di mana ia sempat menulis sebanyak 250 artikel sejarah populer.
Lewat cara ini, IHS tampaknya telah turut berkontribusi menjembatani kesadaran sejarah di lingkungan yang lebih luas, suatu peran yang dilakukan sejarawan publik Dr Onghokham pada masa yang bersamaan. Tulisan-tulisan Onghokham itu antara lain sudah dalam “Wahyu Yang Hilang, Negeri Yang Guncang” (Gramedia 2018) yang merupakan kumpulan tulisan populer sejarah di majalah Tempo).
Menurut sejarawan Kasijanto, Prof Harsya Bahtiar, sang pembimbing HIS, sekitar 1987 pernah menyatakan ilmu sejarah membutuhkan media yang dapat mnyebarluaskan kisah-kisah sejarah seperti yang majalah Sarinah itu ( Hlm. 127). Sayangnya, ke 250 artikel IHS di Sarinah itu justru luput untuk disertakan dalam biografi ini meskipun penting.
Diterpa isu ‘tidak bersih lingkungan’
Upayanya mengundang mahasiswa belajar di rumahnya ketimbang di kampus pernah dituduh sebagaiusahanya membuat kelas bayangan yang ilegal. Yang lebih parah lagi juga muncul tuduhan dirinya tidak bersih lingkungan sesudah 15 tahun menjadi dosen luar biasa di Sejarah UI. IHS dicurigai terlibat atau terindikasi gerakan makar yang dikaitkan dengan kegiatan misi kesenian Indonesia yang diikutinya di negara-negara komunis sebelum tahun1965. Isu itu, bagi mantan kolega dan mahasiswanya seperti saya terdengar begitu mengagetkan.
Sesudah tidak aktif lagi di UI, IHS menjadi figur publik yang dekat banyak tokoh nasional seperti sejumlah menteri, pejabat, pengusaha, wartawan dan sebagainya. Sejumlah foto-fotonya dengan orang tersebut dapat dilihat pada lampiran album foto di hlm 203). Lama IHS tidak terdengar aktivitasnya sesuatu. Namun salah satu pencapaian jurnalistik terbaiknya adalah ketika ia berhasil bertemu dan mewawancara Daud Beureuh yang dicap pemerintah tokoh pemberontak di Aceh pada 2006.
Biografi yang meninspirasi
Terbitnya biografinya ini tampaknya menjadi forum yang amat tepat untuk membersihkan namanya yang tercemar hampir selama 3 dekade membuatnya menderita. Dalam buku ini ditunjukkan ia tidak bersalah dan ditunjukkan proses interograsi dan pemeriksaannya yang menyertainya cukup detail dijelaskan pada hlm 58.
Buku biografi ini adalah sangat menarik dan perlu dibaca secara luas bukan hanya di lingkungan sejarah dan sejarawan saja. Kisah perjalanan hidup sosok IHS dan kontribusinya yang luas bagi masyarakat adalah sesuatu yang lebih dari sekadar bidang sejarah itu sendiri. IHS adalah perempuan perkasa, pribadi unik, sejarawan, wartawan dan ibu dan perempuan yang menjadi teladan bagi keluarganya baik ketika dalam masa pencapaian maupun dalam periode titik terendah dalam hidupnya. Kisah-kisah hidupnya terdengar sangat asyik unruk dibaca berkat sifat keberanian dan kenekatannya.
‘Semua masalah pasti dapat diselesaikan asal mau berusaha”, katanya.
Adalah menarik membaca pesan di epilognya (hlm. 161) yang menyatakan “Keturunanku jangan ada yang nekat seperti aku. Apa pun yang sudah kualami bagaikan suatu misteri.” Buat saya, pesan ini justru ironis dan bertolak belakang dengan kisah-kisah yang menarik dan menginspirasi dalam biografi ini. Bukankah kenekadan dan keberanian merupakan dua kata kunci HIS di balik kisah-kisah inspiratifnya selama masa muda hingga karirnya?
Iskandar P Nugraha, sejarawan lulusan Universitas Indonesia dan University of New South Wales. Penulis, editor, peneliti dan konsultan sejarah yang bermukim di Newcastle Australia.
Judul buku : Untuk Bung Karno dan Taman Siswa: Biografi Irna HS Hadi Soewito
Penulis/Editor : Eka Budianta
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun terbit : Cetakan I, 2022
Tebal : xxxii + 219 hlm
ISBN Cetak : 978-602-481-662-9
ISBN Digital : 978-602-481-663-6