Bumi tidak bisa mengharapkan kebijakan lingkungan, maka gerakan lingkunganlah yang dapat menggantikan peran kebijakan lingkungan. Karena itu, perlu redefinisi gerakan lingkungan agar berkelanjutan ke depan.
Oleh
RACHMAD K DWI SUSILO
·5 menit baca
Hari Bumi yang kita peringati setiap 22 April semakin menyadarkan kita kepada kondisi bumi yang kian rusak. Kesadaran ini senapas keprihatinan Senator Amerika Serikat Gaylord Nelson pada polusi udara dan penggunaan insektisida yang membahayakan pada tahun 1970. Keprihatinan ini menggelinding cepat sampai kini diperingati sebagai Hari Bumi.
Terkait persoalan di atas, status bumi kini memprihatinkan. Dunia memproduksi 35.753.305.000 ton emisi karbon (2016), sementara Indonesia memproduki 530.035.650 ton emisi CO2 (2016) (https://www.worldometers.info/co2-emissions). Krisis lingkungan terjadi dalam tataran global, setiap tahun erosi tanah dan bentuk degradasi lahan merampas 5 juta-7 juta hektar lahan pertanian dunia. Selain itu, setiap tahun 25.000 juta ton tanah lapisan atas hanyut (https://www.fao.org).
Ironisnya, kondisi ini tidak disebabkan oleh ”kosongnya” kebijakan lingkungan dan sumber daya alam. Malahan, surplus pengetahuan membuat kebijakan-kebijakan lingkungan demikian lengkap. Di level lokal, etika atau kearifan lokal yang berisi penghormatan kepada lingkungan masih ada sebagai pemandu masyarakat. Selain itu, lahir regulasi ekologis yang mengatur pencemaran, penghijauan, pengelolaan sampah, energi baru terbarukan, dan lain-lain.
Kebijakan nasional mengatur jaminan hak-hak lingkungan bagi warga, partisipasi masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Belum lagi ratifikasi global/internasional seperti regulasi tentang pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, biodiversitas, mekanisme pembangunan bersih, dan human security.
Dalam penyelamatan bumi secara masif, sejatinya kebijakan merupakan pilihan strategis sebagai bentuk kehadiran negara. Negara mampu mencegah dan mengelola sumber daya alam dengan menyeimbangkan banyak kepentingan. Sayangnya, negara tidak selalu berhasil menjalankan tugas tersebut. Untuk itu kita membutuhkan upaya di ”luar” kebijakan, gerakan lingkungan sebagai alternatif untuk menyelamatkan bumi.
Gerakan lingkungan
Gerakan lingkungan merupakan salah satu bentuk gerakan sosial seperti dinyatakan Carthy dan Zald (1973) sebagai seperangkat pendapat dan kepercayaan yang mewakili preferensi untuk mengubah elemen dari struktur sosial dan/atau distribusi imbalan dari suatu masyarakat.
Kelebihan gerakan lingkungan adalah struktur dan sumber daya yang lentur. Selain itu, target dan fokus jangka pendek membuatnya tidak terjebak pada kerja-kerja administratif.
Sejak Orde Baru hingga kini gerakan lingkungan bercorak akar rumput. Ia dimotori oleh warga lokal yang beraliansi dengan organisasi nonpemerintah yang bersentuhan dengan kepentingan masyarakat bawah.
Kelebihan gerakan lingkungan adalah struktur dan sumber daya yang lentur.
Seperti gerakan penyelamatan Pegunungan Kendeng di Kabupaten Pati (2009) dan Kabupaten Rembang (2014), merupakan penolakan warga lokal atas risiko kerusakan lingkungan akibat pembangunan pabrik semen. Sementara itu, gerakan lingkungan di Banyuwangi (2015) dimotori aktor-aktor lokal yang memprotes tertutupnya akses warga pada Gunung Tumpang Pitu, rusaknya jalan dan produksi debu akibat korporasi (Ningtyas, 2019). Demikian juga di Lumajang (2015), protes kolektif warga pada eksploitasi tambang pasir yang berakhir dengan kekerasan kepada Salim Kancil (Hidayat, 2018).
Dan kini, tahun 2022, aksi penolakan masyarakat pada pembangunan pabrik andesit sebagai bahan pembangunan bendungan di Wadas, Purworejo, memicu kemunculan gerakan sosial. Gerakan-gerakan di atas menunjukkan bekerjanya masyarakat sipil dalam demokrasi yang bekerja di ranah nasional/internasional. Sekalipun perlawanan itu masih menyala, ia juga meninggalkan kelemahan-kelemahan sebagai berikut:
Pertama, berkutat pada isu lokal. Kelompok protes lingkungan lokal seperti dinyatakan Doherty, Brian (2002), sebagai hasil dari inisiatif lokal yang otonom dan tidak dibangun dari atas; diprovokasi oleh perkembangan baru dan berdasar atas risiko biaya lingkungan yang bersifat jangka pendek dan lokal; konfrontasional ketika kesempatan politik dibatasi, ketika pemerintah atau musuh dilihat bertindak arogan, atau tidak fair, beberapa keahlian teknis dan harus mendefinisikan perilaku mereka kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dan bergantung kepada konsepsi terkonstruksi dari kepentingan komunitas lokal.
Berangkat dari hal tersebut, kelemahan gerakan masih mengusung isu lokal dan memberi porsi sedikit isu nasional dan internasional. Karakter akar rumput seharusnya mengalami metamorfosis mulai dari aksi lokal menjadi gerakan lingkungan dengan keluasan isu.
Kedua, risiko aktor komunitas. Kebanyakan aktor muncul alamiah sebagai reaksi kerusakan lingkungan dan terganggunya kehidupan akibat kerusakan lingkungan (Situmorang, 2013). Tidak heran jika pertimbangan aktor spontan dan cair. Koordinator gerakan dengan sumber daya terbatas cenderung mengejar isu pragmatis dan kurang merawat keberlanjutan. Aksi-aksi kolektif terkesan sebatas mengorbitkan local hero tanpa agenda tindak lanjut.
Ketiga, minim pembelajaran sosial. Pembelajaran sosial menjadi kekuatan gerakan lingkungan. Tanpa itu kapasitas dan kemampuan aktor terkesan seadanya. Kemampuan seadanya berbenturan dengan surplus sumber daya negara maupun korporasi. Kondisi ini bukan tidak disadari para pendamping, tetapi pendampingan sering kali memang tidak menyadari pentingnya pembelajaran sosial.
Butuh redefinisi
Ketidakberlanjutan disebabkan oleh formulasi isu, strategi, dan keberlanjutan yang belum menjadi way of life gerakan. Untuk itu penulis menyarankan perbaikan sebagai berikut:
Pertama, formulasi isu. Isu gerakan lingkungan sangat kompleks, maka butuh piawai memilih isu sebagai agenda prioritas. Lokalitas bukan berarti mementingkan persoalan lokal saja, tetapi ya lokal sampai global. Isu yang diangkat tidak selalu konflik agraria, tetapi juga memperhatikan isu lain, seperti urbang farming, gerakan menabung air, pengelolaan sampah berbasis komunitas, mitigasi bencana, ketahanan energi, dan dampak bencana hidrometeorologis.
Kedua, pengembangan strategi. Di era kesempatan politik yang terbuka lebar, siapa pun berpeluang menjadi penentu sistem sosial, baik kawan maupun lawan. Kemarin aktor sesama aktivis LSM, hari ini sebagai pejabat pemerintah, maka penting membangun jejaring sosial sebagai strategi. Selain itu tidak boleh fanatik kepada advokasi; lobi-lobi, pemberdayaan, dan kampanye di media juga penting.
Ketiga, keberlanjutan. Sekalipun gerakan lingkungan mengandalkan kerelawanan aktor, target dan rencana dipikirkan masak-masak. Kerja-kerja berbasis local initiatives, pelembagaan nilai-nilai berkemajuan, capaian ”terukur”, dan keberlanjutan sebagai karakter melekat gerakan ini. Kini, kita tunggu kesediaan aktor-aktor lapangan melaksanakan semua prinsip ini.
Rachmad K Dwi Susilo, Pengajar Mata Kuliah Sosiologi Lingkungan pada Program Studi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang; Doktor Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo; Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Malang Raya